Tumpang Tindih Izin Persulit Perlindungan ABK Migran
Perusahaan penyalur anak buah kapal migran dapat mengantongi izin dari Kementerian Perhubungan atau Kementerian Ketenagakerjaan. Tumpang tindih izin memperlemah pengawasan.
Oleh
FRD/JOG/DVD/ILO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tumpang tindih aturan tata kelola perekrutan dan penempatan anak buah kapal migran dinilai mempersulit upaya perlindungan bagi mereka. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Migran dan Awak Kapal Perikanan diharapkan lebih memberikan perlindungan.
Chief Operating Officer Indonesia Ocean Justice Initiative Fadilla Octaviani mengatakan, persoalan dualisme kewenangan dalam perizinan penempatan ABK migran membuat pengawasan terhadap perusahaan penyalur menjadi lemah. Hal ini membuat ABK migran sulit terlindungi dari beragam upaya yang dapat melanggar hak-hak ketenagakerjaannya.
”(Dualisme) itu mempersulit pengawas untuk masuk ke perusahaan dan melakukan pengawasan karena ada perbedaan kewenangan dalam pengawasan,” katanya di Jakarta, Kamis (25/8/2023).
Saat ini setidaknya ada dua izin perekrutan dan penempatan ABK migran. Pertama, melalui Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Izin perekrutan dan penempatan yang kedua bisa didapatkan melalui Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (SIP3MI) yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Sejauh ini, perusahaan penyalur (manning agency) ABK migran kebanyakan mengantongi SIUPPAK dibandingkan yang mengurus SIP3MI.
Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 22 Tahun 2022 untuk menuntaskan persoalan dualisme ini. Adanya aturan ini membuat perizinan menjadi satu pintu melalui Kemenaker. Pasal 43 mengatur bahwa perusahaan yang telah memiliki SIUPPAK wajib mengalihkan perizinan menjadi SIP3MI paling lambat dalam dua tahun terhitung dari PP terbit.
Fadilla menyoroti, PP 22 Tahun 2022 juga dapat memberikan banyak kerangka perlindungan bagi ABK migran. Perlindungan ini, misalnya, terkait dengan pencatatan keberangkatan, standar perjanjian kerja, hingga mekanisme pelaporan jika terjadi sengketa. Untuk mencegah terjadinya kerja paksa, pada Pasal 17 juga diatur tentang batasan jam kerja dan lama jam istirahat bagi ABK.
Meskipun demikian, pelaksanaan PP 22 Tahun 2022 ini, menurut Fadilla, belum optimal karena belum ada aturan teknis, seperti peraturan menteri terkait, untuk menjamin pelaksanaannya lebih sistematis. Namun, tanpa menunggu aturan teknis, kementerian dan lembaga terkait seharusnya bisa menjalankan amanat PP 22 Tahun 2022.
”Sebenarnya secara normatif itu sudah terselesaikan, hanya implementasinya yang belum,” kata Fadilla.
Dualisme kewenangan ini turut mengganjal penyelesaian masalah yang dialami ABK migran. Selama ini, mereka menganggap masalah yang dihadapi di kapal asing terkait dengan urusan ketenagakerjaan sehingga laporan kerap dikirimkan ke dinas ketenagakerjaan, Kemenaker, hingga Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Namun, semua lembaga tersebut tidak dapat memberikan sanksi kepada perusahaan karena tidak memiliki hubungan industrial dengan perusahaan penyalur.
Minim data
Selain memperlemah pengawasan, perizinan yang tumpang tindih ini juga membuat ABK yang bekerja di luar negeri tidak terdata dengan baik.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani menilai, minimnya data dan informasi ABK yang diberangkatkan melalui perusahaan penyalur pemegang SIUPPAK menyulitkan BP2MI dalam memberikan perlindungan. Padahal, mereka kerap mendapatkan aduan dari ABK yang mengalami kekerasan fisik, tidak mendapatkan haknya, telantar di luar negeri, hingga meninggal.
”Bisa dibayangkan, misalnya subyektifnya kami tidak mengurus penempatan, kami tidak tahu mereka berangkat kapan. Tapi, tiba-tiba ketika ada masalah menjadi tanggung jawab BP2MI,” ungkapnya.
Adanya PP 22 Tahun 2022, menurut Benny, akan membuat perekrutan dan penempatan ABK menjadi satu pintu melalui perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI). Dengan demikian, pendataan ABK yang bekerja di luar negeri menjadi lebih jelas. PP 22/2022 dinilai lebih ketat mengatur perlindungan bagi ABK migran, khususnya dalam menjamin kompetensi ABK.
Benny menilai, dualisme kewenangan membuat kontrol terhadap ABK menjadi lemah, terlebih dalam memastikan kompetensi setiap ABK. Perusahaan seharusnya memperkuat kompetensi ABK melalui pelatihan di lembaga pelatihan milik pemerintah atau swasta. Tanpa dibekali kompetensi, ABK berisiko mendapatkan masalah di atas kapal.
”Tumpang tindih ini memperlemah upaya kita memperkuat kompetensi ABK migran. Ini menyebabkan ABK kita jadi korban,” ungkap Benny.
Secara terpisah, Kepala Subdirektorat Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Maltus Jackline Kapistrano mengatakan, pihaknya menghormati terbitnya PP 22 Tahun 2022. Namun, dia beranggapan seharusnya tidak perlu ada perizinan baru. Hal yang lebih mendesak adalah bersinergi meningkatkan pengawasan.
”Sebenarnya yang perlu diperkuat itu pengawasan secara bersama, bukan izin usahanya yang ditambah. Kenapa kita tidak secara bersama-sama meningkatkan pengawasan dari segala lini?” ujar Maltus.
Kendati PP 22 Tahun 2022 mengamanatkan perusahaan harus mengurus SIP3MI, Maltus menganggap perusahaan penyalur yang hanya punya SIUPPAK tetap dapat beroperasi. Sebab, mereka telah melalui sejumlah tahapan prosedur sesuai regulasi sebelumnya.
Sejauh ini, kata Maltus, Kemenhub telah menangani sejumlah kasus ABK migran, mulai dari gaji yang tidak dibayar, kecelakaan kerja di kapal, hingga asuransi kematian yang belum cair. Selain itu, pihaknya juga rutin melakukan pengawasan dan audit kepada perusahaan penyalur.
”Nah, itu banyak kami selesaikan di sini. Kami coba mediasi. Biasanya kami panggil perusahaannya. Terus kami panggil keluarga pelautnya,” kata Maltus.
Padahal, berdasarkan penelusuran Kompas, ABK migran di daerah sejauh ini lebih kerap melapor ke dinas tenaga kerja setempat, lembaga advokasi pekerja migran, atau kepolisian.
Kebingungan
Tumpang tindih regulasi ini turut menimbulkan kebingungan di kalangan perusahaan penyalur ABK. Menurut Direktur PT Puncak Jaya Samudera (PJS) Herman Suprayogi, adanya dualisme perizinan membuat perusahaan kerap menjadi obyek kesalahan karena mudah dibenturkan dengan aturan-aturan yang ada.
”Pada intinya kami melihat seperti ada dualisme peraturan yang di sisi lain mempunyai kekuatan sendiri-sendiri,” ucap Herman di Pemalang, Jawa Tengah.
Dalam hal ini, Herman mendorong agar pemerintah segera menetapkan regulasi yang jelas mengenai mekanisme penempatan dan perekrutan ABK migran. Herman meyakini, jika ada regulasi yang jelas, perusahaan pasti siap menaati peraturan tersebut sekaligus terbuka mendapat pembinaan.
”Karena itu, ketika kami memakai izin ini, tidak dituntut dengan regulasi ini. Ketika memakai regulasi ini, tidak dituntut dengan aturan ini. Kami dari pelaku usaha ingin mengikuti aturan yang tegak lurus, aman, dan nyaman,” ujarnya.
Saat ini, PT PJS telah mengikuti ketentuan PP 22 Tahun 2022 dengan mengantongi izin SIP3MI. Sebelumnya, perusahaan yang berdomisili di Pemalang ini juga memiliki izin SIUPPAK. Meski demikian, Herman menilai tidak semua perusahaan mampu memenuhi syarat pengurusan SIP3MI. Salah satu yang dianggap memberatkan adalah kewajiban perusahaan menyetorkan deposito sebesar Rp 1,5 miliar dan memiliki modal aset senilai Rp 5 miliar.
Hal tersebut diakui juga oleh perusahaan penyalur PT Keluarga Samudera Indonesia (KSI) di Indramayu, Jawa Barat. Staf Pengurusan Pemberangkatan Calon ABK PT KSI Endri Sulistyo menyebutkan, selain menyerahkan deposito sebesar Rp 1,5 miliar, perusahaan juga harus memiliki modal aset senilai Rp 5 miliar.
”Ya, itu. Depositonya, modalnya Rp 6,5 miliar untuk satu perusahaan. Itu yang mempersulit kami,” kata Endri.
Sebelumnya, perusahaan yang berdiri sejak tahun 2018 ini juga sudah mengantongi izin SIUPPAK dengan proses yang tidak mudah dan memakan waktu sekitar 14 bulan. Karena belum memiliki SIP3MI, PT KSI bekerja sama dengan perusahaan yang sudah lebih dulu memegang izin tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyebutkan, tumpang tindih regulasi termasuk untuk urusan izin usaha perekrutan dan penempatan ABK migran jadi bahan evaluasi pemerintah.