Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi diminta untuk sementara tidak mengeluarkan izin pembukaan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi. Pembukaan fakultas baru tidak menyelesaikan masalah distribusi dokter yang tidak merata, justru memunculkan persoalan mutu dokter yang dihasilkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi diminta untuk sementara tidak mengeluarkan izin baru pembukaan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi. Pembukaan fakultas baru tidak menyelesaikan masalah distribusi dokter yang tidak merata. Pembukaan justru mengancam upaya peningkatan kualitas lulusan dokter.
Permintaan moratorium itu disampaikan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI), dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).
Kemudian Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) dan Majelis Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (MKKGI).
Perwakilan dari setiap lembaga tersebut hadir saat acara pernyataan bersama untuk moratorium fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi di kantor KKI, Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Ketua KKI Bambang Supriyatno mengatakan, pembukaan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi baru tidak akan menyelesaikan masalah distribusi dokter yang tidak merata. Penambahan justru berpotensi memperberat upaya untuk meningkatkan kualitas lulusan dokter yang kompeten. Ini karena jumlah dosen serta sarana dan prasarana yang ada belum sebanding dengan jumlah mahasiswa kedokteran.
Berdasarkan hasil akreditasi fakultas kedokteran di Indonesia pada 2018, dari 87 fakultas kedokteran, 20 fakultas masih terakreditasi C, 45 fakultas terakreditasi B, dan 22 fakultas terakreditasi A. Sementara dari 31 fakultas kedokteran gigi di Indonesia, 16,2 persen terakreditasi C, 51,6 persen terakreditasi B, dan 32,2 persen terakreditasi A.
Bambang melanjutkan, masih banyaknya fakultas kedokteran yang kualitasnya belum memuaskan berimbas pada kualitas dokter yang diluluskan. Dari uji kompetensi calon dokter, 2.700 lulusan fakultas kedokteran terakumulasi tidak kunjung lulus uji kompetensi (retaker). Hasil proses pendidikan yang didapatkan juga cukup lama. Lulusan dokter pada 2018 tercatat sekitar 20.000 orang.
”Sebagian FK (fakultas kedokteran) yang tidak memenuhi syarat merupakan penyumbang utama penumpukan retaker,” ucap Bambang.
Moratorium pembukaan pendidikan kedokteran di perguruan tinggi sebelumnya pernah dilakukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 2016. Pemberhentian sementara ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu sejumlah FK yang terakreditasi C menjadi minimal B (Kompas, 13/6/2016). Namun, moratorium dicabut pada 2017 untuk memperluas layanan kesehatan dan memenuhi kebutuhan dokter di pelosok Nusantara (Kompas, 6/9/2017).
Prosedur pembukaan
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih menilai penerapan prosedur pra-pembukaan FK dan FKG tidak jelas. Selama ini tidak ada alasan yang jelas serta dokumen kebijakan yang kuat terkait peta jalan pendidikan kedokteran yang baik dan benar.
”Selama alasan pembukaan fakultas baru tidak masuk akal untuk kepentingan nasional, saya dukung adanya moratorium pembukaan fakultas kedokteran baru,” ucapnya.
Menurut dia, alasan pembukaan fakultas baru untuk memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia tidak relevan. Berdasarkan perhitungan dari Kementerian Kesehatan justru menunjukkan jumlah dokter sudah melebihi target.
Saat ini, sudah ada sekitar 50,2 dokter per 100.000 penduduk, sedangkan target yang ditetapkan 45 dokter per 100.000 penduduk.
”Permasalahan utama adalah pemerataan penyebaran dokter di seluruh tanah air. Masalah inilah yang seharusnya dicarikan solusi bersama. Menambah jumlah lulusan dengan membuka FK baru bukan solusi. Apalagi dengan pembukaan institusi pendidikan yang kurang bermutu, baik dari aspek struktur, proses, output, maupun outcome,” katanya.
Negara lain
Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Mahmud Ghaznawie melihat pembukaan fakultas kedokteran di Indonesia lebih mudah jika dibandingkan negara lain, seperti Malaysia. Di negara lain, untuk membuka fakultas kedokteran, harus terlebih dulu memiliki fasilitas laboratorium, sumber daya manusia, serta sarana dan prasana pendukung lain.
”Kalau izin operasional sudah keluar padahal kualitas kurang baik tentu akan menjadi beban AIPKI sebagai pembina pendidikan kedokteran. Selama ini, pembukaan fakultas baru tidak sesuai aturan, rekomendasi dari Kementerian Kesehatan belum ada tetapi sudah diizinkan oleh Dikti. Ini masalah,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Pengembangan Kelembagaan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ridwan tidak berkomentar banyak terkait desakan tersebut. ”Kami akan bahas isu ini segera,” katanya.