WFH tidak berpengaruh menurunkan polusi udara Jabodetabek. Tingkat polutan debu partikulat 2,5 mikron (PM 2,5) dan gas nitrogen dioksida (NO2) justru meningkat.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan kerja dari rumah bagi aparatur sipil negara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak berpengaruh atasi polusi udara Jabodetabek. Data menunjukkan tingkat polutan debu partikulat 2,5 mikron (PM 2,5) dan gas nitrogen dioksida (NO2) justru meningkat.
Tim Jurnalisme Data Kompas pada Selasa (12/9/2023) menemukan bahwa selama tiga pekan pertama bulan Agustus hingga jelang penerbitan implementasi kerja dari rumah (work from home/WFH) pada 21 Agustus, rata-rata konsentrasi PM 2,5 di Jakarta mencapai 45,85 mikrogram per meter kubik (µg/m3).
Lalu, selama tiga pekan setelah penerapan ini, yakni 21 Agustus sampai dengan 10 September, tingkat polusi PM 2,5-nya justru meningkat mencapai 49,63 µg/m3.
Hal ini mungkin menunjukkan, intervensi kebijakan yang diterbitkan belum memberikan dampak efektif dalam mengurangi tingkat polusi udara.
Data yang diacu merupakan rekaman konsentrasi PM 2,5 milik Pemerintah Amerika Serikat; dari sensor yang berada di Kedubes AS di Jakarta Pusat dan rumah Dubes AS di Jakarta Selatan. Data yang dianalisis mencakup periode 6 pekan, dari 1 Agustus hingga 10 September 2023.
Meningkatnya polusi udara juga terekam pada konsentrasi NO2 dari citra satelit Copernicus Sentinel-5P.
Rata-rata NO2 di Jabodetabek 14 hari sebelum diselenggarakan WFH, yaitu 7-20 Agustus 2023, menunjukkan angka 81,1 mikro mol/m2. Sementara itu NO2 pasca-WFH di rentang waktu yang sama justru meningkat 8,5 persen menjadi 88,1 mikro mol/m2.
Peningkatan konsentrasi NO2 bahkan terjadi lebih besar di penyangga DKI Jakarta, yaitu Bodetabek. Dari rata-rata 72,9 mikro mol/m2 sebelum WFH, meningkat 13,3 persen menjadi 82,5 mikro mol/m2 setelah diselenggarakan WFH.
Tidak komprehensif
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menyebut, rentetan kebijakan yang dikeluarkan berurutan pada Agustus lalu merupakan upaya parsial yang tidak komprehensif.
Trubus pun menyesalkan, kebijakan-kebijakan tersebut juga hanya diterapkan di wilayah DKI Jakarta, seharusnya lebih luas ke wilayah penyangga di Bodetabek.
”Kebijakan-kebijakan ini seperti uji emisi ini seharusnya diikuti wilayah tetangga, harus seragam,” kata Trubus.
Selain itu, pemerintah ini harus mencari sumber masalah sesungguhnya agar bisa diberikan kebijakan intervensi yang tepat. “Apakah betul moda transportasi penyebabnya atau perilaku yang lain? Ini harus diteliti,“ kata Trubus.
WFH juga dinilai bukan sesuatu yang akan efektif, kata Kepala Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Darmawan Setyanto Sp A(K).
Ia berpendapat, WFH adalah kebijakan ”luar biasa” untuk menurunkan polusi yang luar biasa tajam. Namun, menurut dia, jika dilihat selama ini, polusi udara saat ini cenderung relatif sama.
Oleh karena itu, kebijakan ”luar biasa” seperti WFH ini bukanlah sesuatu yang tepat untuk menangani persoalan pencemaran udara saat ini.
”Ini adalah alarm bahwa kita harus perbaiki semuanya, bukan shortcut dengan WFH,” kata Darmawan dalam sebuah seminar daring Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pertengahan Agustus lalu.
Menurut dia, solusi paling tepat adalah pembenahan transportasi publik. Ia pun mengaku bahwa masih menggunakan pribadi dalam kegiatan sehari-hari akibat transportasi yang relatif belum nyaman.
”Ini belum tercipta transportasi yang nyaman,” kata Darmawan.