Israel Setujui Rencana Serbuan ke Rafah
Gempuran militer Israel terhadap Rafah dikhawatirkan menimbulkan korban yang sangat besar.
TEL AVIV, SABTU — Pemerintah Israel telah menyetujui operasi militer untuk menggempur Rafah, kota di selatan Jalur Gaza. Komunitas internasional telah menentang rencana Israel menyerang Rafah yang kini dipenuhi warga Gaza, tetapi Israel bergeming.
Dalam rapat kabinet perang Israel, Jumat (15/3/2024) malam waktu setempat atau Sabtu (16/3/2024) dini hari waktu Indonesia, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan lampu hijau untuk menyerbu Rafah. Menurut Israel, Rafah adalah benteng terakhir kelompok Hamas dan harus segera dihancurkan.
Baca juga: Israel Konsisten Tolak Usulan Perdamaian
Mengutip laman Times of Israel, kabinet perang menyebut serangan ke Rafah perlu dilakukan untuk mencapai tujuan perang di Gaza, yakni memusnahkan Hamas hingga ke akarnya. Pasukan militer Israel sedang ”bersiap secara operasional untuk evekuasi penduduk” di Rafah.
Gempuran militer Israel terhadap Rafah dikhawatirkan menimbulkan korban yang besar. Lebih dari 1 juta warga Palestina dari berbagai wilayah di Jalur Gaza telah terdesak ke wilayah selatan itu untuk menyelamatkan diri dari serangan militer Israel.
Israel telah menolak usulan baru tentang gencatan senjata yang diajukan Hamas. Dalam usulannya, Hamas meminta untuk setiap sandera yang mereka bebaskan, Israel harus membebaskan 50 tawanan Palestina. Sandera yang dibebaskan diutamakan untuk yang sakit, sudah tua, atau anak-anak. Diduga ada 98 sandera yang masih hidup, sementara 32 orang tewas (Kompas.id, 15 Maret 2024).
Gedung Putih menyatakan belum mengetahui rencana serbuan ke Rafah yang disetujui Netanyahu. Sebelumnya, AS mengatakan, serangan ke Rafah akan menjadi ”garis merah” jika tidak disertai rencana perlindungan sipil yang kredibel. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan, AS tidak dapat mendukung rencana apa pun tanpa proposal yang kredibel.
Presiden menegaskan campur tangan segera oleh AS dan komunitas internasional untuk menggagalkan serangan militer yang bisa menambah penderitaan rakyat Palestina.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Austria mengatakan, Washington belum melihat rencana apa pun untuk operasi militer di Rafah. Ia menegaskan, AS ingin ”rencana yang jelas dan bisa dijalankan untuk menjamin keselamatan warga sipil”.
Kantor Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan sangat prihatin terhadap rencana serangan militer Israel ke Rafah dalam waktu dekat. ”Presiden menegaskan campur tangan segera oleh AS dan komunitas internasional untuk menggagalkan serangan militer yang bisa menambah penderitaan rakyat Palestina,” sebut pernyataan yang dikutip kantor berita Wafa.
Kementerian Luar Negeri Jerman menyebut serangan skala besar di Rafah tidak bisa dibenarkan. ”Lebih dari 1 juta orang mencari perlindungan di sana dan tidak punya tempat tujuan lain. Perlu ada jeda kemanusiaan segera, supaya kematian bisa diakhiri dan sandera akhirnya dibebaskan,” sebut pernyataan kementerian.
Dukungan pelengseran
Di Washington, Presiden AS Joe Biden mendukung pernyataan Ketua Mayoritas Senat AS Chuck Schumer yang menyebut Israel perlu menggelar pemilu untuk mengganti kekuasaan saat ini. Schumer bahkan menyebut Netanyahu sebagai penghalang perdamaian.
”Dia menyampaikan pidato yang bagus. Saya pikir dia mengungkapkan keprihatinan serius yang tidak hanya dirasakan olehnya, tetapi juga oleh banyak orang Amerika,” kata Biden saat menerima Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar di Ruang Oval, Gedung Putih, Jumat (15/3/2024).
Baca juga: Situasi Gaza Tidak Terkendali, Anak Muda AS Berpaling dari Biden
Dalam beberapa waktu belakangan, Biden diketahui sering tidak sepakat dengan Netanyahu, khususnya mengenai situasi di Gaza saat ini. Pernyataan Biden soal serangan militer Israel di Gaza berubah, dari semula memberikan persetujuan kini semakin sering melontarkan kritikan. Meski begitu, ia belum mengeluarkan pernyataan agar Israel segera menghentikan serangan di Gaza.
Kritik terbaru Biden dilontarkan pada awal bulan ini saat menyampaikan Pidato Kenegaraan. Ia menuding tindakan pemerintahan sayap kanan Netanyahu lebih menyakiti Israel daripada membantunya.
Sikap Biden dan Partai Demokrat pada Netanyahu tidak terlepas dari kekecewaan sebagian rakyat AS yang tidak melihat adanya perubahan kebijakan Gedung Putih terhadap Israel. Kekecewaan itu terlihat dari hasil survei The Associated Press dan NORC Center for Public Affairs Research pada Januari lalu. Hasilnya, 50 persen orang dewasa AS mengatakan respons militer Israel di Jalur Gaza sudah keterlaluan.
Jumlah itu naik dari 40 persen pada survei November 2023. Sentimen ini bahkan lebih umum di kalangan Partai Demokrat, dengan sekitar 6 dari 10 mengatakan hal yang sama dalam kedua survei tersebut.
Baca juga: Krisis Gaza dan Upaya Netanyahu Amankan Kekuasaan
Aaron David Miller, analis keamanan dan mantan pejabat urusan Timur Tengah, mengatakan, tindakan Biden lebih berupa cek ombak atas sikap partainya yang berbeda dengan Partai Republik dalam persoalan Gaza. Republikan memiliki pandangan hitam-putih, sementara Demokrat terpecah soal relasi AS dan Israel.
Miller menggambarkan pendekatan AS terhadap Israel saat ini sebagai pasif-agresif, yakni naiknya retorika penentangan pada kebijakan Israel. Di sisi lain, tidak ada langkah konkret yang dilakukan sebagai bukti sikap tersebut, misalnya menahan bantuan militer. ”Saya belum melihatnya. Dan, kita sudah memasuki perang selama enam bulan,” kata Miller.
Netanyahu memiliki sejarah panjang pertentangan dengan sejumlah pemimpin AS yang berasal dari Demokrat. Netanyahu pernah menentang Barrack Obama soal kesepakatan nuklir dengan Iran. Dengan Bill Clinton, ia bertentangan soal Palestina.
Survei opini publik menunjukkan, jika pemilu diadakan sekarang, Netanyahu kemungkinan kalah dari Benny Gantz, anggota kabinet perang Israel yang berhaluan tengah. Gantz sempat dijamu Wakil Presiden AS Kamala Harris saat berkunjung ke AS beberapa waktu lalu.
Baca juga: Retorika Dunia Tak Akan Menyelamatkan Gaza
”Netanyahu berkepentingan untuk mengulur waktu. Itu selalu menjadi kepentingannya untuk tidak mengadakan pemilu, untuk tetap berkuasa,” kata Gideon Rahat, peneliti senior pada Institut Demokrasi Israel dan profesor ilmu politik di Universitas Ibrani.
Rahat mengatakan, perubahan kepemimpinan di Israel mungkin akan mengurangi ketegangan dengan Washington. Dia menilai, pemerintahan yang berbeda mungkin akan membuka peluang kerja sama dengan Otoritas Palestina.
”Pemerintah (yang baru) tidak hanya akan mengupayakan solusi militer, tetapi juga solusi diplomatik dan luar negeri, yang melibatkan Otoritas Palestina. Mereka pun akan memberikan lebih banyak bantuan ke Gaza dan Palestina,” katanya.
Namun, menggantikan Netanyahu tidak serta-merta mengakhiri perang atau menghentikan pergeseran ke arah kanan yang telah terjadi di Israel selama bertahun-tahun. Mayoritas warga Yahudi Israel percaya penilaian para pemimpin mereka harus diprioritaskan dibandingkan berkoordinasi dengan AS, menurut hasil survei Israel Democracy Institute pada Januari. Selain itu, Pasukan Pertahanan Israel mendapat dukungan luas atas kinerja mereka di Gaza.
Gantz, yang tampaknya mendapat dukungan AS, juga mengkritik pernyataan Schummer. ”Israel negara demokrasi yang kuat, dan hanya warga negaranya yang akan menentukan masa depan dan kepemimpinannya,” kata Gantz. ”Intervensi eksternal apa pun terhadap masalah ini adalah kontra-produktif dan tidak dapat diterima.” (AP/AFP/Reuters)