Pengalaman Masa Lalu Mengajarkan Kesiagaan Rakyat Taiwan Hadapi Bencana
Sejak gempa 2018, Taiwan memperkuat koordinasi antara unit pemerintah dan nonpemerintah untuk tanggap bencana.
KAMIS, TAIPEI — Gempa besar yang pernah terjadi sebelumnya di Taiwan telah membentuk kesiapsiagaan warga dan pemerintahan wilayah itu lebih baik dalam menghadapi gempa. Sejauh ini korban tewas akibat gempa sangat sedikit, yakni 10 orang hingga Kamis (4/4/2024), meski sejumlah warga masih dinyatakan hilang.
Akan tetapi, tetap saja, bencana menimbulkan trauma. Gempa bermagnitudo 7,2 mengguncang Taiwan pada Rabu (3/4/2024) pagi. Pusat gempa ada di perairan timur Taiwan yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Hualien. Gempa tektonik di kedalaman 35 km itu sempat memicu peringatan tsunami yang lalu dicabut.
Linda Chen (48), salah satu warga Hualien, sedih karena rumahnya rusak berat. Retakan tembok di salah satu sisi bangunan membuat orang lain yang melintasi di samping rumahnya bisa melongok ke dalam.
Salah satu kenangan yang tertera di tembok adalah beberapa tanda untuk melacak pertumbuhan tinggi badan putranya dari kecil hingga dewasa. ”Kenangan itu hancur tiba-tiba,” ujar Linda Chen.
Baca juga: Taiwan Terguncang Gempa Terbesar Dalam 25 Tahun
Sang suami, Chen Chin-ming, seorang polisi, tampaknya lebih tertekan dibandingkan dengan istrinya atau bahkan putranya. Chen Chin-ming mengatakan, secara pribadi dia merasa gagal karena dia tidak bisa memastikan tempat tinggal yang aman bagi keluarganya.
”Saya merasa sedih dan stres. Ada banyak tekanan di dalam hati saya dalam situasi sekarang ini. Saya merasa khawatir, istri dan putra saya harus hidup dalam ketakutan,” katanya.
Putra mereka, Chen Le-chi, mengaku tidak berani menghabiskan waktu terlalu lama di rumah mereka. ”Rasanya, jika ada gempa susulan, rumah akan runtuh,” kata siswa sekolah menengah atas itu.
Dia pun mengajak kedua orangtuanya untuk mengungsi sementara ke tempat penampungan. Meski mungkin berdesakan dengan warga lain, di sana lebih aman dan untuk sementara semua kebutuhan dipenuhi oleh pemerintah.
Keputusan serupa juga diambil Hendri Sutrisno, warga Indonesia. Dia menempati sebuah tenda darurat yang disediakan otoritas kebencanaan Taiwan di salah satu sekolah dasar di Hualien. Di tenda itu, dia, istri dan anak mereka yang baru berusia tiga bulan tinggal untuk sementara waktu.
”Kami memiliki semua perlengkapan yang diperlukan. Selimut, toilet, dan tempat untuk beristirahat,” kata Hendri.
Baca juga: Hantu Jiji dan Cara Taiwan Berdamai dengan Gempa
Saat gempa terjadi, Hendri dan keluarga bersembunyi di bawah meja bersama bayi mereka. Khawatir gedung tempat tinggal mereka runtuh, Hendri dan keluarganya memutuskan untuk keluar dan tinggal di tempat pengungsian.
Sejak Kamis pagi, tercatat Hualien telah mengalami 300 kali gempa susulan.
”Kekhawatiran kami adalah ketika terjadi gempa susulan yang besar akan sangat sulit bagi kami untuk melakukan evakuasi sekali lagi, terutama karena ada bayi. Jadi, akan lebih baik dan bijaksana bagi kami untuk tetap di sini,” kata Hendri di tempat pengungsian.
Pelajaran dari masa lalu
Hanya berselang dua jam setelah gempa dangkal yang dahsyat melanda Hualien, Chang Tung-yao, warga setempat, sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Yang paling utama dibutuhkan adalah tempat penampungan sementara bagi warga yang kehilangan tempat tinggal atau warga yang membutuhkan pertolongan darurat.
Di sebuah bagunan sekolah, Chang dan timnya langsung mendirikan tempat penampungan darurat. Pada hari pertama setelah gempa, lebih dari 130 warga menginap semalam di sana. Semua kebutuhan mereka dipenuhi oleh Chang dan timnya.
Chang bukan pejabat pengambilan keputusan tertinggi di Hualien. Dia adalah seorang kepala lingkungan, pejabat terpilih tingkat terendah di Taiwan. Meski demikian, pengalamannya membuatnya bisa mengambil keputusan dengan cepat.
”Kontak bersama dengan departemen-departemen pemerintah adalah kuncinya,” ujar Chang.
Baca juga: Sehari Pascagempa Taiwan, 137 Orang Masih Terjebak Longsoran
Ini berkat pengalaman yang didapatkan warga Taiwan setelah beberapa kali terkena bencana gempa. Sejak gempa tahun 2018, Chang mengatakan, pemerintah daerah berupaya memperkuat koordinasi dan kerja sama antara unit pemerintah dan organisasi-organisasi nonpemerintah untuk tanggap dan bantuan kebencanaan.
”Semua orang melakukan tugasnya. Pemerintah daerah dan kantor administrasi setempat bekerja sama untuk meminimalkan kerusakan sebanyak mungkin,” kata Chang.
Taiwan tidak asing dengan gempa. Wilayah ini dilintasi dua lempeng tektonik. Lebih dari 100 orang tewas dalam gempa bumi di Taiwan selatan pada tahun 2016. Gempa bermagnitudo 7,3 tahun 1999 menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan rakyat Taiwan. Kala itu lebih dari 2.000 orang tewas, 10.000 orang luka-luka, dan lebih dari 100.000 rumah hancur.
Baca juga: Gempa Taiwan Dipicu Salah Satu Sesar Paling Aktif di Dunia
Gempa tahun 1999, yang biasa disebut sebagai ”gempa 921” karena terjadi pada tanggal 21 September, mendorong Pemerintah Taiwan merevisi peraturan bangunan dan memperkuat undang-undang penanggulangan bencana. Pemerintah menetapkan setiap 21 September sebagai hari kesiapsiagaan dan latihan kebencanaan di seluruh Taiwan.
Donna Wu, Wakil Direktur The Mustard Seed Mission, mengatakan, respons pada 2018 sangat kacau. Mereka mengambil pelajaran dari hal tersebut. ”Saat itu, semua orang melakukan hal yang sama. Tugas tidak terkoordinasi,” kata Wu. ”Kali ini setiap kelompok mempunyai tugas berbeda.”
Taiwan mempunyai alasan kuat lainnya untuk mempersiapkan kesiapsiagaan warga dan aparat pemerintahannya. Salah satunya adalah potensi serangan dari China yang terus meningkat. Sistem peringatan gempa bumi, dengan alarm yang berbunyi di ponsel, sama dengan alarm yang digunakan pemerintah untuk memperingatkan akan adanya ancaman serangan udara jet-jet tempur China.
Pelaksanaan latihan pertahanan sipil Min’an setiap tahun, yang awalnya fokus pada kebencanaan, sedikit bergeser tahun lalu. Pemerintah Taiwan membahas bagaimana menanggapi serangan China sebagai bagian dari latihan tersebut.
Kementerian Urusan Digital Taiwan, yang baru mulai beroperasi pada 2022, berada di garis depan untuk memastikan ketahanan jaringan komunikasi saat bencana. Kementerian ini melaporkan, sebagian besar jaringan tidak terpengaruh setelah gempa terjadi, terutama layanan internet.
Kota-kota dan kabupaten-kabupaten di Taiwan memiliki tim penyelamat yang siaga 24 jam sehari, siap memberikan respons kapan pun jika terjadi bencana.
Baca juga: Cerita Mahasiswa Indonesia tentang Detik-detik Gempa Besar Mengguncang Taiwan
Kurang dari satu jam setelah gempa terakhir terjadi, misalnya, Pemerintah Kaohsiung di Taiwan selatan langsung mengerahkan tim penyelamat ke Hualien. Lewat pangkalan udara di Pingtung, mereka diterbangkan dengan pesawat angkutan logistik ke pusat bencana.
Untuk melatih kemampuan tim pencari dan tim tanggap bencana, Pemerintah Taiwan juga secara rutin mengirimkan personel-personel tim itu ke zona bencana lain di seluruh dunia, termasuk ke Turki ketika negara itu dilanda gempa besar tahun lalu.
Sandra Oudkirk, duta besar de facto AS untuk Taiwan, memuji kemampuan tanggap darurat Taiwan dan rakyatnya. ”Taiwan telah menunjukkan model pencegahan bencana, manajemen bencana, dan penyelamatan kemanusiaan yang sukses kepada masyarakat di seluruh dunia,” tulisnya di laman Facebook. (AP/AFP/REUTERS)