Ternyata, Konsumen Belanja Lebih Banyak Saat Pilihan Produk Lebih Sedikit
Konsumen pusing kalau pilihan produk terlalu banyak. Sederhanakan pilihan agar pembelian lebih banyak.
Dalam pikiran produsen, semakin sedikit pilihan akan membuat hidup konsumen menjadi lebih sederhana. Berbagai jenama mengurangi katalog produknya.
Sampai awal 2023, penataan ruang waralaba Kohl di Clifton, New Jersey, boleh dibilang tak beraturan. Meja-meja dipenuhi dengan sweter dan kemeja dalam berbagai warna serta corak. Dampaknya, rak-rak pakaian penuh.
Baca juga: Sektor Ritel Dorong Transformasi Digital
Sekarang, penataannya lebih rapi setelah rancangan berubah. Sedikit meja dengan sedikit tumpukan kemeja rajut dengan pilihan yang terbatas jadi pemandangan di dalam toko. Begitu juga rak-rak pakaiannya. Hanya sedikit baju yang menggantung. Mungkin tiga atau empat jenis saja dengan jarak yang terjaga satu sama lain.
Dilaporkan Associated Press pada Selasa (13/2/2024), perubahan itu terasa setelah pergantian manajemen. Di bawah CEO yang baru, Tom Kingsbury, Kohl’s mengurangi warna dan variasi busana dan sejumlah dagangan lainnya. Di sisi lain, mereka juga menghadirkan produk-produk baru yang segar dan sedang disukai konsumen New York.
Dalam pernyataan pada akhir 2024, Kingsbury menyebut dulu Kohl menumpuk terlalu banyak bahan di gudang. Masa simpan dan produksi sampai 14 bulan. Hasilnya tidak memuaskan. Sekarang mereka mencoba sesuatu yang baru dengan memasuki lokapasar. ”Kami bisa bereaksi lebih cepat dan sigap mengikuti tren,” katanya.
Sejumlah pelanggan menyukai penyegaran yang dilakukan Kingsbury. ”Ini cukup terorganisasi. Jika tidak terlalu berantakan, Anda tidak akan kewalahan,” kata Kimberly Ribeiro (30), seorang konsumen, Jumat (9/2/2024).
Baca juga: Konsumsi Masyarakat Melemah, Tanda Ekonomi Tidak Baik-baik Saja
Kohl tidak sendirian. Sejumlah jenama dari sektor makanan hingga otomotif juga meringkaskan produk dan katalog mereka. Stew Leonard’s, jaringan supermarket yang memiliki toko di beberapa kota besar AS, mengurangi jenis sereal yang dijualnya. Dari 49 jenis tersisa sekitar 20 jenis dan jenama saja.
Produsen komestik dan perawatan tubuh Edgewell Personal Care Co juga membatasi produknnya. Jenama yang dikenal dengan tabir surya Banana Boat dan pisau cukur Schick itu mengurangi variasi jenis tisu basah.
Adapun Coca-cola, dari setidaknya 400 jenis minuman, kini hanya memproduksi 200 jenis di katalognya. Tab, Zico, Diet Coke Feisty Cherry, hingga Odawalla telah menghilang dari daftar produksinya.
Dollar General, yang dikenal dengan pilihan jenis mayones sebagai bumbu salad, kini memutuskan untuk melepas beberapa jenis di antaranya. ”Konsumen tidak akan mengetahui perbedaannya,” kata CEO Dollar General Todd J. Vasos.
Gangguan penjualan
Kondisi ini tak terlepas dari revolusi ekonomi digital selama beberapa tahun terakhir dan dipercepat selama pandemi Covid-19. Konsumen dihadapkan pada semakin banyak pilihan produk.
Baca juga: Perilaku Konsumen E-dagang Diprediksi Tidak Berubah
Di saat yang sama, belanja daring membuka kesempatan banyak pemain untuk menceburkan diri dalam arena permainan. Apalagi, lokapasar tidak dibatasi oleh ruang. Akibatnya, para pebisnis mulai memikirkan cara untuk memangkas biaya sewa ruang atau bahkan gedung.
Pukulan keras yang terjadi selama pandemi membuat para pebisnis memikirkan cara untuk memangkas kerugian dengan cepat di tengah kesulitan rantai pasok. Akan tetapi, situasi itu tak berhenti setelah pandemi usai.
Banyak pelaku bisnis menilai, lebih sedikit adalah situasi yang lebih baik. Mereka membenarkan pemikiran yang menyebut bahwa pembeli tidak membutuhkan terlalu banyak pilihan.
Bagi para pengusaha, situasi ini juga lebih menguntungkan karena mereka tidak perlu memberikan banyak potongan harga untuk mengejar penjualan. Atau setidaknya agar ongkos produksi tertutup.
Baca juga: Bisnis Ritel Makanan dan Minuman Pulih Lebih Dulu
Banyak orang berpikir, semakin banyak produk yang ditawarkan akan membantu konsumen untuk memilih. Akan tetapi, temuan lain menyebut, lebih sedikit pilihan, tidak banyak variasi, justru mendorong pembeli untuk membeli lebih banyak.
Hal itu, antara lain, ditemukan dalam riset psikolog Sheena Lyengar dan Mark Lepper yang menunjukkan pilihan terbatas lebih baik bagi pembeli pada awal abad ke-21. Lyengar dan Lepper menemukan, konsumen 10 kali lebih mungkin membeli selai yang ditampilkan terbatas. Perbandingannya, pajangan 24 jenis dan enam jenis selai saja.
Di pajangan yang menawarkan banyak pilihan, konsumen memang berhenti lebih lama. Walakin, belum tentu membeli lebih banyak. Riset Circana mengonfirmasi pergeseran pola konsumsi itu.
Secara keseluruhan, produk baru menyumbang hanya 2 persen dari total produk yang ditampilkan di toko-toko sepanjang 2023. Hal itu berlaku pada beragam kategori produk. Pada 2019, kontribusi produk baru pada penjualan mencapai 5 persen. Konsumen memilih produk lama.
Baca juga: Tahan Belanja, Sektor Ritel Terpuruk
Eric O’toole, Presiden Edgewell di Amerika Utara, mengatakan, pandemi memberikan dorongan berharga bagi pebisnis untuk menilai ”keragaman” produk. Pebisnis mulai menghindari tren yang berlebihan.
Dalam pandangan para pebisnis, biaya rantai pasok dan pengecer yang diperlukan untuk mendukung angka penjualan biasanya tidak menghasilkan keuntungan yang diinginkan. ”Portofolio yang lebih ketat dan terkurasi mendukung manajemen laba yang sehat,” katanya.
Paco Underhill, pendiri Envirosell sekaligus seorang psikolog, mengatakan, para pengecer menyadari bahwa mereka juga harus menghargai waktu konsumen. Sementara pakar restrukturisasi perusahaan pada lembaga konsultansi BDO, David Berliner, berpendapat berbeda.
Kritik konsumen
Menurut Berliner, semakin sedikit produk yang ditampilkan akan membuat konsumen takut dan menjauh. ”Anda ingin melakukan pemotongan ini sehingga mereka bahkan tidak menyadarinya, dan Anda ingin toko tetap terlihat penuh. Jika Anda melakukannya terlalu sering, Anda mungkin akan membuat orang takut,” katanya.
Baca juga: Mal Terus Kembangkan Digitalisasi
Berliner percaya, mengurangi varian produk bisa merugikan jenama-jenama kecil yang mengandalkan pengecer untuk menjual produk mereka. Situasi itu bisa mengarahkan konsumen, seperti Bob Friedland, ke produk pesaingnya.
Friedland mengatakan, dirinya sangat menyukai saus barbekyu produksi Open Pit. Akan tetapi, selama beberapa tahun terakhir, pedagang-pedagang lokal tidak menjualnya di toko-toko mereka. Akhirnya Friedland membelinya dari lokapasar.
Artinya, toko-toko lokal tersebut tidak hanya kalah dalam penjualan Open Pit ke Friedland. Toko-toko juga kehilangan potensi pembelian lain yang biasa dia lakukan saat berbelanja saus barbekyu favoritnya. ”Saya benar-benar tidak menyukai gagasan pengecer memberi tahu saya apa yang harus dan tidak boleh saya minati. Saya suka variasi,” kata Friedland.
Kritik soal kebijakan pebisnis juga datang dari Presiden AS Joe Biden. Dalam pernyataan pada Minggu (11/2/2024), ia meminta produsen kudapan mengurangi bobot produk dalam kemasan produk. Padahal, harga penjualan tetap sama.
Baca juga: Konsumsi Minuman Kemasan Bergula Tingkatkan Risiko Obesitas
Bagi Biden, praktik itu sama saja dengan penipuan. Ia menyebut, para pebisnis mengurangi bobot produknya sedikit demi sedikit sambil berharap konsumen tak menyadarinya. ”Ayolah. Rakyat AS sudah lelah dipermainkan. Saya menyerukan pada perusahaan untuk menghentikan tindakan ini. Mari kita pastikan dunia usaha melakukan hal yang benar mulai sekarang,” katanya.
Biden tidak merujuk nama produk tertentu. Akan tetapi, dalam unggahannya itu, beberapa jenama diperlihatkan, seperti Gatorade, Doritos, Breyers, dan Tostitos. Beberapa di antara nama itu diproduksi oleh Pepsi Co. Biden memakai istilah shrinkflation untuk menyebut fenomena tersebut.
Senator Bob Casey juga menyoroti isu itu. Desember lalu memperlihatkan ukuran atau bobot sejumlah produk menjadi lebih kecil walau dijual dengan harga yang sama. Temuannya itu mencakup tisu toilet hingga penganan atau kudapan ringan.
Laporan itu menyebut bahwa produk rumah tangga yang terbuat dari kertas lebih mahal 34,9 persen dibanding harga tahun 2019. Meski harganya naik, ukurannya menjadi lebih kecil. Begitu juga kudapan, seperti Oreo dan Doritos. Meski harganya naik 26,4 persen, porsi yang disuguhkan di dalam kemasan menyusut 9,8 persen. (AP/REUTERS)