Ironi Global, Satu Miliar Ton Makanan Terbuang, 783 Juta Orang Kelaparan
Setiap orang membuang rata-rata 79 kilogram makanan setiap tahun. Padahal, tragedi kelaparan mengintai di mana-mana.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
NAIROBI, KAMIS – Sebanyak 1,05 miliar metrik ton atau setara dengan 1,15 miliar ton makanan terbuang sia-sia, sementara ada 783 juta orang menghadapi kelaparan sepanjang 2022. Demikian laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jumlah sampah makanan yang terbuang sia-sia itu mencapai sekitar 19 persen makanan yang diproduksi secara global pada tahun 2022. Laporan Indeks Limbah Makanan yang disusun oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) bersama badan amal Waste and Resources Action Program (WRAP) itu diluncurkan di Nairobi, Kenya, Rabu (27/3/2024).
Laporan PBB tersebut menunjukkan jumlah sampah makanan meningkat drastis di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Jumlah sampah makanan di negara-negara berpendapatan rendah itu tak jauh berbeda dari negara-negara berpendapatan tinggi.
Pada laporan tahun 2021, laporan yang sama memperkirakan sampah makanan mencapai 17 persen dari makanan yang diproduksi secara global pada 2019. Jumlah ini mencapai sekitar 931 juta metrik ton yang setara dengan 1,03 miliar ton.
Namun, angka tersebut tak bisa dibandingkan secara langsung dengan angka 2022 sebab jumlah negara yang melapor berbeda. Pada 2022, jumlah negara yang melaporkan indeks ini bertambah hampir dua kali lipat dari laporan pertama pada 2021.
Richard Swannel, salah satu penulis laporan dan juga Direktur Impact Growth di WRAP, mengatakan, limbah makanan bukanlah masalah negara kaya. Sampah makanan ini merupakan masalah global. ”Datanya sangat jelas. Masalah ini terjadi di seluruh dunia,” katanya.
Rumah tangga mendominasi
Untuk menghitung sampah makanan, para peneliti menganalisis data negara dari rumah tangga, layanan makanan, hingga pengecer makanan. Dari analisis itu ditemukan bahwa setiap orang membuang rata-rata 79 kilogram makanan setiap tahun. Jumlah ini setara dengan setidaknya 1 miliar porsi makanan terbuang per hari di seluruh dunia.
Sebagian besar sampah makanan itu berasal dari rumah tangga, mencapai sekitar 60 persen. Sekitar 28 persen berasal dari layanan makanan atau restoran dan sekitar 12 persen berasal dari pengecer.
Setiap orang membuang rata-rata 79 kilogram makanan setiap tahun, setara dengan setidaknya 1 miliar porsi makanan terbuang per hari di seluruh dunia.
Di tengah banyaknya makanan yang dilaporkan terbuang itu, saat ini sekitar 783 juta orang di seluruh dunia tengah menghadapi kelaparan kronis. Krisis pangan terjadi di banyak lokasi dan terus bertambah parah akibat beragam konflik yang pecah. Perang Hamas-Israel dan kekerasan di Haiti, di antaranya, telah memperburuk krisis pangan ini.
”Ini seperti parodi. Masalah ini tak masuk akal dan merupakan masalah rumit. Namun, dengan kolaborasi dan tindakan sistematis, masalah ini dapat diatasi,” kata Clementine O’Connor, salah satu penulis laporan yang juga Juru Bicara Limbah Makanan di UNEP.
Laporan tersebut juga dimaksudkan untuk mengukur kemajuan sejumlah negara dalam mengurangi limbah makanan. Pada 2030, negara-negara di dunia ditargetkan mampu mengurangi sampah makanan hingga separuhnya.
Gas rumah kaca
Selain ironinya terkait tingginya angka kelaparan, limbah makanan menjadi perhatian global karena dampak produksi pangan terhadap lingkungan. Produksi pangan dunia menyumbang kerusakan tanah dan kelangkaan air serta memburuknya kelestarian satwa dan pertambahan emisi gas rumah kaca.
Dari masa pra-industri hingga sekarang, produksi pangan diperkirakan menghasilkan metana yang menyumbang sekitar 30 persen pada pemanasan global.
Limbah makanan menghasilkan 8 hingga 10 persen emisi gas rumah kaca global. Jumlah ini setara dengan peringkat ketiga penyumbang gas rumah kaca dunia setelah China dan Amerika Serikat.
Fadila Jumare dari badan penelitian Busara Center for Behavioral Economics di Nigeria mengatakan, masalah ini semakin merugikan banyak orang yang sudah rawan pangan dan tidak mampu membeli makanan sehat.
Busara Center for Behavioral Economics telah mempelajari pencegahan limbah makanan di Kenya dan Nigeria. ”Bagi umat manusia, sampah makanan berarti semakin sedikit makanan yang tersedia bagi masyarakat termiskin,” kata Jumare.
Brian Roe, peneliti limbah makanan di Ohio State University, menyebutkan, indeks ini penting untuk mengatasi limbah makanan sehingga produksi pangan bisa lebih efektif dan ramah lingkungan.
”Prinsip utamanya adalah mengurangi jumlah makanan yang terbuang. Cara ini dapat mencapai tujuan terkait konservasi sumber daya, kerusakan lingkungan yang berkurang, ketahanan pangan yang lebih baik, dan lebih banyak lahan untuk digunakan selain sebagai tempat pembuangan sampah dan produksi pangan,” jelas Roe.
Laporan PBB itu juga menyebutkan, telah banyak upaya untuk mengurangi sampah makanan dengan kemitraan pemerintah dan swasta. Salah satu upaya terpenting adalah distribusi ulang (redistribusi) makanan yang tak habis dikonsumsi.
Redistribusi ini termasuk menyumbangkan kelebihan makanan ke bank makanan dan badan amal. Langkah ini dinilai sangat penting dalam mengatasi limbah makanan di kalangan pengecer.
Salah satu kelompok yang melakukannya adalah Bank Makanan Kenya (Food Banking Kenya). Organisasi nirlaba ini menerima kelebihan makanan dari pertanian, pasar, supermarket, dan tempat pengepakan. Makanan yang diterima kemudian didistribusikan kepada anak-anak sekolah dan kelompok rentan.
Di Kenya, sampah makanan diperkirakan mencapai 4,45 juta metrik ton (sekitar 4,9 juta ton) makanan per tahun. ”Kami memberikan dampak positif terhadap masyarakat dengan menyediakan makanan bergizi dan juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan dengan mengurangi emisi gas berbahaya,” kata John Gathungu, salah satu pendiri dan Direktur Eksekutif Bank Makanan Kenya. (AP)