Untuk Urusan Rumah, Gen Z Sulit Lepas dari Orangtua
Harga beli atau sewa rumah mahal. Agar Gen Z bisa punya tempat tinggal, orangtua masih harus turun tangan.
Biaya perumahan melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya, konsumen, termasuk generasi Z, harus bergulat dengan pasar perumahan yang paling tidak terjangkau dalam 10 tahun terakhir.
Untuk bisa membeli rumah, anak muda berusia 27 tahun ke bawah atau generasi Z mengatakan, mau tidak mau harus dibantu orangtua. Tanpa bantuan orangtua, memiliki rumah menjadi sebatas impian.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Majalah Newsweek, 19 Maret 2024, mengutip laporan terbaru Intuit Credit Karma yang menyebutkan, 38 persen generasi Z yang sudah memiliki rumah mendapatkan bantuan keuangan dari orangtua. Dari kelompok generasi Z yang belum memiliki rumah, 44 persen berencana meminta bantuan finansial dari orangtua atau keluarga untuk membeli rumah.
Advokat keuangan konsumen di Credit Karma, Courtney Alev, mengatakan, anak muda mesti memanfaatkan lingkaran dalam mereka untuk membeli rumah, baik orangtua maupun keluarga dekat. Biasanya orangtua menawarkan bantuan untuk membayar uang muka.
Selain orangtua, anak muda juga terpikir untuk mengajak teman-teman mereka untuk membeli rumah bersama. Ada 59 persen anak muda yang mempertimbangkan akan beli rumah bersama-sama dengan orang lain selain pasangannya.
Tren ini terjadi ketika anak muda menghadapi naiknya biaya sewa rumah atau kos serta meroketnya harga rumah dan suku bunga hipotek. Secara keseluruhan, 47 persen warga Amerika Serikat dalam studi itu mengatakan pesimistis dengan kondisi keuangan mereka karena pasar perumahan.
Gen Z ada di posisi sulit dan tidak mampu bayar uang muka rumah. Makanya, mereka sangat bergantung pada orangtua.
Generasi Z (59 persen) dan generasi milenial (55 persen) yang paling merasakan masalah ini. Untuk generasi X jumlahnya 43 persen. Sementara untuk responden berusia 59 tahun, 35 persen menyatakan pesimistis.
”Gen Z ada di posisi sulit dan tidak mampu bayar uang muka rumah. Makanya, mereka sangat bergantung pada orangtua,” kata Katherine Fox, perencana keuangan dan pendiri konsultan keuangan Sunnybranch Wealth.
Baca juga: Anak-anak Muda Terpasung Hidup dari Bulan ke Bulan
Penasihat keuangan merekomendasikan pengeluaran untuk pembelian perumahan itu tidak lebih dari 30 persen pendapatan kotor bulanan. Akan tetapi, sebagian besar membayar jauh lebih banyak. Sebanyak 1 dari 3 orang AS mengatakan, 31-60 persen dari pendapatan mereka digunakan untuk perumahan. Sebanyak 1 dari 10 orang mengatakan, 60 persen pendapatan mereka digunakan untuk perumahan setiap bulannya.
Untuk menyiasati biaya-biaya ini, banyak orang kemudian membuang impiannya untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Secara nasional, 14 persen orang dewasa di AS tinggal bersama keluarga dan 31 persen generasi Z masih tinggal bersama orangtua.
Baca juga: Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
Menurut survei Harris Poll untuk Bloomberg yang dikutip CBS News, 30 Januari 2024, sekitar 45 persen anak muda berusia 18-29 tahun tinggal bersama orangtua. Angka itu tertinggi sejak tahun 1940-an. Generasi Z yang tidak tinggal bersama orangtua berencana sewa kos atau sewa rumah saja untuk selamanya.
”Saya sudah berusaha melakukan semuanya dengan benar. Lulus kuliah tanpa utang. Cerdas mengelola uang. Namun, uang saya belum cukup juga,” kata Annelise Sforza (30), yang masih tinggal di rumah orangtuanya.
Batal pensiun
Fox justru melihat sisi positif dari meningkatnya ketergantungan generasi Z pada orangtua dalam urusan kepemilikan rumah. Bukan sesuatu yang buruk jika mempertimbangkan transfer kekayaan generasi baby boomer dengan anak-anak milenial dan generasi Z.
”Orangtua yang membantu anak-anaknya membayar uang muka mempercepat transfer kekayaan ini ketika mereka masih hidup. Orangtua menggunakan uang warisan mereka untuk anak-anak. Ini membantu membangun keamanan finansial anak-anak mereka,” kata Fox.
Tren ini pun membuka pintu bagi keluarga untuk berkomunikasi lebih terbuka mengenai masalah uang dan kekayaan keluarga. Menurut Fox, generasi Z tidak hanya membutuhkan bantuan untuk membeli rumah. Gen Z juga perlu mempelajari dasar-dasar pendidikan finansial.
Baca juga: Gen Z Memilih Hidup Seimbang, Bekerja, Menjadi Aktual, dan Bahagia
Selain itu, mereka juga perlu menambah kekayaan dengan mempertimbangkan keamanan finansial jangka panjang. Saat ini, perbedaan yang paling jelas antara generasi Z yang mampu membeli rumah dan yang tidak mampu adalah kekayaan, keluarga, lokasi, dan pendapatan.
”Gen Z yang berpenghasilan tinggi mungkin bisa membeli rumah. Tetapi, banyak dari mereka yang bergaji tinggi juga tinggal di daerah dengan biaya hidup tinggi. Jadi, kondisinya akan sama saja. Daya belinya akan kurang,” kata Fox.
Analis perumahan di AceableAgent, Laura Adams, menilai, bagi generasi Z yang tidak memiliki dukungan finansial dari keluarga, memiliki rumah mungkin hanya angan-angan tak tergapai, setidaknya dalam waktu dekat.
Baca juga: Generasi Muda China Tolak Tekanan Kehidupan dan Pekerjaan
Generasi Z yang berpenghasilan rata-rata atau lebih rendah atau tanpa dukungan keluarga terpaksa menunda membeli rumah. Penundaan itu sampai setidaknya mereka bisa menabung cukup uang untuk membayar uang muka atau ketika harga rumah dan suku bunga turun.
Menurut survei Savings.com, awal Maret 2024, 47 persen orangtua masih menanggung biaya anak-anak mereka yang sudah dewasa. Hal ini mencakup segala hal, mulai dari uang untuk liburan sampai urusan tagihan kartu kredit. Sebanyak 60 persen orangtua bahkan masih membayar sewa bulanan rumah atau kos anak-anaknya.
Alokasi uang untuk membantu anak-anak malah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan alokasi tabungan pensiun setiap bulannya. Jumlah rata-rata uang yang diberikan kepada anak-anak mereka 1.384 dollar AS (Rp 21,7 juta) per bulan. Sementara untuk tabungan pensiun, mereka mengeluarkan uang rata-rata 609 dollar AS (Rp 9,5 juta) per bulan.
Harga sewa rumah atau apartemen saja sudah melambung terus. Manajer Analitik Savings.com Beth Klongpayabal menjelaskan, harga sewa telah melampaui pertumbuhan pendapatan di 46 dari 50 wilayah metropolitan terpadat di AS sejak 1985. Beberapa kota melaporkan kenaikan harga sewa lebih dari 75 persen dalam 15 tahun terakhir.
Warisan
Kevin Thompson, perencana keuangan dan pendiri serta CEO 9i Capital Group, menjelaskan, banyak orangtua membayarkan pinjaman pelajar anaknya dan utang-utang lainnya. Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah meski merugikan kehidupan orangtua. Orangtua pun tidak bisa pensiun dengan tenang.
Akan tetapi, orangtua tetap merasa berkewajiban membantu anaknya meski itu merugikan mereka sendiri. ”Kita meninggalkan warisan utang untuk generasi mendatang. Ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan,” ujarnya.
Dampak dari generasi yang masih bergantung pada orangtua mereka sangat luas. Pakar keuangan Michael Ryan, yang mengelola michaelryanmoney.com, menjelaskan, bergantung pada orangtua malah akan menghambat kemampuan anak muda mandiri secara finansial. Ini berisiko menumbuhkan pola pikir ketergantungan dan bukan kemandirian.
Baca juga: Gen Z, Kecil-kecil Sudah Jadi Bos
Menurut instruktur literasi keuangan di Tennessee, Alex Beene, orangtua berhak membantu anaknya. Jika masih memiliki orangtua yang masih bisa membantu, anak muda itu beruntung. Hanya, banyak juga yang menjadi bermasalah karena orangtuanya punya utang dalam jumlah besar.
Tidak jarang orangtua bahkan menghadapi ketidakamanan dalam pekerjaan mereka sendiri. ”Jika Anda orangtua, Anda harus menghadapi kenyataan pahit. Kalau orangtua tidak kuat secara finansial dan mencoba membantu anaknya, bisa jadi malah akan tenggelam bersama,” ujarnya.