Rafah Menjadi Kota Hantu
Tak ada lagi tempat untuk menampung pengungsi di Gaza. Mereka telantar di jalan, kelaparan, kehausan, dan minim bantuan.
RAFAH, KAMIS — Distrik Rafah timur di Jalur Gaza selatan, yang sebelumnya penuh sesak dengan lebih dari 1,4 juta pengungsi Palestina, berubah menjadi kota hantu sejak serangan darat Israel dimulai, Senin (6/5/2024). Kehidupan di sana berhenti total.
Ratusan ribu pengungsi meninggalkan distrik itu dengan kondisi mengenaskan, kelaparan, kehausan, dan kebingungan karena tidak tahu harus berlindung ke mana. ”Hanya Tuhan yang tahu ke mana kami akan melangkah,” ujar Abdullah al-Najar, salah satu warga Gaza, kepada Reuters, Selasa (7/5/2024).
Bagi dia, ini untuk keempat kalinya setelah perang Gaza antara kelompok Hamas dan Israel meletus sejak 7 Oktober 2023 ia berpindah-pindah tempat untuk berlindung dari pertempuran.
Baca juga: Israel Gempur Rafah, Timur Tengah Makin Genting
Kehidupan telah benar-benar berhenti di Rafah timur sejak tank-tank dan pasukan Israel masuk. Jalanan kosong, pasar lumpuh, dan warga Palestina melarikan diri dari kota meskipun tak punya tujuan. Warga yang masih di Rafah tercekam ketakutan dan terancam kelaparan.
”Kami semua merasa takut kalau pasukan invasi bergerak maju, seperti yang terjadi di wilayah timur, yang kini benar-benar kosong dari penduduk,” kata pengungsi Gaza, Marwan al-Masri (35), yang masih berlindung di Rafah, Rabu (8/5/2024) waktu setempat.
Suze van Meegen, Kepala Operasi Dewan Pengungsi Norwegia di Palestina, menuturkan, Distrik Rafah tempat dia tinggal terasa seperti kota hantu.
Israel menutup penyeberangan Rafah, perbatasan antara Gaza dan Mesir, serta penyeberangan Kerem Shalom, perbatasan antara Gaza dan Israel, setelah empat tentara Israel tewas dalam serangan Hamas pada akhir pekan lalu. Penutupan itu memutus pengiriman makanan, air, kebutuhan hidup, serta bahan bakar untuk truk-truk pengangkut bantuan dan generator.
Israel mengaku telah membuka lagi perbatasan Kerem Shalom pada Rabu (8/5/2024). Namun, lembaga-lembaga pemasok bantuan ke Gaza mengatakan, tidak ada truk yang bisa memasuki wilayah Gaza.
Baca juga: Israel Minta Organisasi Kemanusiaan Tinggalkan Rafah
Truk-truk yang diizinkan masuk dari Israel harus dibongkar dan muatannya dimuat kembali ke truk-truk di Gaza. Tidak ada pekerja di Gaza yang bisa masuk ke fasilitas tersebut karena terlalu berbahaya.
Militer Israel pada Senin (6/5/2024) mengultimatum warga Palestina di Rafah agar mengungsi ke zona kemanusiaan yang ditetapkan di Muwasi, daerah perdesaan dekat di pantai Laut Tengah. Namun, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), daerah itu sudah padat dengan sekitar 450.000 orang yang tinggal berdesakan di sana. Persediaan air dan tenda sangat minim.
Baca juga: Semakin Dekat Serbu Rafah, Israel Minta 100.000 Pengungsi Palestina Pindah
Sebelum invasi darat Israel, lebih dari 1,4 juta orang memadati Rafah. Kota di wilayah perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir itu menjadi tempat perlindungan terakhir mereka. Wilayah-wilayah lain di Gaza sudah hancur akibat serangan membabi buta oleh Israel selama tujuh bulan terakhir.
Tunawisma di jalanan
Banyak pengungsi di Rafah sudah lelah karena harus terus berpindah-pindah mencari tempat pengungsian baru dari serangan Israel. Ibtihal al-Arouqi (39), misalnya, mengungsi dari kamp pengungsi Al-Bureij di Gaza tengah, lalu pindah ke Rafah, dan sekarang harus kembali pindah tanpa tahu tempat lain untuk berlindung. Ia dan keluarganya menjadi tunawisma di jalanan.
”Kami selamat di bawah reruntuhan rumah kami di Al-Bureij dan sekarang karena pertempuran hebat di Rafah, saya dan anak-anak berada di jalan,” kata Arouqi.
Gencarnya penembakan dan pengeboman Israel membuat udara Rafah sesak oleh asap sehingga orang sulit bernapas. ”Situasi di Rafah kacau,” kata Mohammed Abu Mughaiseeb, koordinator medis untuk badan amal Doctors Without Borders (MSF) di Rafah.
Orang-orang mengungsi membawa barang-barang, kasur, selimut, peralatan dapur dengan truk untuk melarikan diri dari Rafah timur. Terjebak di antara serangan Israel dari timur, perbatasan Mesir di selatan, dan Laut Tengah di barat, banyak orang yang melarikan diri dari Rafah menuju utara.
Baca juga: Antisipasi Serangan Israel ke Rafah, Mesir Siapkan Tempat Suaka di Sinai
Arus panjang pengungsi terlihat selama tiga hari terakhir. Mereka berjalan kaki, menggunakan kereta yang ditarik keledai hingga truk-truk seadanya keluar dari Rafah timur. Sejumlah besar pengungsi menuju Khan Younis serta Deir al-Balah di Gaza tengah yang terdekat.
Ribuan tenda dan tempat berlindung memadati sepanjang wilayah pesisir Deir al-Balah. Di jalan, orang-orang membongkar barang-barang atau menjual barang dagangan.
Tak ada tempat berlindung
Tak ada tempat memadai untuk menampung pengungsi. Deir al-Balah terlalu kecil, sebagian besar wilayah Khan Younis hancur oleh serangan Israel, sementara Muwasi, tempat mengungsi yang disediakan Israel, tak memadai.
Amerika Serikat, yang menentang invasi Israel ke Rafah, mengatakan bahwa Israel tak mengungkapkan rencana jelas untuk mengevakuasi dan melindungi warga sipil.
Pengungsi kekurangan air bersih dan makanan. Padahal, suhu demikian panas, mencapai 38 derajat celsius. Air yang tersisa kotor sehingga penyakit kuning akut merajalela.
”Kualitas air yang tersisa sangat buruk. Kami menguji sebagian air dan kandungan tinja sangat tinggi,” kata James Smith, seorang dokter darurat Inggris yang menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Umum Eropa di dekat Khan Younis.
Mereka mengalami lingkaran setan malnutrisi, infeksi, luka rusak, lebih banyak infeksi, lebih banyak malnutrisi,
Nick Maynard, seorang ahli bedah dari Bantuan Medis untuk Palestina yang meninggalkan Gaza pada hari Senin, mengatakan, dua gadis remaja yang menderita luka-luka meninggal karena komplikasi dari kekurangan gizi.
”Mereka mengalami lingkaran setan malnutrisi, infeksi, luka rusak, lebih banyak infeksi, lebih banyak malnutrisi,” kata Maynard.
Para pengungsi yang baru tiba di lokasi pengungsian baru kesulitan mendapatkan tenda dan makanan karena kurangnya jumlah kelompok pemberi bantuan. Salah satunya adalah Iyad al-Masry dan keluarganya.
Mereka terpaksa menjual bantuan makanan untuk membeli tenda seharga hampir 400 dollar AS. ”Kami mau makan. Kami tinggal menunggu ampunan Tuhan saja,” ujar Masry yang tak lagi punya uang dan makanan.
Bahan bakar habis
Tak hanya pengungsi, rumah sakit-rumah sakit di Jalur Gaza selatan pun hanya memiliki sisa bahan bakar untuk tiga hari akibat penutupan perbatasan oleh Israel. Tanpa bahan bakar, seluruh operasi kemanusiaan akan terhenti.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, pengiriman bahan bakar telah diblokir. Otoritas Israel mengontrol aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.
”Penutupan perbatasan terus menghalangi PBB untuk membawa bahan bakar. Tanpa bahan bakar semua operasi kemanusiaan akan terhenti. Penutupan perbatasan juga menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza,” kata Tedros di media sosial X.
Baca juga: Biden Akui Bom AS Telah Bunuh Warga Gaza, Ancam Stop Kirim Bom ke Israel
Israel membombardir Rafah pada Rabu. Tedros mengatakan, Rumah Sakit Youssef Al-Najjar, salah satu dari tiga rumah sakit di Rafah, terpaksa ditutup. Pasien-pasiennya dipindahkan.
”Operasi militer Rafah semakin membatasi kemampuan kami untuk menjangkau ribuan orang yang hidup dalam kondisi mengerikan tanpa makanan, sanitasi, layanan kesehatan, dan keamanan yang memadai,” kata Tedros.
Selama ini, rumah-rumah sakit menjadi sasaran serangan Israel. Israel mengklaim Hamas menggunakan rumah sakit untuk tujuan militer. Tuduhan ini dibantah oleh pejabat kesehatan Hamas dan Gaza.
Baca juga: Invasi Israel ke Rafah, Tembok Besar Gencatan Senjata di Gaza
Tembakan tank Israel pada Rabu menghantam sekitar 300 meter dari Rumah Sakit Kuwait. Serangan itu melukai beberapa anak.
Serangan Israel ke Rafah terjadi saat pembicaraan gencatan senjata masih berlangsung di Kairo, Mesir. Israel mengatakan serangan terhadap Rafah penting untuk menghancurkan Hamas.
Serangan Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 34.800 warga Palestina. Sekitar 80 persen populasi Gaza yang berjumlah 2,3 juta warga Palestina mengungsi dari kediaman masing-masing. (REUTERS/AP/AFP)