JAKARTA, KOMPAS - Fasilitas kesehatan memiliki peran sangat besar mendorong bayi baru lahir untuk mendapatkan air susu ibu eksklusif. Sayangnya, peran ini belum optimal dan perlu terus didorong. Untuk itu, rumah sakit perlu mengimplementasikan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui.
Di sela-sela acara peringatan pekan ASI sedunia di RSCM Kiara, Sabtu (4/8/2018), Pembina Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) Utami Roesli, mengatakan, pemerintah ingin agar semakin banyak persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Ibu bersalin bisa mendapat dukungan untuk memberikan air susu ibu secara eksklusif kepada anaknya. Namun, jika fasilitas kesehatan tidak sayang ibu dan bayi atau tidak mendukung ibu untuk berhasil menyusui anaknya maka cakupan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif akan sulit dicapai.
“Peran fasilitas kesehatan memang sangat krusial,” ujarnya.
Terdapat 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM) yang merupakan panduan berbasis bukti ilmiah bagi fasilitas kesehatan untuk menjamin bayi mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif ketika dilahirkan, selama di rumah sakit, dan setelah pulang ke rumah. Ke-10 LMKM tersebut adalah adanya kebijakan tertulis pemberian ASI, memberikan pelatihan bagi petugas, menjelaskan manfaat menyusui yang benar, melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menunjukkan teknik menyusui yang benar.
Akan tetapi, ujar Utami, saat ini ada revisi terhadap 10 LMKM. Perubahan itu, antara lain, dijadikannya penerapan Kode Etik Internasional Pemasaran Susu Formula sebagai urutan pertama LMKM. Perubahan ini tidak terlepas dari masih adanya fasilitas kesehatan yang memberikan peluang produsen susu formula untuk mempromosikan produknya sehingga berpotensi mengganggu pemberian ASI eksklusif.
“Percuma saja menerapkan 10 LMKM kalau susu formula masih bisa mempromosikan produknya kepada pasien di rumah sakit,” tegas Utami.
Selain itu, rumah sakit juga harus memiliki pemantauan pemberian ASI eksklusif yang tersistem sehingga terlihat capaiannya. Ini bertujuan agar upaya mendorong ASI eksklusif tidak selalu bergantung pada personal pimpinan rumah sakit tetapi terdapat sistem yang bisa diandalkan. Adapun untuk IMD terdapat dua maksud yaitu kontak langsung ibu-bayi (skin to skin contact) dan proses inisiasi menyusu dininya.
Kemudian tidak memberikan makanan dan atau minuman selain ASI, melaksanakan rawat gabung, membantu ibu menyusui sesering mungkin dan semau bayi, tidak memberikan dot dan atau kempeng serta membina kelompok pendukung ASI.
“Selama ini baru sekitar 8 persen rumah sakit menjalankan 10 LMKM. dari yang delapan persen itu pun baru melaksanakan 8 dari 10 indikator,” kata Utami.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari, banyak program sudah dilakukan untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif. Namun, sejauh ini pencapaian sejumlah indikator terkait itu belum optimal.
Capaian IMD, misalnya. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2017, bayi baru lahir yang mendapat IMD di atas satu jam hanya 6,6 persen atau turun dari tahun 2016 sebesar 9,2 persen. Bayi baru lahir yang mendapat IMD kurang dari satu jam naik dari 42,6 persen tahun 2016 menjadi 51,3 persen tahun 2017. Sedangkan pencapaian bayi 0 - 5 bulan yang mendapat ASI eksklusif masih di bawah 50 persen, yakni 29,5 persen di tahun 2016 naik menjadi 35,7 persen tahun 2017.
Penyebab belum tercapainya sejumlah indikator tersebut, menurut Kirana, sangat kompleks. Salah satunya, berubahnya kebijakan di daerah seiring dengan pergantian personel atau pejabat. Kebijakan pemerintah daerah yang sudah pro ASI eksklusif bisa tidak berlanjut hanya karena kepala daerahnya atau pejabat daerahnya ganti. Hal serupa bisa juga terjadi ketika pengelola program ASI eksklusif dipindah.
Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong fasilitas kesehatan untuk mendukung pemberian ASI eksklusif kepada pasien. Salah satu upaya mendorong fasilitas kesehatan agar mendukung pemberian ASI eksklusif ialah dimasukkannya IMD dan rawat gabung ke dalam indikator dalam akreditas rumah sakit oleh Komite Akreditas Rumah Sakit (KARS). Namun, Kirana mengakui bahwa penilaian dua indikator itu baru berdasarkan catatan medis saja sehingga aspek implementasi lapangan dan pengawasannya perlu ditingkatkan.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan, menyatakan, KARS perlu diajak kerja sama dalam mendorong rumah sakit menjadi rumah sakit sayang ibu dan anak, tidak cukup hanya mengandalkan peran organisasi profesi kedokteran saja. Bahkan, dinas kesehatan di daerah juga perlu bertanggung jawab dalam meningkatkan cakupan ASI eksklusif di daerahnya.
Kirana menambahkan, mulai tahun depan IMD masuk menjadi salah satu indikator pemeriksaan bayi baru lahir pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Harapannya, ini bisa meningkatkan cakupan ASI eksklusif.
Direktur Pengembangan dan Pemasaran RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ratna Dwi Restuti, mengatakan, upaya promotif dan preventif melalui pemberian ASI eksklusif perlu terus digalakkan untuk mencegah kesakitan dan kematian. Sebab, ketika sudah sakit parah maka biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan akan besar dan peluang kesembuhan tipis.