Mengapa Petani Eropa Punya Daya Tawar Tinggi dalam Politik?
Di Uni Eropa, penghasilan terbesar petani justru dari subsidi. Penjualan hasil panen justru bukan sumber pendapatan.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Jika memandang kontribusi ekonomi dan jumlah orangnya, petani di Eropa tidak signifikan. Walakin, petani bisa memaksa Uni Eropa dan pemerintah negara anggotanya mengubah kebijakan.
Rangkaian unjuk rasa di sejumlah negara anggota Uni Eropa bagian dari pertunjukan kekuatan petani. Unjuk rasa terbaru digelar di Praha, Ceko, pada Kamis (7/3/2024). Sebelumnya, unjuk rasa digelar di beberapa kota negara anggota Uni Eropa.
Unjuk rasa tetap digelar meski UE dan anggotanya telah menawarkan konsensi. Bahkan, selama berpuluh tahun, petani mendapatkan subsidi besar-besaran dari UE. Pada 2023-2027, UE mengalokasikan 270 miliar euro untuk petani.
Di sejumlah negara anggota UE, penghasilan terbesar petani justru dari subsidi tunai. Dosen ekonomi pertanian pada Cornell University, Christopher Barrett, menyebut bahwa para petani terbiasa di subsidi besar-besaran. Karena itu, petani merasa terancam jika ada usaha memangkas subsidi.
Penjualan hasil panen justru bukan sumber utama pendapatan petani UE. Pertanian memang sulit dijadikan sumber pendapatan. Kontribusi pertanian yang tidak sampai 2 persen pada produk domestik bruto (PDB) UE menunjukkan, pertanian memang sulit diandalkan.
Jumlah petani pun tidak banyak. Federasi organisasi petani Eropa, Copa-Cogeca, mengklaim punya 22 juta anggota. Jika setiap punya satu istri dan satu anak, total 66 juta orang saja di petani Eropa. Sebagai pembanding, penduduk seluruh Uni Eropa mencapai 448 juta orang.
Komisi Eropa juga mencatat ada 9,3 juta keluarga petani. Hingga separuhnya berpengasilan rendah. Buktinya, rumah mereka tua dan sudah lama tidak diperbaiki. Dalam daftar angkatan kerja UE, hanya 4 persen menjadi petani.
Semua orang punya keluarga yang masih menjadi petani dan makanan sangat penting dalam identitas Eropa.
Di seluruh UE, total ada 158 juta hektar lahan pertanian. Jumlahnya terus menyusut karena pemilik memilih bekerja di sektor lain.
Daya tawar
Meski demikian, tetap saja petani punya daya tawar politik. ”Pemilu mendatang memberi kesempatan partai populis,” kata peneliti pada lembaga kajian Bruegel, Simone Tagliapietra.
Ia menyinggung pemilu Parlemen Eropa pada Juni 2024. Sejumlah pejabat UE menyebut, unjuk rasa petani menekan petinggi dan politisi UE. ”Semua orang punya keluarga yang masih menjadi petani dan makanan sangat penting dalam identitas Eropa,” kata Tagliapietra.
Sebagian politisi khawatir kehilangan suara petani jika mendukung aneka aturan UE yang dinilai memberatkan petani. ”Mempertimbangkan penolakan belakangan ini tidak bijaksana jika terus mendorong peraturan ini. Apalagi sekarang mendekati pemilu,” demikian pernyataan tertulis dua fraksi Parlemen Eropa, Identitas dan Demokrasi (ID) serta Reformis dan Konservatif Eropa (ECR).
Para politisi Eropa cemas dengan kejadian di Belanda pada Maret 2023. Partai yang didirikan petani, BBB, meraih suara terbanyak di pemilu.
Di Parlemen Eropa, Partai Rakyat Eropa (EPP) bisa menjadi blok terbesar karena dukungan petani dan warga desa. Karena itu, EPP menolak rancangan undang-undang Pemulihan Alam. RUU itu mengatur, sebesar 4 persen lahan subur di ladang harus dialokasikan untuk konservasi alam.
Dalam sejumlah jajak pendapat disimpulkan, EPP bisa mendapat tambahan kursi di Parlemen Eropa. Sementara Partai Hijau bisa kehilangan kursi. Partai Hijau dianggap disokong orang kota dan kurang peduli kepada petani.
Para politisi UE tahu fenomena itu. Para pemilih di perdesaan dan kelompok petani paling banyak mendukung partai-partai yang tidak suka UE. ”Mereka (partai-partai) semakin luas dukungannya,” kata Jennifer McGuinn dari Milieu Consulting.
Partai-partai juga mempertimbangkan tren elektoral. Di berbagai negara, orang-orang di perdesaan lebih sering memberi suara dibandingkan dengan orang kota. Orang kota maunya protes dan unjuk rasa, bukan memberi suara di pemilu. (AFP/REUTERS/AP)