Berat memang membiayai kuliah karena mahasiswa tak hanya membayar uang kuliah per semester, tetapi juga biaya fotokopi, praktikum, penelitian yang kadang kala mengharuskan mahasiswa keluar daerah, sampai membeli buku bacaan kuliah yang kadang kala berbahasa asing. Di luar itu pun mahasiswa harus membayar biaya indekos bagi mereka yang harus merantau.
Banyak mahasiswa memutar otak agar mereka bisa membantu meringankan beban orangtua. Mereka berusaha mencari beasiswa, berbisnis melalui daring, menjadi guru les, dan menjadi penulis.
Bagi sebagian mahasiswa, biaya kuliah mahal justru menjadi pemicu agar mereka serius menekuni studi. Mereka enggan membolos dan berusaha agar cepat merampungkan kuliah. Mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan kuliah yang bagi sebagian orang adalah kemewahan luar biasa.
”Saya harus membayar lebih dari Rp 6 juta per semester, plus membayar biaya SKS (satuan kredit semester) antara Rp 2 juta-Rp 3 juta dan biaya laboratorium Rp 975.000,” kata Nabila Dwinovianti, mahasiswa semester III Program Studi Manajemen Bisnis Universitas Binus Jakarta, Rabu (13/12).
Menurut dia, pada tahun pertama orangtuanya juga membayar uang pangkal Rp 40 juta, di luar uang per semester. ”Setara dengan fasilitas kampus yang lengkap,” ujar Nabila.
Meski tak aktif di unit kegiatan mahasiswa mana pun, Nabila tetap giat mengikuti berbagai aktivitas di kampus, seperti seminar dan diskusi. Aktivitas itu berguna untuk menambah ilmu juga untuk mengumpulkan poin.
”Untuk mengajukan beasiswa, harus ada jumlah poin tertentu. Begitu pula ketika hendak lulus, harus punya 160 poin. Tanpa poin cukup, tak bisa lulus. Maksimal masa kuliah lima tahun, lebih dari itu harus pindah ke kampus lain,” ucapnya.
Kerja sambilan
Sementara Muhammad Firza, mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila Jakarta, juga harus membayar Rp 6 juta per semester termasuk uang SKS. Mahasiswa semester IX ini tidak lagi meminta uang jajan kepada ayah dan ibunya.
”Untuk beli buku, jajan, beli bensin, kencan, dan lainnya, saya biayai sendiri,” kata Firza. Dia bekerja sambilan sebagai fotografer, berjualan seminggu sekali di hari bebas kendaraan, dan usaha konveksi.
Sebagai fotografer di sebuah penyelenggara event, Firza mendapat bayaran Rp 300.000 sekali tugas. Dia juga melayani permintaan untuk fotografer prapernikahan. ”Dalam sebulan, sekitar lima-enam kali kerja,” kata Firza.
Tiap Minggu, bersama sang kekasih, dia berjualan minuman jeruk peras pada hari bebas kendaraan bermotor di Jakarta. Dari usaha ini, dia menghasilkan Rp 700.000 sekali kerja. Untuk usaha konveksi, dia berbisnis sablon sejak dua tahun lalu. ”Namun, baru benar-benar serius sejak dua bulan lalu,” ujar Firza.
Kuliah di perguruan tinggi negeri tidak selalu murah. Bahkan, ada kelas yang lebih mahal. Biaya di kelas pararel dan kelas internasional bisa mencapai puluhan juta rupiah per semester. Belum lagi harus belajar ke luar negeri selama dua tahun, seperti di kelas internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI).
Elvansyah Fajri, mahasiswa semester VII kelas paralel Jurusan Jurnalistik Multimedia Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, membayar uang pangkal Rp 10 juta dan uang kuliah Rp 9,5 juta per semester. Mahasiswa kelas paralel angkatan dia berjumlah 30 orang. Kelas paralel itu ada antara lain guna memberikan subsidi silang kepada mahasiswa kelas reguler.
Elvansyah pernah selama dua tahun bekerja sambilan untuk menambah pengalaman dan belajar mencari uang sendiri.
Bantuan dosen
Menghadapi mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah, ada juga dosen yang mencarikan beasiswa buat mahasiswanya. Salah satunya Sri Irtawijayanti, dosen Jurusan Tata Rias Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.
”Waktu itu ada mahasiswa tunarungu, tetapi pandai, yang kesulitan membiayai kuliahnya. Sayang kalau dia sampai putus kuliah,” kata Irta. Dia menambahkan, biaya kuliah apa pun di bidang fashion jelas perlu banyak uang.
Menurut dia, kuliah di jurusan tata rias dapat sangat memberatkan karena mahasiswa harus memiliki perlengkapan dandan, seperti make up lengkap dan segala macam kuas. Belum lagi setiap semester mereka harus membayar model.
”Untung saja banyak mahasiswa saya pandai mencari uang sendiri sejak semester III. Mereka menjadi beauty blogger dan vlogger yang mempunyai kanal pribadi di Youtube, berjualan make up daring, sampai menjadi make up artis. Intinya, semahal apa pun kuliah, selalu ada jalan. Asal jangan gampang menyerah,” tutur Irta yakin. (TIA)