Saat Ekonomi Sulit, Konsumen Tinggalkan Produk yang Terus Naik Harganya
Pemerintah mengklaim inflasi terkendali. Faktanya, harga aneka hal tetap mahal. Konsumen harus bersiasat.
Untuk menyiasati kenaikan harga-harga barang, konsumen di Amerika Serikat terpaksa hidup lebih hemat lagi. Caranya, termasuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari yang sedang didiskon. Konsumen mencari barang dengan harga lebih murah dan kualitasnya mirip. Mereka juga mengurangi belanja camilan dan makan di luar.
Inflasi telah mengubah cara banyak warga AS berbelanja. Perubahan itu ikut membantu mengendalikan inflasi. Hidup lebih hemat ini menjadi cara konsumen AS ”melawan” harga-harga barang yang rata-rata naik sekitar 19 persen di atas harga sebelum pandemi Covid-19.
Baca juga: Gaji Ngepas, Anak Muda Jungkir Balik Mengelola Keuangan
Siasat, antara lain, dilakukan karyawan salah satu bank di Virginia, Stuart Dryden (37). Ia berhenti membeli produk-produk mahal dari Kraft Heinz. Ia memilih produk dengan jenama sama dengan toko tempat belanja aneka kebutuhan sehari-hari. Produk itu harganya lebih murah.
Saya sudah coba dan kualitasnya sama saja. Karena sama, saya pilih yang lebih murah saja.
Penyuka krim keju dan bagel itu mencontohkan beberapa produk. Harga satu wadah keju krim Kraft’s Philadelphia seberat 12 ons 6,69 dollar AS. Sementara produk yang sama dengan jenama toko harganya hanya 3,19 dollar AS.
Ia juga mencontohkan kemasan 24 irisan keju tunggal Kraft berharga 7,69 dollar AS. Adapun produk toko dijual 2,99 dollar AS. Sebotol saus tomat Heinz seberat 32 ons harganya 6,29 dollar AS. Sementara produk toko hanya 1,69 dollar AS.
Perbedaan harga yang relatif jauh itu juga terjadi pada produk mac-and-cheese serta keju parut. ”Hanya beli lima produk itu saja sudah hampir 30 dollar AS. Akan tetapi, kalau beli produk buatan toko, harganya kurang dari setengahnya, sekitar 13 dollar AS. Saya sudah coba dan kualitasnya sama saja. Karena sama, saya pilih yang lebih murah saja,” kata Dryden.
Baca juga: Kelas Menengah Menguras Gaji untuk Mobil dan Rumah
Dryden tidak hanya mengganti jenama kebutuhan harian. Ia juga pindah tempat tinggal setelah biaya sewa rumah susun lama naik separuh. Selain itu, tempat tinggal lamanya juga lebih dekat ke toko yang harga produknya lebih mahal.
Konsumen tidak lagi mau menerima harga yang lebih tinggi. Jadi, perusahaan-perusahaan mulai menjadi lebih skeptis terhadap kemampuan mereka menjadikan harga sebagai pendorong pendapatan mereka.
Kini, kontrakannya lebih dekat ke Amazon Fresh, Adli, dan Ablrech-Discount. Produk di toko-toko itu lebih murah.
Sementara juru bicara Kraft Heinz, Alex Abraham, mengklaim kenaikan harga dari perusahaan hanya 1 persen pada 2023. Padahal, biaya operasional tahun lalu naik 3 persen.
Kraft Heinz juga mengumumkan penjualan Oktober-Desember 2023 turun. Sebab, konsumen memilih produk jenama lain. ”Kami melakukan segala kemungkinan untuk mencapai efisiensi di pabrik kami dan bagian lain dari bisnis kami untuk mengimbangi dan memitigasi kenaikan harga lebih lanjut,” ujarnya.
Baca juga: Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
Ahli strategi investasi Samuel Rines mengatakan, perang Ukraina menjadi salah satu penyebab harga-harga naik. Rantai pasok global, menurut pekerja di lembaga konsultansi pemasaran itu, terganggu akibat perang. Produsen berbagai produk pangan menaikkan harga akibat gangguan tersebut. Kenaikan amat drastis terjadi pada 2021 dan 2022.
Ia, antara lain, mencontohkan harga sejumlah produk Unilever. Kenaikan produk Unilever pada 2022 rata-rata 13,3 persen. Sementara penjualannya terpangkas 3,6 persen. Sementara pada 2023, perusahaan dari Belanda itu menaikkan harga 2,8 persen dan penjualannya juga bertambah 1,8 persen.
”Konsumen tidak lagi mau menerima harga yang lebih tinggi. Jadi, perusahaan-perusahaan mulai menjadi lebih skeptis terhadap kemampuan mereka menjadikan harga sebagai pendorong pendapatan mereka. Konsumen tidak bereaksi sesuai keinginan perusahaan,” kata analis di CORBU itu.
Faktor lain pemicu inflasi di AS adalah bantuan langsung tunai selama pandemi. Banyak orang mendapat BLT dan tidak bekerja. Mereka mudah membeli berbagai hal karena merasa tidak berlelah-lelah mendapatkan uang. Dampaknya, aneka harga naik.
Baca juga: Kelaparan, Mahasiswa di AS Andalkan Dapur Umum Gratis
Saat BLT pandemi dihentikan, konsumen menemukan harga telanjur naik. Sementara gaji banyak orang tidak naik. Karena itu, tidak ada pilihan selain mengerem atau menyiasati belanja.
Penolakan konsumen
Siasat lain konsumen AS adalah membeli mobil bekas. Dampaknya, penjualan mobil baru berkurang sehingga produsen dan penjual terpaksa menurunkan harga.
Peralihan pilihan produk bagian dari cara konsumen menolak kenaikan harga yang diterapkan produsen. Dalam beberapa bulan terakhir, penolakan menyebabkan perusahaan makanan besar memperlambat kenaikan harga. Kenaikan sudah dilakukan dalam tiga tahun terakhir.
Inflasi pun, menurut pemerintah, lebih terkendali. Dari 9,1 persen pada 2022 menjadi 3,1 persen pada 2023. Hanya saja, aneka barang kini harganya tetap saja mahal dibandingkan 2020. Isu itu jadi bahasan kampanye pemilu AS.
Baca juga: Aku Punya Tabungan, maka Aku Aman
Presiden AS Joe Biden juga mengkritik produsen makanan. Ia menggunakan istilah shrinkflation untuk fenomena produk dijual dengan harga dan kemasan sama walau bobotnya berkurang. Bagi Biden, taktik dagang itu merupakan penipuan terhadap konsumen.
Ekonom pada Universitas Massachusetts, Isabella Weber, menyebut banyak perusahaan sadar sudah tidak bisa terus menaikkan harga. Sebab, daya beli warga terus berkurang. Pendapatan mereka minus dan mulai menggunakan tabungan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagian lagi mengandalkan kartu kredit untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Kini, total tagihan kartu kredit AS mencapai 1,13 triliun dollar AS. Nilainya hampir sama dengan produk domestik bruto Indonesia setahun. Dengan kata lain, diperlukan seluruh hasil kegiatan ekonomi Indonesia selama setahun untuk melunasi utang kartu kredit di AS.
Ekonom pada lembaga konsultansi Ernst&Young, Gregory Daco, menyebut penjualan selama musim liburan hanya naik 4 persen. Data juga menunjukkan, produk yang dibeli lebih sedikit. Hal itu mengindikasikan konsumen mengerem konsumsi dan harga barang tetap tinggi.
Baca juga: Utang Pemerintah Amerika Serikat 26 Triliun Dollar AS
Bank sentral AS menyebut, konsumen semakin enggan membayar harga lebih tinggi untuk produk yang sama. Karena itu, Federal Reserve optimistis inflasi akan segera kembali ke bawah 2 persen atau sesuai target.
”Konsumen tidak mau membeli sesuatu, kecuali mereka melihat ada diskon, misalnya 10 persen. Konsumen semakin berperan mengendalikan inflasi,” kata Presiden Federal Reserve San Francisco dan anggota komite penetapan suku bunga, Mary Daly.
Perubahan perilaku konsumen dipantau oleh General Mills dan McDonalds. General Mills memproduksi sejumlah sereal. CEO General Mills Jeffrey Harmening mengakui pelanggannya semakin mencari harga barang yang murah.
Sementara McDonald's melihat konsumen membeli lebih sedikit makanan dan minuman. Jumlah konsumen juga berkurang. ”Konsumen sekarang lebih waspada dan juga lelah dengan harga mahal,” kata Kepala Keuangan di McDonald’s Ian Borden.
Baca juga: Susul Starbucks, McDonald’s Akui Terpukul Boikot Solidaritas Palestina
Penelitian Federal Reserve menyimpulkan, berbagai perusahaan mungkin hanya akan menaikkan harga sedikit saja pada 2024. Di New York, kenaikan pada tahun 2024 mungkin hanya 3 persen. Tahun lalu, kenaikan harga mencapai 5 persen.
Tren itu menunjukkan perusahaan-perusahaan sudah mau memperlambat kenaikan harga sebelum pemerintahan Biden bertindak. Claudia Sahm, pendiri SAHM Consulting dan mantan ekonom bank sentral, mengatakan, konsumen jauh lebih berkuasa daripada Biden. (AP/REUTERS)