Pusaran perbudakan anak buah kapal perikanan asal Indonesia kerap terjadi pada kapal penangkap ikan asing yang beroperasi di laut lepas. Indikator kerja paksa yang paling banyak dilaporkan adalah penahanan gaji.
Oleh
JOG/FRD/DVD/ILO
·5 menit baca
Kisah kerja paksa dan eksploitasi anak buah kapal atau ABK perikanan migran asal Indonesia seperti tiada habisnya. Bujuk rayu agen penyalur untuk memikat calon tenaga kerja dengan iming-iming penghasilan besar kerap kali malah menjerumuskan korban dalam jerat perbudakan di kapal ikan asing. Tidak hanya itu, minimnya perlindungan pekerja perikanan karena tidak adanya mekanisme pengawasan yang jelas membuat mereka kian rentan mengalami eksploitasi.
Pusaran perbudakan ABK perikanan asal Indonesia ini kerap terjadi pada kapal penangkap ikan asing yang beroperasi di laut lepas, seperti kapal jenis purse seine dan long liner.
Dalam kurun waktu Mei 2019 hingga Juni 2020, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 118 pengaduan ABK perikanan migran yang bekerja di kapal ikan asing. Dari jumlah itu, terdapat 62 ABK yang memiliki dokumen lengkap terkait aduannya.
Hasil kajian bersama antara Greenpeace dan SBMI dalam mengulas pengaduan 62 ABK tersebut mengungkapkan, terdapat 45 kapal ikan asing yang ditengarai menjadi tempat kerja paksa ABK migran asal Indonesia dalam kurun waktu Mei 2019 hingga Juni 2020. Jika diklasifikasi berdasarkan alat tangkapnya, 45 kapal itu meliputi 14 kapal purse seiner, 11 handliners/squid jigger, 10 long liner, 4 kapal muatan (reefers/kargo), dan 6 kapal dengan alat tangkap tak dikenali.
Kapal China
Dari 45 kapal ikan asing tersebut, 33 kapal ikan berbendera China, empat kapal berbendera Taiwan, dua kapal Hong Kong, satu kapal Rusia, satu kapal Pantai Gading, satu kapal Nauru, dan tiga kapal tidak diketahui asal negaranya.
Adapun indikator kerja paksa yang paling banyak diadukan yaitu penahanan gaji (87 persen), disusul kondisi kerja dan tempat tinggal tidak layak (82 persen), lalu penipuan (80 persen) dan penyalahgunaan kerentanan (67 persen).
Sementara itu, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat, selama periode 22 November 2019-21 Februari 2021, terdapat 35 warga negara Indonesia yang meninggal sewaktu bekerja di kapal ikan asing. Dari jumlah itu, terbanyak yang dilaporkan dari kapal ikan China.
Kapal berbendera China dan perusahaan asal China terkait dengan 26 kematian atau 74,28 persen. Sisanya adalah empat orang meninggal di kapal berbendera Taiwan dan satu di kapal Vanuatu, sedangkan sisanya di kapal yang belum diketahui identitas negaranya.
Tingginya kasus eksploitasi dan kematian ABK RI di kapal ikan China berkaitan dengan masifnya pengiriman pekerja migran Tanah Air ke kapal-kapal tersebut. Kajian Indonesia Ocean Justice Initiative mendapati, ada setidaknya 17.000 kapal ikan China beroperasi di perairan seluruh dunia. Minimal ada lima ABK asal Indonesia di setiap kapal ikan China.
Koordinator DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menilai, kebutuhan sumber daya manusia di kapal-kapal China sangat besar dan tidak memprioritaskan pelaut berpengalaman. Tidak punya keahlian pun tak soal. Itulah mengapa pengiriman ABK perikanan migran asal Indonesia terbanyak ke kapal China, baru setelah itu kapal Taiwan, Korea, Jepang, dan Eropa.
Saya diberangkatinnya ke Amerika, United (States) asli. Bukan Amerika Latin. (Adi Saputra)
Pola perekrutan SDM di kapal China tersebut menimbulkan risiko besar, termasuk bisa memicu kekerasan dan kecelakaan kerja. Menurut Abdi, risiko bekerja di kapal China kemungkinan tidak terinformasikan ke calon ABK.
”Tergantung bagaimana calonya. Kan, mereka enggak mungkin dikasih tahu risikonya. Ketika direkrut enggak dikasih tahu perbudakan di atas kapal. Cerita-cerita sedih ditutup semua,” ujar Abdi, Senin (28/8/2023).
”Mulut manis” calo pulalah yang menjerumuskan Adi Saputra (24) ke kapal ikan China pada 2018. ”Saya diberangkatinnya ke Amerika, United (States) asli. Bukan Amerika Latin,” ujar warga Cirebon, Jawa Barat, itu saat mengingat janji yang pernah diucapkan si sponsor.
Adi menambahkan, calonya menjanjikan gaji bisa mencapai Rp 10 juta-Rp 20 juta per bulan. Nyatanya, ia naik kapal Tian Xiang 16 dengan gaji 300 dollar AS (sekitar Rp 4,24 juta berdasarkan kurs rata-rata 2019) per bulan.
Adi mencecap beragam modus kerja paksa, antara lain jerat utang, peniadaan akses komunikasi, penahanan dokumen identitas, istirahat hanya 4 jam sehari, serta kekerasan fisik dari ABK negara lain.
Jimi Ari Sandi (38) sedikit lebih beruntung daripada Adi. Sepanjang 14 bulan jadi awak kapal China Han Rong 358 dan 365 mulai akhir 2019, ia tak pernah merasakan kekerasan.
Namun, komposisi asupan gizi di atas kapal cumi itu sungguh tak sebanding dengan beban kerja. Sebagai gambaran, Jimi menangkap cumi dari petang hingga pagi hari. Setelah itu, ia sarapan bubur. ”Lauknya kacang tanah digoreng,” kata warga Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ini, akhir Juli lalu.
Selain itu, tidak ada penanganan darurat bagi ABK yang sakit. Misalnya ketika pekerja asal Kendal, Jateng, Wendi Setia Pratama, sakit, Jimi dan kawan-kawan lain sudah meminta kapten menyandarkan kapal. Mereka berharap Wendi bisa dirawat di rumah sakit, tetapi permintaan tidak digubris.
Akhirnya, Wendi meninggal pada November 2020. Jimi pun berang dan memotori mogok kerja. Ia pun meminta ikut pulang bersama jenazah almarhum daripada nanti juga sakit tanpa penanganan jika lanjut melaut.
Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menuturkan, persoalan eksploitasi pada ABK migran mencerminkan pentingnya kerja sama antara RI sebagai negara pengirim dan negara-negara penempatan. Ini untuk menciptakan koridor aman migrasi.
”Salah satunya kita sudah punya dengan Korea Selatan karena Korsel salah satu negara tujuan utama bagi ABK migran kita. Kita coba kembangkan dengan negara-negara tujuan yang lain,” ujar Judha.
Ia menambahkan, RI sedang mengupayakan perjanjian bilateral serupa dengan China dan Taiwan. ”Ketika mereka sudah sepakat, tentu menjadi tanggung jawab mereka untuk bisa mengimplementasikan kepada perusahaan-perusahaan pemilik kapal,” katanya.