Mengubah Kota Jadi Penyerap Air agar Banjir Berkurang
Tata kota Eropa dan Amerika sulit dipakai di Asia. Kondisi geografisnya jelas berbeda.
Banjir semakin kerap meredam berbagai kota dunia. Berbagai cara dilakukan untuk mencegah dan memitigasi dampaknya. Salah satunya menjadikan kota seperti busa yang menyerap air atau sponge city.
Uni Eropa mewajibkan anggotanya punya rencana mitigasi risiko banjir. Setiap enam tahun, rencana itu wajib ditinjau ulang agar sesuai dengan kondisi kiwari. Dalam pernyataan pada Rabu (13/3/2024), Komisi Eropa menganggap Yunani gagal menjalankan kewajiban tersebut. Karena itu, Komisi Eropa menggugat Athena ke Pengadilan Eropa.
Baca juga: Lebih dari 180 Warga Tewas akibat Banjir di Eropa Barat
Sejak kota-kota dibangun ribuan tahun lalu, banjir salah satu masalah yang tidak kunjung selesai. ”Teknik yang dikembangkan di negara-negara Eropa tidak bisa beradaptasi dengan iklim muson,” kata pakar tata kota China, Yu Kongjian, kepada BBC.
Belajar arsitektur dan tata kota di Amerika Serikat, Yu yakin tata kota Eropa dan Amerika sulit dipakai di Asia. Kondisi geografisnya jelas berbeda. Sayangnya, berbagai kota Asia malah meniru tata kota Eropa dan Amerika Utara.
Hal itu, antara lain, ditunjukkan soal cara mengelola banjir. Banyak kota Asia memilih membangun jaringan pipa dan saluran pembuangan sebanyak dan sebesar mungkin. Persis seperti kota-kota Eropa dan Amerika.
Pada awal abad ke-21, Yu menawarkan konsep lain: kota busa atau kawasan yang menyerap air sebanyak mungkin. Ia mengibaratkan wilayah seperti busa yang menyerap air.
Baca juga: Hanya 13 dari 654 Kota Besar di China Aman dari Banjir
Wilayah dirancang memasukkan sebanyak mungkin air hujan ke dalam tanah. Meski tetap menggunakan saluran, rancangan itu memfungsikan pula ruang terbuka, area resapan, hingga sumur resapan. Aliran sungai dibuat berkelok dan tepiannya disediakan area penyerap air.
Aliran yang berkelok juga menambah luasan ruang terbuka hijau, taman, dan habitat hewan. Vegetasi di sekitarnya bisa menyerap zat-zat beracun dari air hujan yang terserap.
Yu menegaskan, penerapan konsep itu harus menyeluruh. Jika tidak, konsep tersebut akan terkesan gagal. Tepian sungai dan sekitar kolam penampung tidak boleh dibeton. Permukaan tanah jangan ditutupi material-material yang mencegah air masuk tanah. Tidak kalah penting, kawasan yang rendah dan secara alamiah menjadi jalur air sebaiknya tidak difungsikan menjadi permukiman atau kawasan komersial.
Banjir yang menewaskan 79 orang di Beijing pada Juni 2012 membuat China mengadopsi konsep Yu. Presiden China Xi Jinping mendukung gagasan itu dalam Konferensi Urbanisasi pada Desember 2013. Dukungan Xi membuat China menerapkan konsep itu di 30 kota dalam satu dekade terakhir. Hasilnya, 70 persen hujan bisa diserap.
Baca juga: Banjir Besar Rendam Sejumlah Kawasan di China
Dengan dana 1,7 miliar dollar AS, kota Wuhan di China menerapkan konsep tersebut. Alih-alih beton atau aspal yang menahan air, jalan dan trotoar menggunakan bahan yang memungkinkan air masuk ke tanah.
Penerapan lain
Bagi Yu, konsep bisa diterapkan di Indonesia yang rawan banjir. Belum semua kota di Indonesia menerapkannya. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara disebutnya, IKN Nusantara juga akan menerapkan konsep tersebut.
Baca juga: Kota Spons IKN dan Tantangan yang Mengikutinya
Konsep tersebut mendorong kota-kota memulihkan alam. Kota menjadi lebih layak huni. ”Konsep serupa sudah diterapkan juga di tempat lain. Karena pada dasarnya, konsep kota busa ini menyelesaikan masalah kota dengan memanfaatkan proses alam,” kata ahli perancangan kota berkelanjutan pada National University of Singapore, Nirmal Kishnani.
Singapura melakukan itu lewat restorasi di kawasan Bishan-Ang Mo Kio. Beton di tepi Sungai Kallang dibongkar dan alirannya dibuat berkelok. Total ada 62 hektar lahan terbuka pada area sepanjang 3,2 kilometer. Hasilnya, keanekaragaman hayati naik 30 persen. Area genangan terkonsentrasi di sekitar aliran sungai saja dan banjir segera surut.
Sementara di Denmark, seperti dilaporkan Deutsche Welle, konsep itu diterapkan di Kopenhagen selepas banjir 2018. Kopenhagen menata ulang 250 lokasi agar bisa menjadi areal terbuka untuk menyerap air.
Jan Rasmussen ditugasi memimpin tim perancang tata ulang itu. Mereka memanfaatkan kemampuan pohon, semak, serta tanah menahan dan menyerap air. Ada belasa kolam di sekitar bandara dirancang jadi penampung air saat hujan. Jika dibutuhkan, kelebihan air disalurkan ke gorong-gorong bawah tanah.
Baca juga: Bahaya Geologi Masih Mengancam Ibu Kota Nusantara
Rasmussen tetap menggunakan sistem pompa. Jika berbagai tempat penampungan sudah penuh, pompa membantu menyalurkan air lebih cepat ke laut sekaligus memasukkannya ke tanah.
Penataan ulang ditargetkan rampung dalam tiga tahun mendatang. Tantangannya, antara lain, mendapat persetujuan warga. Sebab, taman difungsikan sebagai penampung kelebihan air saat hujan deras. Hal itu membuat warga tidak bisa mengakses taman selama masih tergenang.
Sementara di Rotterdam, Belanda, konsep itu memanfaatkan atap gedung. Butuh persetujuan pemilik atau penghuni gedung agar mau atapnya dipakai menangkap air sebanyaknya.
Berbagai kota lain di Eropa juga menerapkan konsep tersebut. Sebab, konsep itu disebut lebih berkelanjutan dan beradaptasi dengan peningkatan curah hujan.
Baca juga: Memasuki Musim Panas, Australia Justru Diterjang Banjir
Bagi negara dengan iklim ekstrem seperti Australia, konsep itu bermanfaat. Sebab, ada satu waktu Australia kekeringan, lalu kebanjiran di waktu lain. Kota-kota Australia berusaha menyerap kelebihan air saat hujan agar bisa dimanfaatkan di musim kemarau.
Memang, tetap ada pertanyaan pada konsep itu. Banjir Beijing 2023 dan Zhengzhou 2021 menunjukkan konsep itu belum sepenuhnya berhasil. Sejumlah pakar menyebut, konsep itu hanya mampu menyerap air jika curah hujan rata-rata 200 milimeter per hari. Dalam banjir Beijing 2023, curah hujan mencapai 745 milimeter. Sementara di Zhengzhou, curah hujannya 200 milimeter dalam sejam saja.
”Mungkin hanya cocok untuk hujan badai ringan atau kecil. Akan tetapi, dengan cuaca sangat ekstrem saat ini, kita masih perlu memadukannya dengan infrastruktur seperti saluran air, pipa, dan tangki,” kata pakar pengelolaan banjir pada Universitas Nottingham Kampus Ningbo di China, Faith Chan. (AFP/REUTERS)