Berulang Kali Dijegal Israel, Asa Gencatan Senjata di Gaza Belum Habis
Seruan gencatan senjata permanen di Gaza menguat. Negosiasi masih berlangsung meskipun telah berulang kali gagal.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·5 menit baca
RIYADH, JUMAT — Setelah penolakan Israel terhadap usulan perjanjian gencatan senjata, delegasi Hamas hadir dalam pertemuan negosiasi di Kairo, Mesir. Pada saat yang sama, para menteri luar negeri negara-negara Arab kembali menyerukan gencatan senjata di Gaza. Sementara itu, warga Palestina di Gaza makin terdesak dan kehabisan tempat mengungsi akibat gempuran Israel di Rafah.
Di Kairo, delegasi Hamas yang dipimpin pejabat senior Khalil Al-Hayya hadir dalam negosiasi gencatan senjata, Kamis (8/2/2024). Pertemuan itu dimediasi Mesir dan Qatar. Menurut sumber keamanan di Mesir, delegasi Hamas di Mesir akan bertemu dengan para pejabat, termasuk Direktur Intelijen Umum Mesir Abbas Kamel.
Negosiasi dengan Hamas menandakan diplomasi gencatan senjata di Gaza belum berakhir. Pada Rabu (8/2/2024), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak syarat gencatan senjata yang ditawarkan Hamas. Ia mengatakan, persyaratan itu khayalan. Ia justru kembali berjanji untuk terus bertempur serta mengatakan kemenangan sudah di depan mata dan dapat diraih dalam beberapa bulan lagi.
Pada Selasa (7/2/2024), Hamas mengusulkan gencatan senjata selama 4,5 bulan. Semua sandera akan dibebaskan asalkan Israel menarik pasukannya dan mengakhiri perang. Tawaran tersebut merupakan tanggapan atas proposal yang diajukan para pejabat intelijen Amerika Serikat dan Israel bersama Qatar dan Mesir.
Usulan itu diajukan kepada Hamas pekan lalu. Hamas menyatakan tidak akan menyetujui kesepakatan apa pun yang tidak mencakup diakhirinya perang dan penarikan mundur Israel dari Gaza.
Meskipun Israel menolak proposal Hamas, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan masih melihat ruang negosiasi. Dia mengakhiri lawatan kelimanya di Timur Tengah setelah kembali gagal mendorong Israel untuk menyetujui gencatan senjata.
Operasi militer Israel di Rafah tanpa mempertimbangkan penderitaan warga sipil akan menjadi bencana. Kami tidak mendukungnya.
Di Riyadh, kantor berita Arab Saudi, SPA, seperti dikutip Arabnews, melaporkan pertemuan tingkat menteri yang diikuti Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Sheikh Abdullah bin Zayed, Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani, Menlu Mesir Sameh Shoukry, dan Menlu Jordania Ayman al-Safadi.
Topik utama pertemuan adalah menekankan perlunya mengakhiri konflik di Gaza dengan mencapai gencatan senjata segera dan menyeluruh. Selain itu, mereka juga mengatakan pentingnya memastikan perlindungan warga sipil sesuai dengan hukum humaniter internasional serta mencabut semua pembatasan yang menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza.
Mereka menyatakan dukungan terhadap Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dan mendesak semua pendukung badan itu untuk berperan lebih besar dalam mendorong upaya kemanusiaan guna membantu pengungsi Palestina.
Untuk penyelesaian jangka panjang konflik Israel-Palestina, para menteri negara-negara Arab juga menekankan pentingnya langkah-langkah untuk menerapkan solusi dua negara dan mengakui negara Palestina sesuai garis pada 4 Juni 1967. Kesepakatan itu menempatkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.
Terjebak di Rafah
Sepanjang Kamis pagi, Israel menggempur Rafah dari darat dan udara. Pesawat-pesawat Israel menjatuhkan bom di beberapa bagian Rafah. Sementara tank-tank Israel menembaki beberapa daerah di Rafah timur. Warga Gaza semakin terdesak dan kehabisan tempat untuk mengungsi.
Saat ini, Rafah yang berada di perbatasan selatan Gaza dengan Mesir menjadi wilayah terakhir bagi pengungsi Gaza. Kawasan itu sekarang dihuni lebih dari 1 juta pengungsi yang hidup berdesakan di tenda-tenda darurat, bahkan di kandang hewan.
Badan-badan bantuan internasional telah memperingatkan, akan terjadi bencana kemanusiaan jika Israel menindaklanjuti ancamannya untuk memasuki Rafah. ”Kami tinggal di kandang hewan,” kata Umm Mahdi Hanoon, pengungsi yang tinggal di kandang ayam bersama empat anggota keluarganya.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengatakan, serangan militer Israel yang terus mendesak pengungsi Palestina ibarat buldoser untuk menciptakan zona penyangga di dalam pagar perbatasan Gaza. Menurut dia, aksi militer bisa jadi termasuk kejahatan perang.
Seorang pejabat senior militer Israel membantah hal itu. Ia mengatakan, operasi tersebut dimaksudkan untuk mengungkap terowongan yang digunakan oleh Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya.
Di Washington, AS mengonfirmasi laporan dua warga AS di Gaza yang ditahan oleh pasukan Israel dan sedang mencari informasi lebih lanjut. Juru Bicara Gedung Putih John Kirby mengatakan, AS tidak akan mendukung serangan Israel ke Rafah. ”Operasi militer Israel di Rafah tanpa mempertimbangkan penderitaan warga sipil akan menjadi bencana. Kami tidak mendukungnya,” katanya.
Warga Gaza sangat berharap gencatan senjata dapat dicapai segera untuk mencegah terus meluasnya serangan Israel di Rafah. ”Tiba-tiba dalam sekejap mata, roket jatuh menimpa anak-anak, perempuan, dan laki-laki lanjut usia. Untuk apa? Mengapa? Karena gencatan senjata yang akan datang?” kata salah satu pengungsi di Rafah, Mohammed Abu Habib, saat pemakaman kerabatnya yang tewas pada serangan Israel di Tel al-Sultan.
Israel mengatakan telah mengambil langkah-langkah antisipasi untuk menghindari jatuhnya korban sipil. Mereka balik menuduh anggota Hamas bersembunyi di antara warga sipil, termasuk di tempat penampungan sekolah dan rumah sakit. Itulah yang menurut mereka menyebabkan lebih banyak kematian bagi warga sipil. Hamas membantah tuduhan ini.
Israel memulai serangan ke Gaza setelah Hamas menyerang Israel yang menewaskan 1.200 orang dan menyandera 253 orang pada 7 Oktober 2023. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, setidaknya 27.840 warga Palestina dipastikan tewas dan lebih dari 67.000 orang terluka sejak konflik dimulai empat bulan lalu.
Serangan bom Israel berlanjut di Khan Younis dan Deir-al-Balah di Gaza tengah. Serangan itu di antaranya menewaskan seorang jurnalis televisi Palestina, Nafez Abdel-Jawwad, dan putranya. Warga juga melaporkan baku tembak yang kembali terjadi di kota Gaza di utara.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, operasi kemanusiaan PBB terus terhambat. ”Mari kita perjelas. Penolakan akses kemanusiaan berarti penolakan bantuan kemanusiaan bagi warga sipil,” katanya kepada wartawan di markas besar PBB di New York. (REUTERS/AFP/AP)