Berharap Sejahtera dengan Menjadi Awak Kapal di Negeri Orang
Keinginan memperbaiki taraf hidup dalam waktu singkat kerap mendorong seseorang menjadi ABK di kapal ikan asing. Sementara di dalam negeri, penghasilan sebagai nelayan serba tak menentu.
Oleh
FRD/JOG/DVD/ILO
·4 menit baca
Belum terjaminnya kesejahteraan nelayan di dalam negeri menjadi salah satu faktor banyaknya anak buah kapal yang tertarik bekerja di kapal ikan asing. Tawaran gaji tinggi membuka peluang untuk memperbaiki taraf hidup dalam waktu yang singkat.
Sudah lebih dari 40 tahun, Dahuri (55) bekerja sebagai nelayan. Namun, kehidupan warga Desa Gebangmekar, Gebang, Cirebon, Jawa Barat, itu hingga kini masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini dikarenakan penghasilan menjadi nelayan yang serba tidak menentu.
”Paling sering sehari dapat uang Rp 50.000 atau Rp 100.000. Kalau lagi banyak, bisa dapat Rp 200.000. Namun, sering juga enggak dapat apa-apa,” katanya saat ditemui di Cirebon, Minggu (30/7/2023).
Penghasilan tersebut dinilai hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dahuri beruntung karena ada peran sang istri yang menopang penghasilannya dengan berjualan ikan di pinggir Jalan Raya Pantura Cirebon. Tanpa bantuan istri, mustahil bagi mereka untuk menyisihkan penghasilan.
Dahuri selama ini menjadi ABK di kapal majikannya bersama belasan nelayan lainnya. Sehari-hari, mereka khusus mencari teri di sekitar Laut Jawa dengan sistem bagi hasil. Selama nelayan masih bekerja dengan majikan, menurut Dahuri, kesejahteraan sulit untuk didapatkan.
Kendati demikian, tidak mudah bagi nelayan untuk lepas dari majikan dan memiliki perahu sendiri. Modal yang dibutuhkan cukup besar, sekitar Rp 60 juta untuk membuat perahu ukuran kecil. Sementara untuk membuat perahu sedang dengan kapasitas 25 orang dibutuhkan modal sekitar Rp 200 juta. ”Dulu pernah punya perahu kecil. Tapi karena anak enggak mau bantu melaut, jadinya dikasihkan ke adik,” ungkapnya.
Dahuri mengaku iri dengan banyaknya anak muda di kampungnya yang sukses setelah pulang menjadi ABK di kapal ikan Korea Selatan atau Jepang. Sebab, hanya dalam kurun beberapa tahun saja, mereka sudah mampu memperbaiki taraf hidupnya. ”Ada yang tiga tahun berlayar, pulang-pulang bisa bangun rumah tingkat,” katanya.
Sayangnya, saat masih muda, Dahuri tidak pernah mendapatkan informasi mengenai lowongan menjadi ABK di kapal ikan asing. Informasi itu baru dia ketahui beberapa tahun belakangan, di saat usianya tidak muda lagi.
Tergiur gaji
Keputusan seseorang menjadi ABK kapal ikan asing sering kali memang didasari oleh keinginan memperbaiki taraf hidup dalam waktu singkat. Hal ini diakui Rangga Rizky Yando (22), calon ABK asal Bengkulu. Dia mengaku tertarik menjadi ABK karena membayangkan akan mendapatkan gaji besar.
Sebelum berangkat, aku pikir kalau kerja di kapal gajinya lumayan tinggi. Aku pikir sekitar 15 juta atau sekitar 1.000 dollar. Ternyata pas sampai Pemalang aku lihat gajinya cuma 330 dollar.
Berbekal informasi dari teman-temannya, Rizky jauh-jauh datang ke Pemalang, Jawa Tengah, untuk mendaftar menjadi ABK kapal ikan asing di PT Dima Pasifik Mandiri (DPM). Namun, setelah sampai di sana, rupanya dia mendapat tawaran gaji yang tidak sesuai dengan bayangannya.
”Sebelum berangkat, aku pikir kalau kerja di kapal gajinya lumayan tinggi. Aku pikir sekitar 15 juta atau sekitar 1.000 dollar. Ternyata pas sampai Pemalang aku lihat gajinya cuma 330 dollar,” katanya.
Kendati demikian, Rizky tidak mundur. Meski meleset dari perkiraan awal, gaji sebesar 330 dollar AS atau sekitar Rp 5 juta per bulan yang akan dia dapatkan masih dua kali lebih besar dari upah minimum di daerahnya. Rizky sebelumnya pernah bekerja sebagai sekuriti di Bengkulu selama tiga tahun dengan gaji Rp 2,3 juta.
Sayangnya, ambisi untuk mendapatkan gaji besar tersebut tidak diimbangi dengan bekal kompetensi menjadi ABK. Rizky yang merupakan lulusan SMK jurusan teknologi itu nekat mendaftar meski belum pernah memiliki pengalaman melaut atau mengoperasikan alat tangkap ikan.
Sama halnya dengan Rizky, tawaran gaji tinggi juga mendorong Tarnadi, warga Losari, Cirebon, Jawa Barat, untuk bekerja sebagai ABK di kapal ikan lokal di Korea Selatan. Bedanya, Tarnadi rela mengembangkan kompetensi bahasa Korea dengan melakukan pelatihan bahasa. Pengalamannya menjadi ABK di laut lepas pada 1998 juga membuatnya terbiasa mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap ikan.
Tak tanggung-tanggung, sejak bekerja di kapal ikan lokal di Korea Selatan pada 2018, Tarnadi sudah menerima gaji sebesar 1,9 juta won atau sekitar Rp 21,6 juta per bulan. Kini, di tahun kelima dia bekerja, gaji yang didapatkan mencapai 2,2 juta won atau sekitar Rp 25,2 juta per bulan.
”Untuk kontrak di laut lokal Korea itu selama 10 tahun. Awal 5 tahun, tapi setelah selesai kontrak kita bisa menambah kontrak 5 tahun lagi. Jadi total 10 tahun,” katanya.
Chief Operating Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Fadilla Octaviani menilai, selain demi memperbaiki ekonomi, alasan budaya menjadi faktor penting yang mendorong seseorang menjadi ABK migran. Banyak masyarakat menganggap bekerja di luar negeri adalah sesuatu yang membanggakan. Gejala ini terutama terlihat jelas pada masyarakat perdesaan.
Apalagi, terbatasnya lapangan kerja juga membuat peluang menjadi ABK dilihat sebagai jalan pintas mencari kesejahteraan. ”Sehingga mereka menutup mata dengan kondisi yang ada. Padahal, enggak semua ABK bisa kaya,” ujarnya. (FRD/JOG/DVD/ILO)