Netanyahu Tolak Akhiri Perang Gaza, Perundingan Hamas-Israel Kembali Gagal
PM Israel Benjamin Netanyahu tidak memedulikan seruan internasional yang mendesak Israel agar tidak menggempur Rafah.
JERUSALEM, SENIN — Perundingan gencatan senjata di Gaza kembali berakhir gagal. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah menolak tekanan internasional untuk menghentikan perang. Perang antara Hamas dan Israel pun tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Perundingan yang berlangsung di Kairo, Mesir, itu dinyatakan gagal, Minggu (5/5/2024) waktu setempat. Kelompok Hamas menyatakan, Israel menolak sejumlah tuntutan sehingga kesepakatan gencatan senjata tidak tercapai.
Israel tidak mengirim delegasi ke perundingan terakhir tersebut. Media Pemerintah Mesir, SIS, melaporkan bahwa delegasi Hamas berangkat untuk berdiskusi di Qatar, tempat kelompok tersebut mempunyai kantor politik. Media Mesir lain, Al-Qahera, menyebutkan para juru runding Hamas akan kembali bertolak ke Kairo, Mesir, Selasa (7/5/2024).
Sementara media Israel melaporkan bahwa Kepala Badan Pusat Intelijen (CIA) AS William Burns diagendakan bertemu dengan Netanyahu pada Senin (6/5/2024). Burns adalah salah satu mediator utama dalam perundingan itu.
Menurut sejumlah sumber, saat ini Burns juga sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani yang selama ini menjadi perantara untuk Hamas.
Netanyahu menyebut tuntutan utama Hamas berlebihan. Tuntutan Hamas, di antaranya, berupa penarikan pasukan Israel dari Gaza dan diakhirinya perang. ”Itu sama saja dengan menyerah setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang memicu pertempuran,” kata Netanyahu.
Baca juga: Prospek Gencatan Senjata Menipis, Israel Ngotot untuk Menyerbu Rafah
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dalam pernyataan sebelumnya mengatakan, Hamas serius dan positif terhadap perundingan tersebut. Ia juga menyatakan bahwa menghentikan agresi Israel di Gaza adalah prioritas utama.
Proposal yang diajukan mediator Mesir kepada Hamas menetapkan proses tiga tahap untuk gencatan senjata selama enam pekan. Gencatan senjata ini dibarengi dengan pembebasan sandera warga Israel. Syaratnya, Israel menarik pasukan dari Gaza.
Tahap awal akan berlangsung selama 40 hari. Hamas akan memulai dengan melepaskan sandera perempuan sipil sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina di penjara-penjara Israel.
Netanyahu mengklaim bahwa Israel telah menunjukkan kesediaan untuk membuat kompromi. Namun, lanjutnya, Israel akan terus berperang sampai semua tujuannya tercapai.
Baca juga: Sudah 10 Tahun Ibadah Ramadhan Bernaung Duka di Palestina
”Saya katakan kepada para pemimpin dunia, tidak ada tekanan, tidak ada keputusan dari forum internasional mana pun yang akan menghentikan Israel untuk membela diri,” kata Netanyahu dalam pidatonya yang berapi-api pada hari peringatan Holocaust Israel.
3 tentara Israel tewas
Di tengah suramnya perundingan gencatan senjata, Pemerintah Israel kembali menyatakan akan menyerang Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza yang berbatasan dengan Mesir. Saat ini, Rafah menjadi tempat berlindung sekitar 1 juta pengungsi Palestina. Rafah juga menjadi pintu masuk utama bantuan ke Gaza.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menuduh Hamas tidak serius dengan perundingan gencatan senjata. Tidak hanya ke Rafah, Gallant mengancam akan melancarkan serangan besar ke sejumlah tempat lain di Gaza dalam waktu dekat.
Ancaman ini ia lontarkan setelah serangan Hamas menewaskan tiga tentara Israel di gerbang penyeberangan Kerem Shalom ke Gaza. Sayap militer Hamas mengaku bertanggung jawab atas serangan roket di penyeberangan Kerem Shalom pada Sabtu (6/5/2024) lalu itu.
Persimpangan tersebut merupakan persimpangan utama di jalur pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Israel membalas dengan melancarkan serangan udara ke sebuah lokasi di Jalur Gaza, dekat kota Rafah, pada Minggu.
Pejabat kesehatan Palestina mengatakan, serangan Israel menghantam satu rumah warga. Sedikitnya 19 orang tewas, termasuk anak-anak, akibat serangan Israel tersebut.
Militer Israel mengonfirmasi serangan balasan tersebut. Menurut Israel, serangan itu ditujukan pada lokasi peluncuran tempat proyektil Hamas ditembakkan serta struktur militer di dekatnya.
”Peluncuran yang dilakukan Hamas di dekat penyeberangan Rafah adalah contoh nyata eksploitasi sistematis yang dilakukan organisasi itu terhadap fasilitas dan ruang kemanusiaan, dan mereka terus menggunakan penduduk sipil Gaza sebagai tameng manusia,” demikian pernyataan militer Israel.
Baca juga: Perbedaan Tajam Israel-Hamas Gagalkan Perundingan Jeda Tempur
Hamas membantah pihaknya menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
Setelah serangan itu, militer Israel menutup penyeberangan Kerem Shalom. Truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan dilarang lewat sana. Sementara pintu-pintu penyeberangan lain tetap terbuka.
Penutupan Kerem Shalom terjadi tak lama setelah Ketua Program Pangan Dunia PBB (WFP) Cindy McCain mengatakan adanya kelaparan besar di Gaza utara. Kelaparan itu menyebar ke Gaza selatan. Sementara itu, pada saat bersamaan, Israel tak memberikan akses yang memadai untuk pengiriman bantuan ke Gaza.
Baca juga: Tragedi Gaza, Warga Palestina Terpaksa Konsumsi Pakan Ternak
”Saat ini kami mempunyai massa di luar perbatasan, jumlah truk yang cukup dan makanan yang cukup untuk 1,1 juta orang selama sekitar tiga bulan. Kita perlu memasukkan hal itu,” kata McCain dalam wawancara dengan NBC.
Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina Philippe Lazzarini menyerukan penyelidikan atas pengabaian pekerja kemanusiaan oleh Israel. Pekan ini saja, katanya, Israel menolak dia masuk ke Gaza untuk kedua kalinya.
Gerebek Al Jazeera
Pemerintah Israel juga menggerebek dan memerintahkan penutupan kantor lokal jaringan berita satelit Al Jazeera di Israel. Mereka beralasan, media yang berkantor pusat di Qatar itu menyiarkan hasutan anti-Israel. Larangan Israel ini tak menghentikan pemberitaan Al Jazeera.
”Wartawan Al Jazeera merugikan keamanan Israel dan menghasut tentara. Sudah waktunya untuk menghapus corong Hamas dari negara kita,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan.
Jaringan media Al Jazeera mengecam keputusan Pemerintah Israel untuk menutup operasinya di Israel. Tindakan itu disebut sebagai tindakan kriminal. Melalui pernyataan tertulis, media itu menyebut penindasan terhadap kebebasan pers bertentangan dengan hukum internasional dan kemanusiaan.
”Jaringan media Al Jazeera mengecam keras dan mengecam tindakan kriminal yang melanggar hak asasi manusia dan hak dasar untuk mengakses informasi. Al Jazeera menegaskan haknya untuk terus memberikan berita dan informasi kepada khalayak global,” kata jaringan itu. (AP/AFP/REUTERS)