Sudah Tak Bernyawa, Hak ABK Migran Masih Dikebiri
Investigasi “Harian Kompas” mengungkap, perusahaan-perusahaan penyalur ternyata memungut beragam biaya dan memangkas hak anak buah kapal migran yang meninggal.
JAKARTA, KOMPAS - Anak buah kapal migran tidak hanya dijerat sebelum berangkat bekerja di kapal ikan. Setelah meninggal pun, hak ABK migran masih dikebiri perusahaan penyalur. Investigasi Harian Kompas menemukan, keluarga dari ABK migran yang meninggal dipungut biaya pemulangan jenazah secara terang-terangan oleh perusahaan penyalur. ABK lain yang meninggal dipangkas hak santunannya.
Pemungutan biaya jenazah menjadi modus mengebiri hak keluarga seperti uang jaminan atau pertanggungan asuransi ABK migran yang meninggal. Salah satu anggota keluarga yang harus menanggung biaya pemulangan jenazah ABK migran adalah Sri Rahayu (28), warga Brebes, Jawa Tengah. Rahayu merupakan istri Warnoko, ABK perikanan migran yang meninggal di Korea Selatan pada Februari 2023 lalu.
PT GNM Shipping Marindo, perusahaan penyalur yang merekrut Warnoko, membebankan biaya proses pemulangan jenazah Warnoko kepada Rahayu terhitung dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng hingga tiba rumah duka di Brebes pada 11 Maret 2023 silam yang mencapai Rp 28,8 juta.
Rahayu baru mengetahui ada pembebanan biaya pemulangan jenazah Warnoko ketika ia mendatangi kantor PT GNM Shipping Marindo di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pertengahan Mei 2023. Sebelumnya, tidak pernah ada pemberitahuan apa pun dari perusahaan mengenai biaya pemulangan jenazah Warnoko.
Rahayu disodorkan kuitansi terkait pemulangan jenazah Warnoko dengan kop surat Yayasan Arjuna Sakti, yayasan yang biasa mengurusi jenazah. Total biaya yang dicantumkan Rp 26,8 juta. Di luar biaya pemulangan jenazah, perusahaan menambahkan Rp 2 juta untuk biaya mengeluarkan jenazah dari bandara.
Dalam kuitansi bertanggal 10 Maret 2023, tertera pengurusan jenazah Warnoko terdiri dari biaya incoming, (kedatangan), ambulans dari Bandara Soekarno-Hatta ke salah satu rumah sakit di Depok, ambulans dari RS ke Brebes, satu set kain kafan, pemandian jenazah, serta peti jenazah.
Baca juga : Agen Penyalur Menjerat ABK lewat Kontrak Kerja
Tanpa persetujuan
Seluruh layanan yang tercantum di kuitansi tidak melalui persetujuan keluarga, termasuk membuka peti mati jenazah dengan dalih untuk pemulasaran. Peti mati yang dipakai mengirimkan jenazah Warnoko dari Korea Selatan pun diganti lagi oleh yayasan dengan peti berbahan papan dan dilapisi terpal biru.
Bahkan, pihak perusahaan meminta keluarga Warnoko tidak ikut menjemput di bandara. “Pihak PT bilang, enggak perlu ada pihak keluarga yang jemput ke bandara karena lagi suasana duka. Serahkan semuanya ke PT,” ujar Rahayu ketika ditemui di Brebes, akhir Juli lalu.
Lindu, Ketua Persatuan Anak Rantau Sitanggal South Korea (Parasit SK), yang juga pekerja migran di Korsel, mempertanyakan beragam biaya dalam pemulangan jenazah Warnoko. Mulai dari penggantian peti mati, memandikan, memakaikan kafan ulang sebelum dibawa ambulans.
“Untuk apa? Sedangkan di sini (Korsel) sudah dimandikan, dikafani, dishalatin, pokoknya sampai sana (rumah duka) sudah bisa langsung dikebumikan,” tutur Lindu, yang saat dihubungi masih ada di Korsel.
Bukti pemulasaraan jenazah Warnoko di Korsel terekam dalam unggahan akun Facebook Komunitas Muslim Indonesia di Korsel (KMI Korsel) pada 8 Maret 2023.
Untuk apa? Sedangkan di sini (Korsel) sudah dimandikan, dikafani, dishalatin, pokoknya sampai sana (rumah duka) sudah bisa langsung dikebumikan. (Lindu, Ketua Parasit SK)
Kompas coba mencari tahu langsung biaya pengurusan jenazah kepada Yayasan Arjuna Sakti untuk membandingkan biaya yang dibebankan PT GNM Shipping Marindo kepada keluarga Warnoko. Iwan, pimpinan Yayasan Arjuna Sakti menyebutkan, biaya pemulangan jenazah dari Bandara Soekarno Hatta ke Brebes berkisar Rp 14 juta hingga 19 juta jika dilakukan atas permintaan keluarga korban dan dengan didampingi pihak keluarga.
Sri Rahayu (28) menunjukkan dokumentasi peti mati almarhum Warnoko (34), suaminya, sewaktu akan dimakamkan. Warnoko meninggal karena sakit saat dalam kontrak kerja sebagai anak buah kapal ikan Korea Selatan. Peti mati terlihat sudah berganti dibanding foto sewaktu pemulasaraan di Korsel.
“Kalau harga Rp 19 juta itu termasuk biaya peti, formalin, pemandian jenazah, bensin dan ongkos tol, serta biaya pengeluaran jenazah dari bea cukai. Kalau Rp 14 juta tidak termasuk biaya formalin dan pemandian jenazah,” kata Iwan.
Kendati demikian, jika proses pemulangan jenazah atas permintaan perusahaan, Yayasan Arjuna Sakti mematok harga Rp 25 juta. Iwan enggan menjelaskan mengapa ada perbedaan biaya jika atas permintaan keluarga dibandingkan dengan perusahaan.
Baca juga : Melompat ke Selat Malaka karena Tak Tahan Kerja Paksa
Uang jaminan dipotong
Warnoko mendaftar menjadi ABK migran ke kapal ikan berbendera Korsel melalui PT GNM Shipping Marindo, tahun 2018 silam. Sebelum berangkat kerja, Warnoko diminta menyerahkan uang Rp 60 juta dan sertifikat rumah oleh perusahaan sebagai jaminan. Biaya pemulangan jenazah Warnoko yang dibebankan kepada keluarga dipotong dari uang jaminan itu. Rahayu hanya menerima Rp 31,2 juta.
Berdasarkan foto dokumen yang didapatkan Kompas, terdapat surat pernyataan yang ditandatangani Rahayu terkait pemotongan uang jaminan. Pada poin satu yang tertera di dokumen tersebut, uang jaminan Warnoko sebesar Rp 60 juta akan dipotong biaya jasa pemulangan jenazah sebesar Rp 26,8 juta ditambah biaya proses bandara Rp 2 juta.
Nasib serupa terkait biaya pemulangan jenazah juga dialami Tarwen (36), warga Citemu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tarwen merupakan istri dari almarhum Sulaeman, ABK migran yang meninggal karena kecelakaan kapal Myeong Min Ho 32 di Korsel pada 29 Desember 2020.
Usai pemakaman Sulaeman pada awal 2021, perwakilan PT GNM Shipping Marindo menyebutkan, Tarwen memiliki utang Rp 25 juta untuk proses pemulangan jenazah Sulaeman. Sebelum utang itu dibayar, perusahaan menahan surat Akta Jual Beli (AJB) tanah yang pernah dijaminkan Sulaeman kepada perusahaan.
Biaya pemulangan jenazah Sulaeman akhirnya dilunasi Tarwen setelah uang asuransi kematian milik Sulaeman cair.
Padahal, Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyatakan, jika pekerja migran meninggal di negara penempatan maka perusahaan penempatan pekerja migran berkewajiban memulangkan ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung biaya yang diperlukan termasuk biaya pemakaman.
Ketua salah satu serikat ABK di Tegal, Ari Purboyo menilai, perusahaan yang membebankan biaya pemulangan jenazah kepada keluarga korban sungguh tidak berperikemanusiaan. Menurut Ari, yang biasa mendampingi kasus ABK migran Indonesia di Korsel, ada beberapa modus perusahaan penyalur meraup keuntungan, seperti meminta biaya penggantian peti dan memandikan jenazah ABK.
Secara terpisah, Direktur PT GNM Shipping Marindo Warno mengatakan, jika ada ABK yang meninggal, pihak majikan di Korsel akan mengurus biaya pemulangan jenazah hingga ke kampung halaman. Namun, terkadang majikan hanya mengurus pemulangan sampai bandara di Indonesia sehingga biaya pemulangan dari bandara ke kampung halaman ditanggung oleh keluarga.
"Jadi, untuk penjemputan jenazah ke rumahnya itu biaya sendiri. (Biayanya) dari keluarga. Nanti kami dari pihak perusahaan itu membantu," kata Warno, di Cirebon.
Warno menambahkan, saat jenazah tiba di Jakarta akan diurus oleh yayasan yang bekerja sama dengan PT GNM. Adapun peti jenazah dibongkar dan diganti peti baru tidak perlu persetujuan keluarga.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengungkapkan, perusahaan wajib mengurus proses pemulangan jenazah ABK yang meninggal dari negara penempatan hingga ke kampung halamannya. Keluarga ABK tidak boleh dimintai biaya pengganti pemulangan jenazah.
Jika perusahaan membebankan biaya pemulangan jenazah korban, artinya mereka melakukan kejahatan. "Itu kejahatan. (Seharusnya) tanggung jawab mereka (perusahaan), kenapa dialihkan dan dibebankan pada keluarga," ujar Benny.
Baca juga : Saya seperti Diperbudak, Tak Punya Hak Apa-apa
Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menyebutkan, pihaknya mengedepankan tanggung jawab pihak terkait dalam hal repatriasi jenazah pekerja migran Indonesia, termasuk ABK migran. Itu mengacu pada Peraturan Menlu Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelindungan WNI di Luar Negeri.
Memangkas santunan
Tidak hanya praktik pembebanan biaya pemulangan jenazah, terdapat perusahaan penyalur yang memangkas hak ahli waris yang semestinya diperoleh ketika ABK migran meninggal di negara penempatan. Hal ini terlihat dari hak uang yang diterima keluarga Kasnali, ABK migran yang meninggal pada 2017 silam.
Ayah Kasnali, Sukari Tamin (53), menyebutkan bahwa total uang yang didapatkan keluarga hingga kini hanya Rp 80 juta. Tidak ada dokumen polis asuransi yang diserahkan ke ahli waris. “PT itu tidak transparan, tidak ada keterbukaan,” ujar dia di Cirebon, Sabtu (22/7/2023).
Berdasarkan dokumen perjanjian kerja yang ditandatangani tanggal 8 Januari 2017, Kasnali diberangkatkan PT Berkah Jaya Bahari (BJB) yang berada di Pemalang, selaku perusahaan penyalur. Kasnali bekerja di kapal MV Hebei 8588.
Padahal, berdasarkan Pasal 31 Ayat 2 PP Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, perusahaan angkutan di perairan wajib membayar santunan ke ahli waris minimal Rp 150 juta jika awak kapal meninggal karena kecelakaan kerja, dan minimal Rp 100 juta jika meninggal karena sakit.
Direktur PT BJB Rizaki Fatkhi mengatakan, pihaknya berperan sebagai sponsor yang mencarikan ABK. PT BJB tidak bisa memberangkatkan ABK karena tidak punya izin, sehingga bekerja sama dengan PT lain yang berizin. Oleh karena itu, perusahaan yang memberangkatkan yang tahu dokumen polis asuransi Kasnali. Terkait santunan kepada keluarga Kasnali, Rizaki mengklaim, total kompensasi kematian—sudah termasuk asuransi—yang hanya Rp 80 juta. merupakan hasil konsultasinya dengan pemerintah.