JAKARTA, KOMPAS – Peran tenaga kesehatan untuk mendorong pemberian asi susu ibu eksklusif pada bayi baru lahir belum optimal. Padahal, tenaga kesehatan punya pengaruh besar untuk mendorong pemberian asi pada bayi, terutama pada inisiasi menyusu dini yang dilakukan setelah persalinan.
Berdasarkan data layanan maternitas pada Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi inisiasi menyusu dini (IMD) pada anak usia 0-23 bulan sekitar 58,2 persen dari sekitar lima juta bayi yang lahir tiap tahun. Bahkan, IMD yang berlangsung setidaknya selama 1 jam hanya 15,9 persen.
Satuan Tugas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Wiyarni Pambudi Jakarta, Jumat (2/8/2019), mengatakan, tenaga kesehatan pro asi (air susu ibu) sangat berpengaruh pada keberhasilan IMD, khususnya pada ibu yang melahirkan di layanan kesehatan.
"Yang pertama kali ditemui oleh ibu melahirkan adalah tenaga kesehatan. Jika tenaga kesehatan tidak mendukung pemberian asi secara penuh, ibu ini bisa terpengaruh untuk tidak langsung memberikan asi ke bayinya,” ujar.
Setidaknya ada tujuh hal yang harus dilakukan tenaga kesehatan pro ASI untuk memastikan bayi mendapatkan ASI eksklusif, mulai dari bayi dilahirkan, di rumah sakit, dan pulang ke rumah.
Hal itu antara lain, memberikan edukasi manfaat menyusui sejak masa kehamilan 28 minggu, menyiapkan ibu untuk melakukan posisi pelekatan dalam pemberian IMD, membantu proses menyusui selama di fasilitas kesehatan, serta mendukung dan memastikan ASI ekslusif tetap diberikan.
Wiyarni mengungkapkan, IMD memberikan banyak keuntungan baik bagi bayi maupun ibu. Melalui IMD, bayi bisa mendapatkan kolostrum dan bakteri baik dari kulit ibu, denyut bayi dan pernapasan bayi juga lebih stabil setelah dilahirkan.
Dalam jangka panjang, durasi bayi pun lebih panjang daripada bayi yang tidak mendapatkan IMD. Sementara itu, keuntungan yang didapatkan ibu antara lain, mengurangi risiko pendarahan setelah melahirkan karena lebih rileks. Produksi ASI pun bisa lebih berkualitas.
Menurut Wiyarni, kompetensi yang dimiliki tenaga kesehatan pro asi belum optimal. Hal ini juga yang memengaruhi pengetahuan ibu dalam memberikan IMD masih rendah. Kebanyakan ibu tidak memberikan IMD karena masih merasa khawatir dan tidak percaya diri.
"Tidak sedikit juga ibu yang lelah setelah melahirkan jadi enggan melakukan IMD. Pengetahuan terkait pentingnya IMD ini seharusnya bisa disampaikan oleh nakes,” kata dia.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari menyampaikan, berbagai program untuk meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif telah dilakukan oleh pemerintah. Berbagai regulasi pun sudah diatur untuk mendukung hal itu meski hasilnya belum optimal.
Ia mengatakan, fasilitas kesehatan secara rutin sudah diminta untuk melaporkan keberhasilan menyusui yang dicapai. Sudah ada 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (LMKM) yang bisa dijadikan pedoman bagi fasilitas kesehatan untuk menjamin bayi mendapatkan ASI eksklusif.
Pedoman ini di antaranya, pemberian pelatihan bagi petugas, pelaksanaan IMD, serta petunjuk teknis dalam menyusui yang benar. “Berbagai tantangan masih dijumpai. Implementasi kebijakan serta monitoring dan evaluasi terkait menyusui memang belum optimal," kata Kirana.
Untuk itu, menurut Kirana, penerapan 10 LMKM di seluruh fasilitas kesehatan lebih diperkuat melalui koordinasi dan kerjasama dengan asosiasi dan organisasi yang mendukung pemberian ASI. "Program ini juga masuk dalam indikator akreditasi rumah sakit,” kata Kirana.