Para Pemburu Sertifikat
Mahasiswa bukan hanya dituntut lulus sarjana dengan nilai akademik yang baik. Kini, beberapa kampus menerapkan penilaian kegiatan mahasiswa yang dijadikan syarat untuk kelulusan. Salah satu penilaian dibuktikan dengan jumlah sertifikat yang dimiliki mahasiswa. Enggak heran, kini mahasiswa pun berlomba-lomba memenuhi persyaratan poin kegiatan supaya bisa lulus dengan nilai gemilang.
Sekitar 20 mahasiswa mengantre untuk mengisi daftar hadir seminar terbuka bertema ”Internet of Things & Knowledge Management” yang diadakan Program Studi Magister Teknik Informasi Universitas Binus, Jakarta.
Suasana di dalam ruangan pun begitu serius. Semua mata tertuju pada pembicara yang sedang menjelaskan tentang dampak dari internet. Panitia yang menyediakan 50 kursi harus menambah 20 kursi karena membeludaknya peminat peserta. Dalam seminar dua jam itu, peserta mendengarkan pemaparan pembicara yang kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab.
Sebagian besar dari mereka merupakan mahasiswa Binus yang mengincar sertifikat. Sebagian lagi, karyawan kantoran yang memang tertarik dengan tema seminar.
Saat ini, menjadi seorang mahasiswa tidaklah mudah. Selain dituntut pintar dalam bidang akademik, ada kebijakan dari beberapa universitas yang mengharuskan para mahasiswanya juga aktif dalam bidang non-akademik. Kegiatan non-akademik yang dimaksud di sini adalah kegiatan di luar perkuliahan, seperti acara seminar, workshop, keorganisasian, baik di unit kegiatan mahasiswa (UKM) maupun di luar kampus.
Dari beberapa kegiatan non-akademik yang diikuti, biasanya mahasiswa mendapatkan sertifikat. Sertifikat yang didapatkan oleh mahasiswa ini mengandung poin. Besaran poin setiap sertifikat berbeda-beda, tergantung dari jenis kegiatannya. Poin-poin itu harus dikumpulkan mahasiswa sejumlah persyaratan yang ditetapkan oleh pihak universitas.
Misalnya saja di Universitas Binus, Jakarta, mahasiswa wajib mengikuti minimal satu seminar internasional dan dua seminar lokal sebagai salah satu syarat untuk bisa lulus kuliah. Selain itu, mahasiswa juga wajib mengikuti jam sosial selama 30 jam dan mengumpulkan poin student activity transcript (SAT) sebanyak 120 poin sebagai persyaratan lain untuk lulus kuliah.
Beda lagi dengan di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. UMN mewajibkan mahasiswa mengumpulkan poin dari satuan kredit kegiatan mahasiswa (SKKM) sebanyak 20 poin. Ada empat bidang yang harus dikejar, yaitu minat bakat, pengabdian masyarakat, ilmiah dan penalaran, serta organisasi dan pengembangan.
Sementara Universitas Pancasila, semua mahasiswa wajib mendapat sertifikat dari lembaga kursus bahasa Inggris Lembaga Indonesia Amerika (LIA) sebagai persyaratan untuk lulus. Namun, mulai 2016, kampus memberikan kewenangan kepada fakultas untuk menentukan jumlah sertifikat yang harus dimiliki mahasiswa.
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila mewajibkan mahasiswa memiliki 200 poin. Setiap sertifikat memiliki poin berbeda, untuk kegiatan di dalam Universitas Pancasila mendapat satu poin. Adapun kegiatan di luar kampus bisa bernilai cukup tinggi, antara 20 poin dan 40 poin setiap lembar sertifikat.
Rata-rata, masa kuliah adalah empat tahun untuk bisa lulus dengan memenuhi nilai akademik. Dengan beban mengumpulkan poin dengan mengejar sertifikat, mahasiswa pun harus berpacu dengan waktu selama empat tahun itu. Biasanya, untuk mahasiswa baru, tidak mau mengikuti seminar yang hanya menambah satu poin, melainkan memilih kegiatan yang menghasilkan banyak poin.
Berkejaran dengan waktu
Mahasiswa Jurusan Broadcasting, Universitas Binus, Devi Arina, mengatakan, setelah kuliah selama tiga tahun, dirinya mulai mengerti kebijakan kampus, yakni agar mahasiswa mengikuti kegiatan non-akademik. Hal itu semata-mata dibuat demi bekal pengalaman para mahasiswa nanti saat menghadapi dunia kerja.
”Kalau poin untuk seminar, saya sudah memenuhinya semua. Poin SAT sudah terkumpul 117, dan jam sosial juga sudah 29 jam,” kata Devi yang aktif di Binus TV.
Untuk memenuhi kewajiban jam sosial, Devi memilih mengajar di salah satu SD di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat. Dia mengajar Matematika dan Bahasa Inggris, satu minggu sekali selama tujuh kali pertemuan untuk kelas IV dan V SD. Selain itu, dia juga mewawancarai tokoh agama mengenai radikalisme di Indonesia. Dia juga mengajar broadcasting dalam program pengabdian masyarakat di SD Tunas Delima Tanjung Duren sebanyak tiga kali pertemuan.
”Lumayan capek, karena kegiatannya banyak. Akan tetapi, dari situ saya banyak mendapat pengalaman. Seperti saat di SD Kemanggisan, anak-anak meminta hadiah. Mereka bilang gini, ’Kakak, aku mau cokelat dong, minggu depanbawain ya. Aku juga mau permen yang enak, soalnya kelas sebelah dikasih juga’. Mereka minta kayak gitu dengan wajah polos banget,” kata Devi.
Akhirnya, Devi pun bersama teman-temannya patungan untuk membelikan snack dan alat tulis. Menurut dia, menjadi mahasiswa itu tidak hanya memikirkan nilai akademik, tetapi juga perlu mengasah kepekaan sosial.
Kesibukan menjadi mahasiswa juga dirasakan Nashya Tamara, mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara. Nashya yang duduk di semester dua aktif berkegiatan di Kompas Corner, kegiatan yang sejalan dengan jurusan yang dipilihnya. Poin didapat, ilmu yang didapat di bangku kuliah pun bisa langsung diterapkan.
”Biasanya, aku paling sering ikut kepanitiaan atau organisasi yang menawarkan nilai SKKM. Paling gampang ikut seminar. Udah gratis, bisa ditukar SKKM pula,” kata Nashya.
Meski demikian, sebagai mahasiswa yang selalu haus pengalaman, Nashya lebih senang berkegiatan di Kompas Corner meski hanya mendapat 1 SKKM. ”Kalau SKKM organisasi, aku lebih suka organisasi yang tidak terlalu banyak bebannya. Kalau minat bakat dan pengabdian masyarakat agak terbebani juga karena jarang mendapat SKKM,” kata Nashya yang lebih sering pulang di atas pukul 20.00 dari kampus.
Kebanggaan
Setiap mahasiswa memiliki pandangan yang berbeda dengan adanya kebijakan penilaian kegiatan non-akademik. Putri Chaerani, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, mengatakan bahwa sertifikat yang didapatkan bisa membuat dirinya bangga.
”Sertifikat itu menjadi tanda kalau kita ikut pelatihan atau seminar, kayak waktu masih SMA mendapat ijazah. Mahasiswa jangan hanya pintar di dalam kandang. Selain itu, salah satu cara meluaskan jaringan yaitu dengan ikut seminar, workshop, dan volunter,” kata Putri.
Senada dengan Putri, Fraditya Agatha Putrie juga setuju pentingnya sertifikat. ”Kalau pengin ikut acara atau kegiatan, ya, ikut sebagai panitianya, terus lama-lama makin naik jadi pengurus paling tinggi. Kalau seminar, aku enggak terlalu memaksakan. Kalau dapat sertifikat, ya bagus. Kalau enggak ada, ya aku lihat dulu menarik enggak seminarnya,” kata Fraditya.
Banyak celah peluang yang bisa dipilih para mahasiswa. Kalau bisa aktif di dalam kampus dan di luar kampus pasti akan memiliki nilai lebih.
(SIE/*/**)