Mendamba Damai di Dunia Nyata, Memulainya di Dunia Maya
Keamanan siber membuat negara-negara bergantung satu sama lain. Lantas, jika nantinya semua bisa bekerja bersama mewujudkan ruang maya yang aman, dapatkah itu memengaruhi derajat perdamaian di dunia nyata?
Singapura beri panggung bagi Ukraina dalam sebuah perhelatan forum keamanan siber tengah Oktober ini. Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina Anton Demokhin jadi pembicara kunci di salah satu diskusi panel. Seperti bisa diduga, ia memanfaatkannya untuk menggalang dukungan menentang invasi Rusia.
Meski topiknya keamanan siber, Demokhin leluasa berdiplomasi terkait konflik dengan Rusia karena, menurut Ukraina, Rusia tidak hanya menggunakan kekuatan fisik, tetapi juga serangan via ruang digital. ”Terima kasih kepada Anda yang sudah mengecam perang Rusia terhadap Ukraina dan terhadap perilakunya di ruang siber,” ucapnya yang juga Kepala Transformasi Digital Kemenlu Ukraina ini, Selasa (17/10/2023).
Demokhin berbicara dalam diskusi ”Kawan atau Lawan? Mendefinisikan Relasi dan Peran Raksasa Teknologi dan Pemerintah di Ruang Siber”, rangkaian dari Singapore International Cyber Week (SICW) 2023. Badan Keamanan Siber (Cyber Security Agency) Singapura menggelar forum itu di Marina Bay Sands, salah satu ikon utama ”negeri Singa”.
Topik diskusi padahal sudah lebih spesifik ke peran pelaku bisnis ruang siber, tetapi Demokhin masih mampu memanfaatkannya untuk sesekali melancarkan jurus verbal kontra Rusia, eksplisit ataupun implisit. Ia bercerita pula tentang peran perusahaan-perusahaan teknologi membantu ketahanan Ukraina dari serangan-serangan di jagat maya selama masa perang.
Menariknya, Singapura juga mengundang perwakilan Rusia untuk menghadiri SICW 2023. Sebelum mengonfirmasi, Rusia pasti sudah mafhum bahwa Ukraina yang diberi jatah jadi pembicara punya peluang menggiring opini hadirin dari segala negeri. Apalagi, Ukraina berbicara di Singapura, negara ASEAN pertama yang menerapkan sanksi ke Rusia atas invasinya pada Februari 2022.
Namun, perwakilan Rusia tetap datang meski Kepala CSA Singapura David Koh tidak merinci siapa pejabat yang hadir. Wartawan pun bertanya mengapa Singapura seperti merangkul semua negara dengan beragam latar belakangnya untuk berkumpul di Marina Bay Sands. ”Kami tidak merangkul. Kami hanya mengundang. Rusia kami undang karena negara ini salah satu pemain kunci (dalam ranah digital),” ucap Koh.
Baca juga: Wamenlu Ukraina: Kami Makin Sigap Menghadapi Serangan Rusia
Perwakilan Iran pun datang, padahal sejumlah pejabat asal Amerika Serikat turut berbicara di berbagai diskusi. Iran dan Amerika Serikat berebut pengaruh di Timur Tengah, apalagi kini ada konflik Hamas-Israel.
Bahkan, di SICW edisi 2022, perwakilan Rusia dan China ikut jadi pembicara. Mereka ialah Artur Lyukmanov, Pelaksana Tugas Direktur Keamanan Informasi Internasional Kemenlu Rusia, serta Koordinator Urusan Siber Kemenlu China Wang Lei. Konteks terkait China, kekuatan adidaya Asia ini ”bertarung” dengan AS dalam kompetisi strategis tingkat global.
Walau memegang teguh pendirian terhadap berbagai kondisi politik internasional, Singapura berupaya konsekuen dengan ”jabatannya” sebagai negara perdagangan, yang mengharuskan negara mungil ini terbuka pada siapa saja dengan latar belakang apa pun. Gelaran SICW merupakan ekstensa dari posisi Singapura tersebut.
Koh bercerita, pihaknya berjuang mencapai—atau setidaknya mendekati—keseimbangan dalam SICW. Selain membuka pintu pada negara-negara yang berseteru untuk berkumpul, CSA juga berupaya membuat wakil semua kelompok negara punya kesempatan didengar. Negara-negara Pasifik sekaligus kubu Belahan Bumi Selatan (Global South), misalnya, terwakili oleh pembicara dari Fiji. Dari Timur Tengah, ada perwakilan Arab Saudi.
Keseimbangan lain dikejar dari rancangan topik diskusi. Selain forum terkait kebijakan pemerintah dan politik internasional dalam ranah maya, ada pula diskusi terkait dengan hal-hal teknis dalam keamanan siber serta terkait dengan teknologi baru dan fenomena kekinian.
Dengan mengusung keamanan siber, Singapura mampu membuat ruang-ruang diskusi dan pameran teknologi siber di Marina Bay Sands dikerumuni 12.000-an peserta dari sekitar 80 negara, tanggal 17-19 Oktober 2023. Ketika SICW diselenggarakan perdana kalinya pada 2016, jumlah peserta baru setengahnya, yaitu 6.000-an orang.
Singapura tidak berusaha membuat bangsa-bangsa di dunia mencapai kesepakatan di SICW. Perwakilan negara dengan perspektif berseberangan bertemu dan mengobrol, itu pun sudah pencapaian. ”Kita boleh tidak saling sepakat, tetapi kita bisa mendiskusikannya,” kata Koh yang juga Kepala Teknologi dan Keamanan Digital Kementerian Komunikasi dan Informasi Singapura.
Kita boleh tidak saling sepakat, tetapi kita bisa mendiskusikannya.
Pemersatu
Selain kepiawaian Singapura dalam menghimpun perwakilan sejumlah negara, isu keamanan siber memang sebuah pemersatu. Jika relasi antarbangsa digerakkan oleh kepentingan nasional, keamanan siber sedunia merupakan kepentingan nasional semua negara. ”Jika Singapura mampu mengatasi masalah siber, sedangkan tetangga-tetangganya belum, itu akan jadi masalah,” kata Koh mencontohkan dalam konteks Asia Tenggara.
Bagaimana tidak, kemajuan digital kini bukan hanya tentang kemutakhiran teknologi, melainkan juga tentang segala aspek kehidupan. Di level pemerintah, teknologi digital mengefisienkan layanan publik. Di tingkat individu, gawai pintar sudah seperti kebutuhan pokok, bahkan bisa mengantarkan penghasilan.
Begitu keamanan siber tidak terjamin, berbagai aspek kehidupan terdampak, juga hingga tingkat individu. Peretasan telepon seluler dengan aplikasi tertentu membuat jutaan hingga miliaran rupiah berpindah dari rekening atau dompet digital korban ke pelaku secara jarak jauh.
Sindikat penipuan daring di berbagai negara juga membuat sejumlah warga Indonesia terjebak perdagangan orang, misalnya lewat iklan di media sosial. Data kurun 2020-Mei 2023, Kemenlu RI menangani 2.438 kasus WNI yang terjerat industri penipuan daring. Sebanyak 1.233 WNI mengalaminya di Kamboja, 469 di Filipina, 276 di Laos, 205 di Myanmar, 187 di Thailand, 34 di Vietnam, 30 di Malaysia, dan 4 di Uni Emirat Arab (Kompas, 11/8/2023).
Sekali lagi, keamanan siber suatu negara bergantung pada negara lain pula.
Ketersalinghubungan di jagat maya bagi banyak negara juga jadi motor ekonomi baru. Ekonomi digital, menurut Bank Dunia, berkontribusi terhadap 15 persen produk domestik bruto (PDB) global. Di Asia Tenggara, ekonomi digital bisa tumbuh hingga menembus 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 15.700 triliun pada 2030 berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain & Company (Kompas.id, 18/10/2023).
Baca juga: Rezim Digital: Antara Sistem Konstruktif dan ”Tukang Jagal”
Nontradisional
Keamanan siber bisa jadi isu pemersatu, mungkin juga karena bidang ini butuh perlakuan berbeda dibandingkan terhadap keamanan tradisional. Salah satunya, karena aktor non-negara, terutama para raksasa teknologi, punya peran tidak kalah penting dibandingkan dengan aktor negara.
Koh mencontohkan, pemerintah punya kuasa dominan atas tank, kapal perang, dan pesawat tempur. Bicara tentang keamanan tradisional berarti tentang interaksi pemerintah dan pemerintah.
Sementara itu, infrastruktur, pelantar (platform), dan perangkat lunak untuk mengakses ruang digital adalah milik perusahaan swasta. Tidak mungkin tak melibatkan swasta untuk mencapai keamanan siber.
”Mereka (perusahaan teknologi) memutuskan banyak hal yang memengaruhi kita, dari perspektif sosial, ekonomi, dan kini keamanan,” ujar Koh. Lewat SICW, para pemerintah bisa mempelajari cara bina hubungan dengan perusahaan teknologi guna menjamin keamanan ruang siber.
Selain itu, kekuatan finansial perusahaan-perusahaan besar sudah melebihi perekonomian banyak negara. Sebagai gambaran, merujuk data Statista per September 2023, kapitalisasi pasar Alphabet (induk Google) bernilai lebih dari 1,7 triliun dollar AS (melampaui Rp 27.000 triliun). Itu sekitar 1,4 kali lipat produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2022, yang sebesar Rp 19.588,4 triliun.
Kondisi demikian membuat Denmark merintis jabatan duta besar teknologi pertama di dunia tahun 2017, yang antara lain berkedudukan di Silicon Valley, San Francisco, AS, serta di Kopenhagen, Denmark; dan Beijing, China. Salah satu tugasnya, berdiplomasi dengan perusahaan-perusahaan teknologi agar kepentingan rakyat Denmark di bidang siber terlindungi.
Duta Besar Teknologi Denmark Anne Marie Engtoft Meldgaard turut berbicara dalam diskusi di SICW. Selain dia, ada setidaknya lima duta besar dan duta besar keliling bidang siber dan teknologi (dengan nama resmi jabatan versi negara masing-masing) yang juga jadi pembicara, yaitu dari negara Polandia, Australia, Estonia, Belanda, dan Jerman.
Wakil Sekretaris Jenderal dan Perwakilan Tinggi Urusan Perlucutan Senjata Izumi Nakamitsu menuturkan bahwa kepercayaan merupakan batu fondasi sistem keamanan siber. Krisis kepercayaan pula yang jadi batu sandungan bagi ruang digital yang aman dan damai.
Namun, saling percaya sebenarnya juga landasan untuk perdamaian dunia dalam segala hal, termasuk untuk meredam perkelahian internasional yang bersifat konflik fisik. ”Seperti kita tahu, kita sedang dalam momen dramatis, dengan adanya konflik di Timur Tengah dan di Ukraina, serta banyak konflik lain di dunia,” ujar Nakamitsu.
Apakah pertemuan dengan fokus keamanan ruang maya bisa berlanjut membawa perdamaian di dunia nyata? Semoga perjumpaan wakil Ukraina dan Rusia di Singapura jadi tanda, ada harapan untuk itu.
Baca juga: Singapura Kucurkan Miliaran Rupiah Atasi Ancaman Siber