Pertemanan di zaman sekarang, khususnya buat anak muda, berarti menjalin relasi di dua dunia. Satu di dunia fisik, satu di dunia maya. Hanya saja, akhir-akhir ini, seringkali pertemanan bertahun-tahun kandas dalam waktu singkat hanya karena baper (bawa perasaan) akibat unggahan di media sosial. Istilahnya, baper dahulu, menyesal kemudian.
Baper di media sosial akibat postingan teman sebenarnya tidak akan begitu masalah jika hanya selesai di dunia maya, dan segera dibicarakan baik-baik. Hanya saja, seiring makin mendominasinya penggunaan medsos, persoalan sindir menyindir, saling nyinyir, dan baper bisa panjang urusannya. Baper dan perang di dunia maya, bisa menghentikan pertemanan di dunia nyata.
Medio 2017, Shania Soetjipto kaget ketika dikirimi pesan yang dikirim oleh rekannya. Salah satu isi pesan tersebut adalah Shania dianggap sombong. Alasannya, Shania meng-unfollow akun instagram rekannya tersebut.
Padahal, Shania sengaja meng-unfollow akun temannya tersebut karena tidak pernah mengunggah foto. Shania berpikir, meng-unfollow akun yang tidak aktif tidak akan bermasalah. Apalagi dilihat dari postingannya, akun tersebut sudah tidak aktif sejak November 2016.
“Lalu, dia enggak terima dan malah menjustifikasi bahwa aku saat ini orang yang sombong. Saya pun kaget dan tidak terima,” tambah Shania. Apalagi, Shania menceritakan, akun yang dia unfollow itu hanya digunakan untuk melihat dan mencari informasi dari akun orang lain. Stalking istilah medsosnya. Menurutnya, hal ini terlalu didramatisasi.
Dia akhirnya menjelaskan kronologis dan semua permasalahannya hingga rekannya tersebut tidak merasa baper lagi. “Tapi sekarang sudah aku unfollow lagi. Permasalahannya mudah, tapi kok dipersulit ya.”
Pengalaman tidak jauh berbeda dialami Chandra Adi Kusuma. Bedanya, Chandra ikut baper akibat kebaperan temannya. Mahasiswa jurusan Public Relations Universitas Multimedia Nusantara ini baper karena di-unfollow oleh teman dekatnya dari SMA.
Chandra menceritakan, ketika itu, seorang rekannya sedang depresi karena suatu permasalahan. Sebagai teman yang baik, dia pun mencoba mendampingi dan berusaha selalu ada ketika temannya ingin curhat. Namun, dia dijauhi saat sekali waktu selip lidah saat membicarakan permasalahan hidup rekannya tersebut.
“Akan tetapi yang saya sesalkan adalah karena usaha saya tidak dihargai sama sekali. Kenapa harus di-unfollow? Padahal kan masih bisa diselesaikan dengan baik. Saya sempat mencoba berkomunikasi dengan dia, tapi enggak berhasil hingga akhirnya sudah tidak pernah bertemu lagi,” terang Chandra.
Dari pengalamannya itu, Chandra menyimpulkan, aksi unfollow akun media sosial itu tidak menyelesaikan masalah. Akan tetapi, malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Hal itu juga menunjukkan ketidakdewasaan dalam berteman atau bermedia sosial.
“Itulah permasalahan dalam dunia media sosial, yang ternyata bisa sampai bawa perasaan. Kita terpengaruh dari efek negatif media sosial, dan seharusnya sebagai anak muda yang sudah dewasa, kita bisa bijaksana dalam menggunakan media sosial. Unfollow bisa membuat pertemanan berakhir,” tambah Chandra.
Emosi menular
Bermain media sosial memang gampang-gampang susah. Jika tidak mampu menyeimbangkan emosi, efeknya bisa kemana-mana. Dari sekadar marah, bahkan bisa berujung ke tindakan ekstrem.
Sebuah riset yang dilakukan sejumlah peneliti yang diterbitkan dalam Jurnal Proceeding of National Academy of Sciences, dan dilansir Scientific American menemukan, emosi berpeluang besar menular melalui media sosial. Bahkan, hal itu bisa terjadi hanya dengan menatap postingan orang lain, tanpa interaksi lewat komentar, atau berbalas pesan dengan pihak lain.
Penelitian yang diumumkan pada 17 Juni 2014 tersebut mengambil sampel sebanyak 689.003 pengguna aplikasi jejaring pertemanan Facebook. Saat postingan positif dihapus dari layar mereka, maka unggahan bernuansa positif para responden yang tidak mengetahui jika sedang diteliti ini juga berkurang. Begitupula sebaliknya, ketika postingan negatif dihapuskan, maka jumlah unggahan bernuansa negatif juga berkurang.
Penelitian ini juga menekankan bahwa meski tanpa interaksi antar orang per orang, hanya dengan melihat postingan, maka emosi orang yang melihatnya akan terdampak. Barisan kata-kata di media sosial begitu berpengaruh terhadap emosi seseorang.
Oleh sebab itu, kedewasaan dan kematangan berpikir diperlukan bagi siapa saja yang rutin berinteraksi lewat media sosial.
Pradini Anjar Agustin, Mahasiswi FISIP Universitas Jember mengungkapkan, dirinya berusaha menahan diri dan bersikap santai ketika membuka media sosial. Memang, tidak jarang dia gemas dengan postingan rekannya yang terkadang tidak dilandasai kematangan berpikir. Terlebih ketika membahas tentang politik.
“Sampai baper sih nggak pernah. Emosi iya kalau apa yang ditulisnya benar-benar tidak sesuai realita. Kalau aku melihat postingannya kelewat batas, aku akan komentar, nanya baik-baik. Maksud dari positngannya apa? Intinya, aku pengen tahu fokus utama dari statunya itu apa?” tutur Pradini.
Agar tidak berlarut-larut, Pradini tidak ingin mengambil pusing terhadap postingan yang selalu negatif, atau nyinyir. Apalagi jika dia mengatahui watak dari rekannya memang sering berlaku seperti itu. “Pokoknya nggak mau ganggu dan ngerugiin orang lain aja.”
Media sosial memang pedang bermata dua. Sudah saatnya membanjiri halaman media sosial kita dengan konten positif dan inspiratif. Sebab, jangan menunggu sampai, “karena baper setitik, rusak pertemanan selamanya”. (*)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.