Jangan Anggap Remeh Tuberkulosis
JAKARTA, KOMPAS – Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah besar di Indonesia karena ketidakpahaman masyarakat terhadap penyakit tersebut. Penderita masih mengulur waktu pengobatan atau tidak teratur dalam berobat sehingga bakteri menjadi kebal obat dan sulit disembuhkan. Karena itu, perlu peningkatan kesadaran masyarakat dan deteksi dini.
Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dalam jumlah kasus tuberkulosis (TB).
Di Indonesia, pasien TB mencapai 647 kasus setiap 100.000 orang dengan jumlah kasus baru mencapai 1.000.000 juta per tahun. Angka kematian TB mencapai 100.000 orang per tahun.
Indonesia juga memiliki kasus pasien TB yang kebal terhadap obat (multi drug resistant/MDR) yang terbilang tinggi. Sebesar 2,8 persen berasal dari kasus TB baru dan 16 persen dari kasus TB yang pernah diobat sebelumnya.
Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta, misalnya, pada 2014, dari 2.458 pasien dengan gejala TB, ada 442 pasien terkena penyakit TB MDR. Jumlah itu meningkat pada 2015, dari 3.172 pasien dengan gejala TB, sebanyak 446 pasien terkena TB MDR. Kemudian, setiap tahun jumlah pasien TB MDR terus bertambah sekitar 500 pasien setiap tahun.
Kepatuhan jadi kunci
Dokter ahli paru dari RSUP Persahabatan, yang juga Wakil Ketua Komite Ahli Tuberkulosis, Erlina Burhan, mengatakan, kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan secara teratur selama enam bulan menjadi kunci keberhasilan penyembuhan pasien TB. Jika hal tersebut tidak dilakukan, bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ada pada pasien akan semakin kebal.
“Kalau tidak selesai minum obat, bakteri akan bermutasi menjadi bakteri kebal obat. Obat lama sudah tidak mempan lagi, harus obat yang lebih keras. Pengobatan pun bertambah menjadi 20 bulan,” ujar Erlina dalam peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia, di kantor Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Pulo Gadung, Jakarta Timur, Jumat (23/3).
Pada pasien TB yang rutin berobat selama 9 bulan tanpa putus, mereka memiliki peluang sembuh mencapai 80 persen. Namun, jika putus berobat seperti pasien TB MDR, tingkat kesembuhan menurun menjadi hanya 50 persen.
Menurut Erlina, tingkat kesembuhan menjadi kecil karena banyak pasien tidak kuat menahan efek samping dari obat yang diberikan, seperti mual, sendi otot sakit, dan halusinasi. Dosis obat yang diberikan untuk pasien TB MDR memang lebih keras dibandingkan untuk pasien TB biasa.
“Sudah lama pengobatannya, pasien juga tidak kuat menahan efek smaping, jadi putus di tengah jalan. Mereka terkadang memilih berhenti. Padahal, kalau lapor ke dokter, mereka bisa dibantu mengatasi efek sampingnya,” ucap Erlina.
Menurut Erlina, perlu penguatan dalam pendeteksian dini dan juga kesadaran semua pihak untuk ikut membantu menurunkan kasus TB. Apalagi, seperti diketahui, penyakit TB dapat berubah menjadi TB MDR apabila tidak segera diobati.
“Karena harus segera diobati. Pasien TB MDR juga bisa menularkan langsung bakteri TB MDR, bukan TB biasa lagi,” ujarnya.
Adapun, angka deteksi kasus masih rendah sebesar 32 persen dengan kasus hilang mencapai 67 persen. Kasus hilang tersebut bisa disebabkan pasien belum tercatat atau tidak ditemukan setelah berobat.
Erlina mengatakan, kasus hilang terjadi pada pasien yang berobat di klinik dan rumah sakit swasta. PDPI sudah 10 tahun melakukan kerja sama dengan para dokter paru agar mau melaporkan kasus kejadian TB kepada dinas kesehatan setempat.
“Jadi ada pasien yang sudah didiagnosis TB tetapi tidak berobat, ada yang berobat tetapi tidak selesai. Ada yang sudah berobat sampai selesai, tetapi tidak dilaporkan. Jadi memang harus dipantau terus oleh puskesmas setempat karena demografi Indonesia sanga luas dan pelaporan terbatas,” ujarnya.
Butuh motivasi
Ketua Umum Pengurus Pusat PDPI Agus Dwi Susanto mengatakan, kelompok masyarakat dan keluarga sangat penting dalam upaya pencegahan TB dan TB MDR. Pasien membutuhkan motivasi agar dapat menjalani pengobatan sampai tuntas.
“Kelmpok ini bisa membantu masyarakat-masyarakat yang belum sakit tetapi ada gejala untuk periksa dini. Aspek detiksi dini gejala sering batuk, berat badan turun, diperiksakan ke dokter agar pengobatan lebih awal dan cepat disembuhkan,” tutur Agus.
Salah satu mantan pasien TB MDR, Binsar Manik, mengatakan, penyakit TB tidak dapat diremehkan. Awalnya, ia mengidap TB pada 1997, namun ia tidak menuntaskan pengobatan sesuai yang disarankan dokter selama sekitar 9 bulan. Saat itu ia merasa sudah sembuh, tetapi sekitar satu tahun kemudian, ia didiagnosis terkena TB MDR.
“Saya tidak tahu ternyata meski saya merasa sudah sembuh, karena pengobatan tidak tuntas, bakteri itu masih menempel. Batuk saya makin parah dan berdarah, dan dirujuk ke RSUP Persahabatan,” ujarnya.
Ia menyesal setelah tahu bahwa anaknya yang pertama juga mengidap TB. “Penularan paling dekat adalah keluarga, saya menyesal tidak langsung mengobati sampai tuntas dan malah menularkan ke keluarga saya,” ujarnya.