Polisi New York Serbu Columbia University, Jerman Tetap Boleh Kirim Senjata ke Israel
Taktik polisi AS mirip dengan taktik kepolisian beberapa negara saat menyerbu pengunjuk rasa.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Atas persetujuan Rektor Columbia University, Kepolisian New York menyerbu pengunjuk rasa di kampus itu. Polisi menangkapi pengunjuk rasa yang menuntut penghentian perangGaza dan kerja sama kampus dengan Israel. Sementara itu, Mahkamah Internasional menolak melarang pasokan senjata dari Jerman ke Israel.
Pasukan Kepolisian New York memasuki Aula Hamilton di Columbia University pada Selasa (30/4/2024) malam atau Rabu pagi WIB. Dengan membawa pentungan, perisai, dan granat pengejut, mereka menyerbu gedung yang diduduki pengunjuk rasa sejak Senin malam.
Kepolisian New York menyangkal menggunakan gas air mata dalam serbuan ke Columbia University. Kepolisian hanya mengakui menggunakan granat pengejut. Granat itu mengeluarkan suara memekakkan telinga dan sinar yang amat menyilaukan.
Mereka mengirim polisi menyerbu mahasiswa kami. Para dosen terkejut.
Kepolisian tiba menjelang pukul 21.00. Sekitar pukul 23.00, mereka mulai keluar sembari membawa mahasiswa dengan tangan terikat di belakang.
Setidaknya 100 orang ditangkap dari aula dan sekitar gedung itu. Polisi masuk dari lantai dua gedung, lalu menyerbu ke dalam. Sejumlah kaca jendela dipecahkan sebelum polisi mulai masuk.
”Tidak bisa dipahami. Mereka mengirim polisi menyerbu mahasiswa kami. Para dosen terkejut. Walau kami sudah menduga ini akan terjadi,” kata dosen sosiologi Columbia University, Debbie Becher.
Ia menyebut, sudah enam bulan rektorat dan dekanat terus menekan kebebasan berpendapat mahasiswa dan sivitas akademika kampus. Banyak dosen mendukung pengunjuk rasa yang mayoritas merupakan mahasiswa di kampus itu. ”Kami mendukung dialog dan kebebasan berpendapat sebab seharusnya lembaga pendidikan tinggi berlaku demikian,” katanya.
Asosiasi dosen AS di Columbia University telah berulang kali mendorong rektorat berdialog dengan pengunjuk rasa. Padahal, statuta Columbia University mewajibkan dialog itu. Bahkan, senat universitas juga telah mengecam Rektor Columbia University Minouche Shafik. Sebab, Shafik dituding memberangus kebebasan berpendapat di kampus.
Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HAM Volker Turk menyebut tindakan polisi AS berlebihan. ”Universitas memiliki tradisi aktivisme mahasiswa yang kuat dan bersejarah, debat yang sengit, dan kebebasan berekspresi serta berkumpul secara damai. Pelaksanaan kebebasan berekspresi yang sah tidak dapat disamakan dengan hasutan untuk melakukan kekerasan dan kebencian,” katanya.
Di sisi lain, ia menekankan, ujaran kebencian kepada kelompok lain tidak dibenarkan dalam situasi apa pun. Perilaku antisemit, anti-Palestina, atau anti-Arab sama-sama tidak bisa diterima.
Izin kampus
Selasa pagi, Kepolisian New York menyatakan tidak akan masuk kampus tanpa izin rektorat. Dalam pernyataan resmi kampus disebutkan, rektorat mengizinkan kepolisian masuk kampus. Surat Shafik kepada kepolisian menunjukkan, polisi boleh berada di kampus sampai 17 Mei 2024. Shafik meminta polisi membantu memulihkan ketertiban kampus.
Kampus menuding pengunjuk rasa mengganggu ketertiban dan kelancaran perkuliahan. Pada Senin siang, rektorat mengancam menskors pengunjuk rasa yang masih bertahan. Pada Selasa malam, polisi menyerbu kampus.
Serbuan ke Columbia University menambah panjang daftar pembubaran paksa unjuk rasa penolak perang Gaza di kampus-kampus AS. Di semua pembubaran itu, polisi menyerbu kampus, lalu menangkapi mahasiswa. Taktik polisi AS mirip dengan taktik kepolisian beberapa negara saat menyerbu pengunjuk rasa.
Para politisi AS, baik dari Demokrat maupun Republik, mengecam unjuk rasa penolak perang itu. Bahkan, Presiden AS Joe Biden menyebut unjuk rasa di Columbia University dan sejumlah perguruan tinggi lain sudah tidak benar. Ketua DPR AS Mike Johnson menyebut pengunjuk rasa sebagai kriminal.
Sejumlah warganet menyatakan, kondisi di Columbia University mengingatkan pada suasana penolakan perang Vietnam beberapa dekade lalu. Dulu, kepolisian juga menyerbu sejumlah kampus yang jadi lokasi unjuk rasa penolak perang.
Aparat dari sejumlah lembaga penegak hukum juga menyusup di antara pengunjuk rasa. Sebagian bertujuan mengidentifikasi, lalu menangkap pemimpin unjuk rasa. Sebagian lain bertujuan melakukan provokasi agar pengunjuk rasa membuat kerusuhan sehingga bisa dibubarkan.
Pasokan senjata
Dari Belanda dilaporkan, Mahkamah Internasional (ICJ) menolak memberikan putusan sela soal pasokan senjata dari Jerman ke Israel. Putusan itu dimohonkan oleh Nikaragua. Sebab, pasokan senjata dari Jerman dinilai ikut berkontribusi pada kematian 34.000 warga Gaza dan cedera pada hampir 80.000 orang.
Nikaragua meminta ICJ memerintahkan Jerman berhenti memasok senjata ke Israel. Pasokan itu dinilai melanggar Konvensi Geneva dan hukum humaniter internasional. Jerman juga diminta kembali memberikan dana kepada Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perbantuan Pengungsi Palestina (UNRWA).
Perwakilan Jerman di ICJ, Tania von Uslar-Gleichen, menyambut baik keputusan Pengadilan Dunia tersebut. ”Kami mematuhi hukum internasional dan kami akan terus melakukannya di masa depan,” katanya.
Pengunjuk rasa pro-Palestina di luar Mahkamah Internasional menyatakan kekecewaannya atas putusan itu. ”Saya cemas keputusan ini akan berdampak pada negara-negara Eropa lainnya dan negara-negara lain di seluruh dunia. Mereka masih memasok senjata ke Israel,” kata Melanie Uittenbosch, salah satu dari massa pendukung Palestina. (AFP/REUTERS/AP)