Strategi Kota-kota Dunia Menata Transportasi Umum yang Ramah Iklim
Kota-kota di dunia berupaya memenuhi kebutuhan transportasi warganya sekaligus memenuhi target perjanjian iklim 2015.
Transportasi umum dan kendaraan pribadi dengan bahan bakar fosil di kota-kota besar berkontribusi besar pada polusi udara dan buruknya kualitas udara perkotaan. Utamanya akibat emisi gas buang dan kemacetan yang ditimbulkan.
Mengacu pada Perjanjian Paris 2015, setiap kota di dunia sudah bersepakat untuk mengurangi dampak emisi gas rumah kaca dan menahan pemanasan Bumi hingga setidaknya 1,5 derajat celsius. Tantangan pengelola kota untuk memenuhi perjanjian itu semakin besar, berkelindan dengan semakin tingginya permintaan akan kebutuhan transportasi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, pada 2030 sekitar 60 persen penduduk dunia akan lebih banyak tinggal di perkotaan. Hal ini membuat kebutuhan akan mobilitas begitu tinggi. Beban pada angkutan semakin besar.
Menurut indeks TomTom 2021 yang menganalisis kemacetan lalu lintas dan emisi yang timbul di lebih dari 400 kota di dunia, banyak kota di dunia masuk kategori kota buruk dengan tingkat kemacetan parah. Lima besarnya adalah Istanbul, Moskwa, Kyiv, Bogota, dan Mumbai.
Baca juga: Dunia Sepakati Akselerasi Aksi İklim Bersama
Pada 2023, indeks kemacetan kota berubah. Pada 2023, lima besar kota paling macet ditempati London, Dublin, Toronto, Milan, dan Lima.
Perubahan indeks ini berkaitan dengan upaya pengelola kota mencari strategi memperlancar mobilitas dan mengatasi kemacetan demi mengurangi emisi, salah satunya membatasi penggunaan kendaraan pribadi di tengah kota.
Seperti dikutip World Economic Forum (weforum) 2022, pengelola kota mendorong penduduk untuk lebih banyak menggunakan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Pengelola kota mengimbangi dorongan itu dengan upaya merevolusi kualitas dan sistem angkutan umum.
Pengelola kota-kota berupaya menyediakan dan membangun sistem transportasi umum yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau untuk semua. Sumber penggerak transportasi umum juga berasal dari listrik atau energi terbarukan, bukan lagi transportasi dengan bahan bakar fosil.
Kereta gantung di Paris
Pengelola kota Paris di Perancis, misalnya, menyetujui pembangunan angkutan umum ramah lingkungan berupa lintasan kereta gantung. Dalam laman European Metropolitan Transport Authorities (EMTA) disebutkan, layanan kereta gantung yang disebut “Cable C1” tengah dibangun di wilayah Val-de-Marne di sisi tenggara Paris.
Total 20.000 orang dan 6.000 pekerja dari wilayah itu akan terbantu dengan layanan yang direncanakan beroperasi pada pertengahan 2025.
Menurut EMTA, proyek kereta gantung itu disesuaikan dengan kesulitan mobilitas warga. Penduduk di wilayah itu tak memiliki akses pada angkutan umum karena dikepung infrastruktur jalan dan jalur kereta, serta areanya berbukit. Bus pun tidak maksimal beroperasi di area itu.
Baca juga: Angkutan Massal, Solusi Reduksi Emisi Karbon Sektor Transportasi
Proyek “Cable C1” senilai 110 juta euro itu terbentang sejauh 4,5 kilometer dengan lima stasiun. Lintasan “Cable C1” menghubungkan empat area di Val-de-Marne, yaitu Créteil, Villeneuve-Saint-Georges, Limeil-Brévannes, dan Valenton. Layanan kereta gantung ini juga akan terhubung dengan jaringan angkutan umum yang tersedia saat ini, yaitu Metro Line 8, jaringan kereta api reguler, dan bus.
Layanan kereta gantung itu akan terhubung dengan jaringan angkutan umum yang tersedia saat ini, yaitu Metro Line 8, jaringan kereta api reguler, dan bus.
Waktu tempuh dari ujung ke ujung diperkirakan kurang dari 17 menit. Dalam pengoperasian nantinya, jarak kedatangan antarkereta diatur 30 detik sehingga sebanyak 1.600 orang bisa diangkut saat jam sibuk. Proyek kereta gantung perkotaan yang inovatif ini disebut siap merevolusi transportasi di wilayah itu.
Kebijakan ambisius di Oslo
Strategi di Oslo, Norwegia, sedikit berbeda. Merujuk pada situs “Mayors of Europe”, Oslo punya kebijakan ambisius. Mulai 2015 secara bertahap Oslo melarang penggunaan kendaraan pribadi di tengah kota.
Kebijakan tersebut berkaitan dengan target Oslo untuk bebas emisi karbon dari bahan bakar fosil pada 2050. Selain itu, pengelola kota juga menetapkan target menjadikan Oslo lebih layak huni dan ramah lingkungan.
Protes dan kritik yang muncul membuat Pemerintah Kota Oslo mengubah kebijakan. Di samping melarang penggunaan kendaraan pribadi, pemerintah setempat juga melarang parkir di tengah kota.
Sebanyak 700 tempat parkir di pusat kota diubah menjadi jalur sepeda dan taman-taman kecil dengan tempat duduk. Pemerintah kota mendorong warga Oslo lebih banyak menggunakan angkutan umum yang terus dibenahi kualitas dan diperluas jaringannya. Pemerintah kota juga mengoperasikan bus-bus listrik. Warga didorong pula untuk bersepeda atau berjalan kaki.
Pemerintah kota London juga mencari cara untuk mendorong warga kota meninggalkan kendaraan pribadi mereka. Pengusaha angkutan daring didorong bekerja sama dengan pengusaha bus air yang beroperasi di Sungai Thames. Pada saat jam sibuk, karyawan didorong menggunakan bus air menuju tempat kerja, bukan dengan bus atau kereta bawah tanah.
Bagaimana dengan Jakarta?
Sejak 2019, Jakarta mulai mengoperasikan layanan kereta perkotaan, MRT Jakarta. Dalam laman MRT Jakarta disebutkan, kebijakan penyediaan angkutan umum perkotaan untuk mengurangi kemacetan itu disertai dengan pembenahan kawasan sekitar stasiun komuter dan mengatur terjadinya integrasi antarmoda angkutan. Langkah itu untuk mendorong orang berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Baca juga: Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Transports Massal di ASEAN
Meski baru sepanjang 16 kilometer, angkutan umum berbasis rel itu menjadi alternatif bagi warga kota yang selama ini sulit mendapatkan layanan angkutan umum atau mereka yang selama ini bergantung pada kendaraan pribadi.
Perlu ada kemauan
Merujuk pada TomTom Indeks, pada 2017 Jakarta ada di peringkat ke-4 kota termacet dunia. Pada 2018 ada di peringkat ke-7. Pada 2019, saat MRT mulai diluncurkan, Jakarta ada di peringkat ke-10 kota termacet dunia. Jika ada kemauan berbenah, tingkat keparahan macet bisa dikurangi.
Pandemi Covid-19, dengan segala aturan pembatasan, pernah membuat Jakarta ada di posisi ke-46 kota termacet pada 2021. Namun pada 2023, Jakarta ada di peringkat ke-30 kota termacet di dunia.
Jakarta tetap melanjutkan pembangunan MRT fase 2 (Bundaran HI ke kawasan Ancol), LRT Jakarta fase 1B (Velodrome ke Manggarai), serta mulai mengoperasikan bus-bus listrik yang nyaman. Tujuannya, tentu saja, untuk mendorong warga menggunakan angkutan umum dan mengurangi emisi.
Di Malaysia, demi menghadapi perubahan iklim juga, Pemerintah Malaysia mendorong warga di Kuala Lumpur dan kota-kota besar di Malaysia menggunakan angkutan umum. Mereka mengimbangi imbauan itu dengan membangun jaringan angkutan umum.
Dalam laporan The Edge Malaysia, 21 September 2023, Menteri Transportasi Malaysia Anthony Loke menjelaskan, Pemerintah Malaysia menerapkan program My50 untuk menarik minat dan mendorong warga agar mau menggunakan angkutan umum. Dalam program itu, warga cukup mengeluarkan 50 ringgit Malaysia (setara Rp 170.000) per bulan untuk membayar biaya perjalanan, khususnya untuk penggunaan angkutan umum yang dikelola Prasana Malaysia Bhd. Pemerintah menyiapkan subsidi tarif untuk pembayaran selebihnya.
Kabar terbaru, pada 25 April 2024, Loke meluncurkan pembangunan jaringan kereta komuter listrik di selatan Semenanjung Malaysia, dari Gemas ke Johor Baru. Jaringan itu akan memudahkan warga yang hendak menuju Singapura.
World Economic Forum edisi 20 December 2023 juga menegaskan, negara-negara dan kota-kota besar perlu terus berinvestasi pada sarana angkutan yang terelektrifikasi serta memperluas pembangunan dan layanan angkutan umum. Bila langkah itu dilakukan, negara-negara dan kota-kota itu ada di jalur yang tepat untuk mengurangi emisi dan menyiapkan masa depan kota. (REUTERS)