Biden Pun Kegerahan dengan Buah Kemerdekaan Pers
Biden tercatat sebagai Presiden AS dengan interaksi paling minim dengan para jurnalis.
WASHINGTON, KAMIS — Pejabat di bawah Presiden Amerika Serikat Joe Biden agresif menentang media massa di negara itu. Penyebabnya, media massa menyoroti usia dan daya ingat Biden.
Laporan Associated Press (AP) pada Kamis (22/2/2024) menyoroti hal itu. Juru bicara penasihat hukum Gedung Putih, Ian Sams, menyurati AP. Sams mempersoalkan AP yang terus melaporkan temuan penyelidik khusus Kejaksaan Agung AS, Robert Hur.
Baca juga: Bahas Tudingan Jaksa, Biden Malah Salah Sebut Mesir Jadi Meksiko
Dalam laporan itu, Hur menyimpulkan, ingatan Biden amat terbatas. ”Orang tua dengan ingatan buruk,” demikian tertulis dalam laporan itu.
Sams menyebut, AP bersama sejumlah media AS lebih sibuk mengulas laporan Hur. Media AS, menurut Sams, kurang mengulas pernyataan Donald Trump soal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bagi Sams, pernyataan Trump lebih berbahaya dibandingkan urusan usia dan ingatan Biden.
Juru bicara tim pemenangan Biden, TJ Ducklo, juga mempersoalkan ulasan dua isu itu. ”Rakyat AS ingin melihat media meliput Trump dengan serius dan ganas. Ini yang dibutuhkan saat ini,” kata mantan wakil juru bicara Gedung Putih yang mundur karena mengancam salah seorang jurnalis itu.
Tidak bersalah
Baca juga: Amerika Serikat Mirip Kasus Trump, Kejagung AS Selidiki Dokumen Rahasia Negara di Rumah Biden
Kala laporan Hur dikeluarkan, Sams dan juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, juga menyanggah keras. Jean-Pierre menyebut soal ingatan Biden dalam laporan itu tidak sesuai fakta.
Jika Anda memuji satu pihak atau meremehkan pihak lain, tidak ada pihak yang punya alasan untuk memercayai Anda dalam jangka panjang.
Ia dan Sams menyebut tudingan Hur serampangan. Laporan itu dinyatakan tidak konsisten dengan standar Departemen Kehakiman AS. ”Penyelidikan selama ini dan komentar-komentar yang tidak beralasan dalam laporan tersebut meresahkan dan tidak pantas,” ujar Sams kala itu.
Bukan kali ini saja Sams memprotes soal kebijakan pemberitaan media. Beberapa bulan lalu, ia mendesak media lebih banyak mengulas upaya pemakzulan Biden oleh DPR AS. Media diminta kritis dan cermat soal alasan pemakzulan tersebut.
Tim Biden juga diketahui menyerang koran The New York Times. Tim Biden menyebut media pemenang berbagai penghargaan jurnalistik itu menyajikan banyak omong kosong. Koran itu dituding menyiarkan kebohongan soal Biden.
Baca juga: AS Terus Mata-matai Jurnalis
Pemimpin Umum The New York Times AG Sulzberger menyebut, Biden kecewa dengan laporan koran itu beberapa waktu terakhir. ”Kami akan terus melaporkan secara lengkap dan adil, tidak hanya mengenai Donald Trump, melainkan juga mengenai Presiden Joe Biden,” kata Sulzberger.
Ia menekankan, kasus yang membelit Trump dan isu terkait Biden sama-sama fakta. Masyarakat berhak mengetahui fakta-fakta itu secara berimbang. ”Jika Anda memuji satu pihak atau meremehkan pihak lain, tidak ada pihak yang punya alasan untuk memercayai Anda dalam jangka panjang,” ujarnya.
Sulzberger juga menyinggung soal status Biden sebagai bakal calon peserta di pemilu AS 2024. ”Dia adalah petahana yang secara historis tidak populer dan orang tertua yang pernah memegang jabatan ini. Kami telah melaporkan kedua realitas tersebut secara ekstensif, dan Gedung Putih sangat kecewa karenanya,” kata Sulzberger.
Salah arah
Baca juga: Politik Angkatan Sepuh di AS
Sejak Biden menjabat, banyak pertanyaan pada kinerja dan kabinetnya. Biden tercatat sebagai Presiden AS dengan interaksi paling minim dengan para jurnalis di Gedung Putih. Sejak menjabat pada 2021, ia hanya 33 kali menggelar konferensi pers. Kesimpulan itu disampaikan dosen Universitas Towson-Maryland, Martha Kumar.
Ia mencatat, Biden juga hanya mau diwawancara khusus sebanyak 86 kali. Sebagai pembanding, Barack Obama diwawancara khusus 422 kali pada tiga tahun pertama masa jabatannya.
Memang, dalam catatan Kumar, Biden sering memberi wawancara informal. Selama Biden menjabat, ada 535 sesi wawancara informal. Adapun Trump memberikan 572 sesi wawancara informal. Hal terbanyak dari Biden adalah pernyataan satu arah dan secara mendadak.
Biden, antara lain, melakukan itu kala mengomentari kematian Alexander Navalny, tokoh oposisi Rusia, beberapa hari lalu. Biden juga mendadak siaran langsung selepas laporan Hur diterbitkan.
Baca juga: Trump Dominasi Jajak Pendapat Capres AS
Dalam siaran tersebut, Biden malah menunjukkan gejala kepikunan. Ia salah menyebut nama negara. Pada kesempatan lain, ia malah mengaku berbicara dengan orang yang sudah meninggal belasan tahun sebelumnya.
Bagi Kumar, sikap pembantu Biden sama saja dengan keagresifan Trump terhadap media. Trump secara terang-terangan menilai jurnalis dan media sebagai penyebar kebohongan.
Sementara dosen Universitas George Washington, Frank Sesno, menilai, Biden dan timnya menganggap pers sebagai perintang. Anggapan itu membuat Biden sama saja dengan politisi lain.
Di sisi lain, Sesno bisa memahami kekhawatiran Biden dan timnya soal berita-berita terkait kemampuan Biden menjadi Presiden AS. Biden dan timnya, menurut Sesno, khawatir ulasan itu menjadi narasi yang tidak dikendalikan dan merugikan upaya Biden terpilih lagi.
Baca juga: Setiap Pekan, Dua Surat Kabar di AS Tutup
Menurut Sesno, ada kemungkinan sebagian media berpikir ulang untuk mengkritik Biden. Sementara sebagian media akan mengabaikan keberatan-keberatan Biden dan timnya lalu terus menyajikan fakta.
Adapun dosen kajian media pada San Diego University, Nikki Usher, mengaku heran Biden dan timnya tidak dari dulu agresif ke media. Dibandingkan Trump, menurut Usher, sikap Biden dan timnya tidak ada apa-apanya. Biden dan timnya, juga Partai Demokrat, lebih menghargai jurnalis. Biden lebih berhati-hati dalam mengelola hubungan dengan media.
Sementara jurnalis Associated Press, David Bauder, mengingatkan tradisi lama AS dan Gedung Putih. Sejak dulu, media massa mengkritik siapa pun presiden AS. (AP/REUTERS)