Kecerdikan Iran Tak Patah Digempur Sanksi Barat
Awal industri pertahanan Iran justru dari kerja sama dengan AS. Nuklir pertamanya pun dari AS lewat ”Atoms for Peace”.
Pengembangan industri senjata Iran tak patah oleh gempuran Barat yang bertubi-tubi sejak Revolusi Iran 1979. Ketahanan Iran ini bersumber pada keunggulan ilmuwan yang terus dipupuk. Iran juga cerdik mencari celah, dari membangun pabrik-pabrik di luar negeri hingga menggunakan jaringan mitra yang bagi Barat dan sekutunya disebut jaringan ”penyelundup”.
Majunya industri senjata Iran dibuktikan dengan serangan ke Israel pada Sabtu (14/4/2024) lalu. Iran meluncurkan lebih dari 300 pesawat nirawak dan rudal ke Israel. Serangan ini mencakup 170 pesawat, 30 rudal jelajah, serta setidaknya 110 rudal balistik.
Baca juga: Pasca-pembunuhan Arsitek Nuklir Iran, Berbagai Pihak Tak Ingin Eskalasi Konflik
Sejak 1992, Iran mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Industri itu menghasilkan senjata-senjata ringan dan berat, mulai dari mortir dan torpedo hingga tank, kapal selam, pesawat nirawak, dan rudal.
Unjuk senjata Iran selanjutnya terlihat di parade militer di Teheran, Rabu (17/4/2024). Iran memamerkan versi baru Bavar-373, artileri pertahanan udara jarak jauh. Generasi awal Bavar yang artinya 'keyakinan' itu diluncurkan pada 2019. Dikutip dari Irna, otoritas Iran mengklaim generasi terbaru Bavar-373 mampu mencegat jet tempur F-35 buatan Amerika Serikat.
Laman Special Operations Forces Report (Sofrep) menulis, tampilan Bavar-373 di parade itu cukup mengejutkan. Peluncur dan pelacak yang dipasang pada truk MZKT-791300 8×8 buatan Belarusia itu menandai perkembangan signifikan bagi industri pertahanan Iran. Senjata baru menunjukkan peningkatan kemandirian Iran dan hasratnya pada jaringan pertahanan udara yang lebih maju.
Media Iran, Irna dan Mehr, melaporkan peningkatan kemampuan pelacakan target pada generasi baru Bavar-373. Senjata ini mampu mengidentifikasi hingga 100 target udara secara bersamaan. Rudal Sayyad-4B akan diluncurkan dari Bavar-373 ke target. Sayyad-4B merupakan peningkatan dari Sayyad-4.
Baca juga: Iran Umumkan Tujuh Persenjataan Baru
Dalam pidato saat peluncurannya pada 2019, Presiden Iran saat itu Hassan Rouhani mengungkapkan, sistem pertahanan udara Bavar-373 bahkan lebih kuat dari sistem pertahanan Rusia S-300 dan hampir bersaing dengan S-400.
Dampak sanksi
Pengembangan Bavar-373 berawal dari sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Iran. Karena sanksi itu, perjanjian penjualan S-300 dari Rusia ke Iran ditangguhkan pada 2010. Rusia baru bisa menyelesaikan pengiriman S-300 ke Teheran pada 2016 setelah sanksi dihapus.
Penghapusan sanksi bagian dari penerapan Joinct Comprehensive Plan on Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir Iran. Ditandatangani pada 2015, JCPOA melibatkan AS, Rusia, China, Inggris, Perancis, Jerman, dan Iran.
”Tercapainya JCPOA setelah proses panjang dan berliku lebih dari 10 tahun. Jelas ini capaian diplomasi yang luar biasa yang memberi harapan baru terbukanya penyelesaian masalah-masalah di Timur Tengah,” kata Dian Wirengjurit, Duta Besar Indonesia untuk Iran 2012-2016 dalam bukunya, Iran: Nuklir, Sanksi, Militer, dan Diplomasi.
Baca juga: Mengungkap Rahasia Houthi Menjatuhkan Pesawat Canggih Amerika Serikat
Memang, belakangan AS mundur secara sepihak dari JCPOA pada 2018. AS melakukan itu di masa pemerintahan Donald Trump. Tidak hanya mundur dari JCPOA, Trump juga menambah sanksi pada Iran.
Teheran marah dan menyebut Washington tidak menghormati komitmennya. Menyikapi itu, Rouhani memerintahkan Iran melanjutkan pengayaan uranium tanpa perlu ada pembatasan lagi.
Sejak itu, kecurigaan Barat bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir kian menjadi. Pengawas Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) juga berulang kali menyuarakan kekhawatiran itu. Dalam laporan Februari 2024, IAEA memperkirakan persediaan uranium yang diperkaya Iran telah mencapai lebih dari 27 kali lipat dari batas yang ditetapkan dalam perjanjian 2015.
Iran berulang kali menepisnya. ”Iran telah berulang kali mengatakan program nuklirnya hanya untuk tujuan damai. Senjata nuklir tidak memiliki tempat dalam doktrin nuklir kami,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, Senin (22/4/2024).
Kemitraan erat
Kemajuan industri pertahanan Iran di tengah gempuran sanksi Barat menunjukkan negara itu sudah mencapai kemandirian. Hal ini didukung kemitraan erat dengan Rusia, China, dan Korea Utara.
Uniknya, landasan industri senjata Iran sendiri justru diletakkan bersama AS sejak 1957. Bahkan, Iran memperoleh nuklir pertamanya dari program AS ”Atoms for Peace”. Kala itu, monarki Iran dekat dengan AS. Syaratnya, Iran tak boleh mengembangkan senjata nuklir.
Setelah Revolusi 1979, hubungan Iran dan AS putus. Saat itulah AS mulai menjatuhkan sanksi ke Iran. Namun, landasan industri pertahanan itu sudah ada. ”Hubungan politik boleh putus, tetapi ilmu dan infrastruktur itu sudah ada dan bahkan terus dikembangkan,” kata Dian Wirengjurit yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/4/2024).
Baca juga: Ada Rusia-Iran, Mengapa Suriah Kerap Tak Terlindung dari Serangan Israel?
Kemampuan Iran ini, kata Dian, bersumber pada sumber daya manusia dan sumber daya alamnya yang kaya. Iran kaya akan minyak, besi, uranium, dan tambang-tambang mineral yang mendukung industri senjata dalam negeri.
Di bidang sumber daya manusia, Iran terus memupuk ahli bidang senjata dan nuklir. Pada tahun 1990-an, misalnya, Iran menarik 77 ilmuwan Iran kembali dari luar negeri dan melatih yang baru. Para ilmuwan nuklir itu dikirim untuk studi lanjutan di Italia. Tehran Nuclear Research Center (TNRC) di Isfahan, kota pusat penelitian nuklir Iran, diperkirakan mempunyai 3.000 ilmuwan nuklir.
Dian mengatakan, saat ini banyak ahli Iran yang tersebar di sejumlah negara. Mereka menjadi sumber pertukaran ilmu dari luar negeri, termasuk soal senjata.
Salah satu bukti kecerdasan ahli senjata Iran, Iran mampu mencegat lalu menurunkan pesawat nirawak AS pada 2012. Iran tidak meledakkan pesawat itu. Dengan demikian, Iran bisa mempelajari teknologi di pesawat tersebut.
Baca juga: Iran Serbu Israel dengan Ratusan Pesawat Nirawak
Berselang setahun setelah itu, Iran mampu membuat pesawat hasil adaptasi teknologi AS. Sejak itu, industri pesawat nirawak Iran terus berkembang. Bahkan, sekarang Rusia pun menggunakan pesawat buatan Iran.
Musuh-musuh Iran pun mengetahui ilmuwan sebagai tulang punggung industri pertahanan Iran. Tak heran, periode 2012-2020, enam ilmuwan nuklir Iran menjadi sasaran pembunuhan. Lima di antaranya berhasil dibunuh.
Terakhir adalah Mohsen Fakhrizadeh yang tewas dalam serangan senapan mesin yang dikendalikan satelit di luar Teheran pada 2020. Fakhrizadeh dipandang oleh Barat sebagai dalang pengembangan senjata nuklir rahasia Iran yang kemudian dibantah Teheran.
Jaringan mitra
Selain ilmuwan, Iran juga cerdik membangun pabrik-pabrik komponen pesawat nirawak di luar negeri. Seperti dilaporkan media Iran, Irna dan The New Arab, Iran setidaknya mempunyai fasilitas perakitan komponen pesawat nirawak di Dushanbe, Tajikistan. Iran diduga juga mempunyai fasilitas serupa di Venezuela, Lebanon Selatan, dan tengah dalam proses membangun pabrik terbaru di Rusia.
Baca juga: Iran Eksekusi Mata-mata Mossad
Farzin Nadimi, analis pertahanan dan keamanan di Washington Institute for Near East Policy, mengatakan, fasilitas di luar negeri bertujuan untuk menghindari sanksi. Fasilitas itu juga bisa mendesentralisasikan produksi yang terkena sanksi. Selain itu, fasilitas tersebut juga memangkas rantai pasokan dan menghindari pengiriman pesawat dalam bentuk utuh.
Sanksi Barat yang juga sangat membatasi pengadaan komponen senjata Iran pun bisa dihindari dengan cerdik lewat jalur-jalur rumit. Jalur-jalur, yang bagi Barat, merupakan pasar gelap dan rute penyelundupan.
Laporan Nadimi yang dipublikasi di laman Washington Institute menyebutkan, Iran menggunakan maskapai-maskapai komersial untuk mengangkut komponen senjata. Penerbangan ini menggunakan rute dan transit yang rumit dan berbelit.
Jaringan lain yang sangat penting untuk pengembangan nuklir Iran adalah jaringan Abdul Qadeer Khan, ilmuwan nuklir kenamaan dari Pakistan. Di Pakistan, Khan yang meninggal karena Covid-19 tahun 2020 adalah pahlawan yang digelari ”Bapak Nuklir Pakistan”. Sementara bagi Barat, Khan merupakan otak jaringan penyelundup nuklir ke Iran, Korea, dan Pakistan.
Baca juga: Iran Kini Bisa Membuat Belasan Bom Nuklir
Fasilitas nuklir Iran berkembang pesat bersama Khan. Jejaring Khan dalam penyebaran fasilitas nuklir ini diungkap dalam laporan Institute for Science and International Security (ISIS) tahun 2004.
Majalah Foreign Affairs melaporkan, kiprah Khan untuk Iran ini dimulai dari lobi tingkat tinggi tahun 1989. Lobi terjadi antara Presiden Iran saat itu Akbar Hashemi Rafsanjani dan Benazir Bhutto yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Pakistan.
Dalam perbincangan empat mata, menurut ingatan Bhutto, Rafsanjani menjelaskan, para pemimpin militer kedua negara telah menyetujui pakta pertahanan yang mencakup bantuan Pakistan dalam teknologi senjata nuklir Iran.
Dian mengatakan, sanksi barat tak akan menghentikan militer Iran dan tak efektif meredam gejolak di Timur Tengah. Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan persoalan Palestina, Hamas, dan Israel. Perdamaian di Palestina akan meredam gejolak dan ancaman senjata. (AFP/REUTERS/AP)