Putin Mengakui Keterlibatan Kelompok Radikal dalam Serangan di Moskwa
Terlepas dari semua tanda-tanda yang mengarah ke NIIS, Putin tak mau melepaskan kecurigaan terhadap Ukraina.
MOSKWA, SENIN — Presiden Rusia Vladimir Putin akhirnya mengakui para pelaku serangan di Balai Kota Crocus yang menewaskan 139 orang dan melukai 180 orang adalah anggota ”kelompok radikal”. Baru kali ini Putin mengakui hal itu sejak serangan terjadi pada 22 Maret 2024.
Meski demikian, Putin tetap berkeyakinan Ukraina bisa saja ikut berperan dalam serangan itu. Keyakinan ini masih kuat karena belum diketahui jelas alasan para pelaku melarikan diri ke arah Ukraina setelah serangan. Ukraina sudah membantah keras tuduhan Rusia itu.
Baca juga: Tersangka Teror Moskwa Jalani Persidangan Awal
Pernyataan Putin itu disampaikan dalam pertemuan untuk membahas respons terhadap serangan itu, Senin (25/3/2024). Sebelum pernyataan Putin, Presiden Perancis Emmanuel Macron menyatakan memiliki informasi intelijen yang menunjukkan entitas Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang melakukan serangan itu.
Kelompok itu bahkan hendak menyerang Perancis. Pernyataan Macron itu menyusul klaim Amerika Serikat bahwa NIIS-Khorasan yang berafiliasi dengan Afghanistan adalah pelakunya. NIIS sudah mengakui serangan itu dan sudah merilis rekaman serangannya.
Meski demikian, para penyelidik kasus ini belum mengetahui siapa yang memerintahkan serangan. Bagi Putin, penting untuk mencari tahu mengapa terduga pelaku penembakan itu mencoba melarikan diri ke Ukraina dan siapa yang menunggu mereka di sana. Terlepas dari semua tanda-tanda yang mengarah ke NIIS, Putin tak mau melepaskan kecurigaannya terhadap Ukraina.
Baca juga: Rusia Tuding Ukraina Terlibat Serangan di Dekat Moskwa, Korban Tewas Jadi 133 Orang
”Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari serangan ini. Siapa yang memerintahkannya? Kekejaman ini mungkin hanya rangkaian dari upaya mereka yang berperang dengan kita sejak 2014 oleh rezim neo-Nazi Kyiv,” kata Putin.
Putin mengatakan, AS, dengan berbagai cara, berusaha meyakinkan dunia bahwa tidak ada jejak Kyiv dalam serangan teror Moskwa. Putin juga memperingatkan kemungkinan akan terjadi lebih banyak serangan dan kemungkinan negara-negara Barat terlibat. Dia tidak menyinggung kemungkinan serangan teroris yang disampaikan secara rahasia oleh AS kepada Moskwa dua pekan sebelum serangan terjadi.
Tiga hari sebelum serangan, Putin mengecam pemberitahuan Kedutaan Besar AS di Rusia pada 7 Maret yang mengimbau warga AS menghindari kerumunan di Moskwa, termasuk konser. Hal itu dinilai Putin upaya untuk menakut-nakuti warga Rusia menjelang pemilihan presiden.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, kepada harian Komsomolskaya Prava, mengatakan, AS sedang membangkitkan ”hantu” NIIS untuk menutupi pelaku yang sebenarnya di Kyiv. Zakharova mempertanyakan pernyataan AS bahwa NIIS, yang pernah berusaha menguasai Irak dan Suriah, berada di balik serangan itu. Dia mengingatkan bahwa AS pernah mendukung mujahidin yang melawan pasukan Soviet di Afghanistan pada 1980-an.
Baca juga: Cikal Bakal NIIS di Rusia, Mengapa Mereka Serang Jantung Pemerintahan Putin?
Pertanyaannya, mengapa NIIS menyerang Rusia? Harian The Guardian, 25 Maret 2024, menyebutkan, ada alasan praktis, historis, dan ideologis. Para pemimpin NIIS telah lama melihat serangan terhadap sasaran yang jauh sebagai bagian integral dari proyek mereka. Operasi semacam ini—jika berhasil—tidak hanya meneror musuh-musuh mereka, tetapi juga memobilisasi pendukung yang ada dan menarik pendukung baru.
Sering kali target ditentukan oleh sumber daya yang tersedia. Dalam 18 bulan terakhir, NIIS merekrut anggota di Asia Tengah melalui cabangnya di Afghanistan, Negara Islam Provinsi Khorasan (ISKP). Lantaran mereka bisa berbahasa Rusia, atau bahkan warga negara Rusia, para rekrutan ini mudah mencapai target di Moskwa.
Rusia sudah jadi incaran NIIS selama bertahun-tahun. Para pemimpin NIIS menyadari dukungan Rusia terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah. Poin penting yang disampaikan dalam propaganda NIIS mulai dari Pakistan hingga Nigeria adalah Moskwa bagian dari koalisi yang lebih luas yang terlibat dalam pertempuran selama 1.400 tahun melawan Islam.
Baca juga: Rusia Tenggelam dalam Duka
Para pemimpin ISKP kemungkinan juga melihat Rusia mendukung berlanjutnya kekuasaan Taliban yang telah menindas mereka. Mereka mengingat operasi militer Soviet di Afghanistan pada 1980-an dan ”jihad” yang dilakukan ayah atau kakek mereka melawan Rusia. Perang berdarah Rusia di Chechnya pada 1999 bisa jadi salah satu faktor.
Sebagian besar serangan yang terkait dengan ekstremis yang menimpa Rusia dalam seperempat abad terakhir dilakukan kelompok separatis Chechnya. Di antaranya kasus penyitaan sekolah di Beslan pada 2004 yang menewaskan 300 orang. Ada pula pengeboman apartemen pada 1999 yang memicu lagi perang Rusia-Chechnya.
Setelah NIIS mendeklarasikan kekhalifahan di sebagian besar Suriah dan Irak pada Juni 2014, ribuan laki-laki dan perempuan dari seluruh dunia bergabung. Mereka termasuk ribuan orang dari bekas Uni Soviet, ratusan di antaranya dari Tajikistan.
Baca juga: Klaim AS Tahu Rencana Serangan di Dekat Moskwa Picu Kecurigaan Rusia
Salah satu tokoh paling menonjol yang bergabung dengan NIIS adalah Gulmurod Khalimov. Dia perwira pasukan khusus Tajikistan sebelum membelot dan bergabung dengan NIIS di Suriah pada 2015. Pada 2017, militer Rusia mengatakan, Khalimov terbunuh dalam serangan udara Rusia di Suriah.
NIIS mengakui sebagai dalang pengeboman pada 2015 terhadap sebuah pesawat Rusia yang membawa wisatawan pulang dari resor Mesir Sharm al-Sheik. Dua tahun kemudian, mereka mengaku di balik bom bunuh diri di kereta bawah tanah di St Petersburg yang menewaskan 15 orang.
Dipaksakan
Sampai sejauh ini sudah ada 11 orang yang ditahan, empat tersangka di antaranya mengaku melarikan diri ke arah wilayah Bryansk untuk mencoba menyelinap masuk ke Ukraina. Keempat pelaku yang semua warga negara Tajikistan itu mengaku bersalah dan bisa diancam dengan hukuman seumur hidup. Namun, jika melihat kondisi wajah mereka yang lebam dan bengkak seperti mengalami penyiksaan, pengakuan bersalah mereka mungkin dipaksakan.
Salah satu pelaku, Dalerdzhon Mirzoyev, tampak lemas bersandar pada kaca saat tuduhan terorisme dibacakan. Pelaku lain, Saidakrami Rachabalizoda, muncul dengan telinga dibalut perban. Sementara Muhammadsobir Fayzov muncul dengan pakaian rumah sakit dan duduk di kursi roda dengan wajah penuh luka.
Tersangka keempat, Syamsiddin Fariduni, wajahnya juga memar. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menolak menjawab pertanyaan wartawan mengenai apakah mereka disiksa.
Baca juga: Meluruskan Istilah ”Lone Wolf”
Kantor berita Rusia, Interfax, menyebutkan, pengadilan menahan dua tersangka lagi yang berasal dari Tajikistan, yakni ayah dan anak Isroil dan Aminchon Islomov. Putranya yang berkewarganegaraan Rusia, Dilovar, juga ditahan. Komite Investigasi meyakini Aminchon dan Dilovar direkrut oleh Fariduni. Dilovar disebutkan sebagai pemilik mobil yang digunakan ketika mereka menyerang Balai Kota Crocus.
Kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia di Rusia mengecam kekerasan yang dialami para tersangka. Team Against Torture, kelompok yang menentang kebrutalan polisi, mengatakan, para pelaku memang harus menghadapi hukuman berat, tetapi mereka tidak boleh diperlakukan dengan biadab. Nilai kesaksian atau pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaan itu tidak kuat.
”Jika pemerintah membiarkan penyiksaan terhadap tersangka terorisme, pemerintah juga akan mengizinkan kekerasan yang melanggar hukum terhadap warga negara lainnya,” sebut kelompok itu.
Net Freedoms, kelompok lain yang berfokus pada kasus-kasus kebebasan berpendapat, Putin dan dinas keamanan mengizinkan pembunuhan di luar proses hukum. Putin bahkan memberikan instruksi kepada pasukan keamanan untuk ”menghukum pengkhianat tanpa batas waktu di mana pun mereka berada”.
Baca juga: Pemimpin NIIS Mati, Terorisme Belum
Net Freedoms menilai perlakuan terhadap tersangka penembakan itu kemungkinan awal dari Teror Besar baru. Ini mengacu pada penindasan massal yang pernah dilakukan diktator Soviet, Josef Stalin. Kelompok ini khawatir polisi akan semakin brutal terhadap tersangka kasus terorisme dan peningkatan kejahatan kekerasan terhadap migran.
Sergei Davidis dari kelompok HAM Memorial mengatakan, penganiayaan aparat penegak hukum terhadap tersangka bukan hal baru. Praktik penyiksaan itu sudah dilakukan terhadap tawanan perang Ukraina, para teroris, orang yang terlibat kasus pengkhianatan tingkat tinggi, dan kejahatan lainnya. ”Semua tersangka kasus yang diselidiki Dinas Keamanan Federal pasti disiksa. Baru kali ini saja hasil penyiksaan mereka dilihat publik,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)