Kisah Para Pejuang ASI, Panggilan Nurani yang Membebaskan Bayi dari Susu Formula
Sejumlah bidan mengalami pengalaman menyentuh nurani, mengubah keyakinan mereka mengenai air susu ibu. Pengalaman itu menjadi titik balik mereka menjadi pejuang ASI eksklusif dan membantu bayi tak terpapar susu formula.
Oleh
INSAN ALFAJRI, ANDY RIZA HIDAYAT, IRENE SARWINDANINGRUM, DHANANG DAVID
·3 menit baca
Lahir dari keluarga bidan, Ratna Dewi Kumalasari (36) terbiasa melihat berbagai fasilitas dari produsen susu formula untuk bidan yang membantu penjualan produk. "Saya sempat berpikir, enak ya jadi bidan. Bisa dapat macam-macam,” katanya di Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu (4/9/2022).
Ratna mengingat kipas angin, lemari pendingin, tempat tidur pasien, hingga biaya umroh dan wisata keluar negeri yang dulu ditawarkan sales susu formula.
Hingga kemudian, saat bekerja di rumah sakit bersalin membuat nuraninya bergolak dan mempertanyakan kenapa pemberian ASI eksklusif tidak diutamakan.
Setelah lulus sekolah kebidanan di Surabaya, Jawa Timur, Ratna bekerja di rumah sakit ibu dan anak. Di rumah sakit itu, ia menyaksikan susu formula dijejalkan ke mulut bayi-bayi yang mungil melalui botol-botol susu.
Padahal, sebenarnya ada keluarga pasien yang ingin memberikan ASI untuk diberikan pada bayinya. Tak jarang ia menyaksikan ASI yang sudah diberikan terbuang sia-sia. “Rasanya mengganjal sekali,” katanya.
Setelah mengikuti pelatihan konselor ASI, ia pindah dari Sidoarjo ke Sukoharjo dan membuka praktik bidan mandiri. Panggilan untuk mendorong ASI eksklusif menguat setelah dia bergabung dengan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Solo.
Di tempat praktiknya, Ratna membantu ibu yang mengeluh ASI-nya tidak lancar atau bayi tidak mau menghisap puting susu ibu. “Banyak pasien saya yang diberi susu formula di tempat yang tidak pro-ASI. Saat bayi diberi susu formula sebelum ASI, biasanya bayi tidak mau lagi menyusu ASI. Butuh kemauan dan kesabaran agar mau diberi ASI. Sering gagalnya di situ,” katanya.
Ratna mengingat kipas angin, lemari pendingin, tempat tidur pasien, hingga biaya umroh dan wisata keluar negeri yang dulu ditawarkan sales susu formula
Di tempat praktiknya tak terlihat kemasan susu formula, kalender, atau poster pengukur tinggi badan berlogo susu formula. “Sejak praktik tahun 2012, saya tidak pernah memberi susu formula untuk pasien,” katanya.
Gempa Gempa 2006 di Klaten, Jawa Tengah, menjadi titik balik Sri Budiati (56) mendukung penuh ASI eksklusif. Dalam suasana berkabung ditinggal putri sulungnya karena gempa, ia diminta mengikuti pelatihan konselor laktasi dengan pelatih Sentra Laktasi Indonesia. “Hati saya belum terima. Masa bidan yang sudah praktik belasan tahun, diajari menyusui. Saya merasa lebih tahu,” katanya.
Materi laktasi itu juga meliputi inisiasi menyusu dini (IMD), yaitu menempelkan bayi yang baru saja lahir, belum dibersihkan, di dada ibu selama minimal 30 menit sampai 1 jam. Bayi yang menerima IMD secara benar akan mencari puting untuk menyusu dengan sendirinya.
Sudah belasan tahun menjadi bidan, ia tak tahu mengenai IMD. Dia selalu membersihkan bayi yang baru lahir tanpa proses penempelan di dada ibu serta langsung memberi susu formula. “Waktu itu sih kasihan gitu sama bayi yang menangis. Sementara susu ibu biasanya belum lancar di awal melahirkan. Ternyata ASI itu memang keluar sesuai kebutuhan bayi,” katanya.
Hingga kemudian, saat bekerja di rumah sakit bersalin membuat nuraninya bergolak dan mempertanyakan kenapa pemberian ASI eksklusif tidak diutamakan
Suatu hari saat menolong persalinan, dia mempraktikkan IMD. Setelah 24 menit, bayi yang masih basah itu mulai mencari puting ibunya dan mencoba menyusu. “Saya menangis terharu,” ujarnya.
Pengalaman itu mengubah keyakinannya. Tempat praktiknya yang dulu menyediakan susu formula, sekarang penuh alat peraga menyusui dan stiker menolak agen susu formula di pintu masuk klinik.
Di Sumatera Utara, seorang ayah yang juga dokter spesialis kandungan berinisial RZ, sering dicibir rekan sejawat. RZ yang tergabung dalam Ayah Peduli ASI sering bergerak dalam senyap. Ia dan rekan-rekan seperjuangan, aktif memberi informasi mengenai ASI ke orangtua yang membutuhkan. Kegiatannya berupa konsultasi laktasi, seminar terbatas, dan kegiatan lain yang mendukung kampanye ASI.
“Kampanye ASI tidak mudah, karena banyak klinik-klinik ibu hamil yang didukung oleh produsen susu. Kondisi ini makin mengkhawatirkan karena tidak semua nakes mengerti tentang ASI,” katanya. RZ mendapatkan pengetahuan tentang ASI dari seminar dan pelatihan yang diikuti dengan biaya sendiri.
Panasnya perdebatan ASI eksklusif di kalangan sejawatnya di Sumut bahkan membuat RZ tak mau menggungkap identitasnya di media. Demi menghindari pertentangan yang lebih tajam, katanya.