Menjemput Kebebasan, Mengantar Kebahagiaan
Pembebasan pasung atau kurungan bagi penderita skizofrenia dan pemulangan mereka setelah dirawat terus dilakukan. Namun, setelah pemulangan, mereka harus minum obat sepanjang hidup sehingga harus dikontrol keluarga.
JAKARTA, KOMPAS — Pembebasan pasung atau kurungan bagi penderita skizofrenia dan pemulangan mereka setelah dirawat terus dilakukan. Namun, setelah pemulangan, mereka harus minum obat sepanjang hidup sehingga perlu dikontrol keluarga, apalagi stok obat antipsikotik di puskesmas kerap kosong.
Pemasungan pun dialami Maryati (22). Ia rebahan dengan kaki tertekuk. Bukan karena ingin, tapi terbentur dinding ”kandang”-nya yang ada di pojok dapur rumah kakaknya di Kampung Pasir Haur, Desa Sukaresmi, Kadupandak, Cianjur. Tubuhnya telanjang, hanya tertutup selembar kain batik yang menyelimuti hingga wajahnya.
Sudah lebih dari tiga tahun Maryati dipasung dalam kurungan berukuran 1,5 x 1 x 1,8 meter. Meski tangan dan kakinya tak terikat, hanya di tempat kecil itulah dia beraktivitas dan menghabiskan waktunya, mulai dari makan, tidur, hingga buang air besar.
Saat tim pembebasan pasung dari sukarelawan Istana KSJ (Komunitas Sehat Jiwa) Cipanas, Cianjur, bersama aparat pemerintahan setempat menyapanya, Kamis (3/10/2019), Maryati hanya diam. Padahal, beberapa orang yang datang itu sudah ia kenal karena pernah beberapa kali menengoknya. Bahkan, saat mereka membuka kunci dan pintu kurungan, Maryati tetap diam.
Berbagai rayuan agar Maryati bangun dari rebahannya tak dihiraukan. Akhirnya, Jajang Rahman dari Istana KSJ masuk dan mengangkatnya. Kecilnya pintu membuat tubuh Maryati harus dioper ke kakak keduanya, Atep (36), yang menunggu di luar pintu kurungan.
Maryati kemudian didudukkan di lantai dapur yang terbuat dari kayu. Rambutnya acak-acakan dan menggimbal. Saat kain yang menutupi wajahnya disingkap, ia terus menutupi mukanya. Beberapa kali ia berteriak dan mengatakan lieur alias pusing atas situasi yang berubah tiba-tiba.
Kakak pertama Maryati, Siti (39), dan tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) Kadupandak, Nuni Yunani, pun segera mengenakan baju dan kerudung untuknya. Sadar didandani, Maryati pun beberapa kali bertanya hendak dibawa ke mana. Nuni pun menjawab bahwa Maryati hendak diajak piknik ke kota.
Saat keluar rumah pun, Maryati mengaku masih pusing. Saat diminta jalan, Maryati terlihat limbung. Wajar, mengingat otot kakinya sudah lama tidak digunakan. Karena itu, Atep langsung menggendong Maryati di punggungnya. Terlebih, jalanan dari rumah menuju tempat parkir mobil yang berupa jalan setapak dipastikan sulit dilalui jika Maryati berjalan dengan dipapah.
Ketika Maryati sampai di mobil yang akan membawanya menuju Istana KSJ di Cipanas, air mata Siti tak terbendung. Beberapa kali, ia mengusap matanya dengan ujung kerudungnya sembari mengelus kepala adiknya.
Tak lupa ia menasihati Maryati untuk sabar, banyak berdoa, dan memohon ampun kepada Tuhan. ”Sejak dulu saya ingin punya adik perempuan. Namun. saat punya adik, dia sakit seperti ini,” katanya sambil berderai air mata.
Sejak dulu saya ingin punya adik perempuan. Namun, saat punya adik, dia sakit seperti ini.
Pilihan berat
Keputusan mengurung Maryati adalah pilihan berat bagi keluarga. Di satu sisi, mereka kasihan. Namun, di lain pihak, mereka juga khawatir Maryati akan merusak barang atau membahayakan orang lain. Belum lagi, Maryati juga sering marah-marah kepada ibu mereka. Perilaku itu ditunjukkan sejak Maryati remaja dan makin parah sejak ia diceraikan suaminya akibat penyakitnya.
”Ya, harus bagaimana? Kami tak punya pilihan,” tambah Atep. Di masyarakat, pemasungan sering dianggap sebagai wujud kasih sayang keluarga bagi penderita skizofrenia agar mereka tidak jauh-jauh, tidak mengganggu, dan tidak diganggu orang lain. Namun, sayang itu terungkap dengan cara yang keliru.
Keluarga sebenarnya sudah membawa Maryati ke lebih dari 10 tabib di sekitar Cianjur. Sawah dan kebun pun sudah dijual untuk ongkos berobat. Namun, Maryati tak kunjung sembuh. Berobat ke dokter juga bukan menjadi pilihan. Selain tidak terpikirkan, mereka juga khawatir dengan biayanya.
Saat mobil tim dari Istana KSJ berangkat meninggalkan Pasir Haur, keluarga Maryati pun melambaikan tangan. Doa mereka panjatkan agar Maryati bisa segera pulang dan sembuh.
Rasa haru juga dialami keluarga Etin (30-an), perempuan penderita skizofrenia yang menghabiskan lebih dari separuh umurnya di pasungan. Namun, haru yang dialami keluarga Etin itu berbeda karena Rabu (2/10/2019), Etin yang sudah dua bulan menjalani perawatan di Istana KSJ pulang ke rumahnya.
Saat mobil yang membawa Etin tiba di depan rumahnya di Kampung Cinangsi, Desa Margasari, Naringgul, Cianjur, sang ibu, Erat (50-an), langsung menyambutnya dengan bahagia. Kepala dan pipi anak perempuan pertamanya itu terus-terusan dibelainya. Dibimbingnya Etin yang berjalan dengan kaki tertekuk ke dalam rumah.
Etin pun menunjukkan sikap yang sama seperti ketika ditemui di Istana KSJ, duduk meringkuk dengan kaki tertekuk dan bersandar pada tembok. Tatapannya tetap kosong ke satu titik sambil jemari tangannya mengatup pada jari tangan yang lain.
Namun, saat ditanya ibunya, responsnya sedikit berbeda. Beberapa jam sebelumnya, saat Kompas bertanya kepadanya, jawaban yang keluar hanya hoyong atau ingin saat ditanya apakah ingin pulang ke rumah dan duka atau tidak tahu untuk pertanyaan lainnya. Demikian pula ketika petugas Puskesmas Naringgul yang turut menyambut kedatangannya menanyakan kabarnya.
Saat ibunya bertanya, jawaban Etin lebih beragam meski tetap terbatas. Kondisi Etin saat itu dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya saat Etin dibebaskan dari pasung, terutama soal kebersihan badan. ”Kalau soal bahagia, perasaan saat ini jauh lebih besar dari bahagia,” kata Erat mengungkapkan perasaannya.
Namun, air mata Erat tak terbendung saat teringat bapak Etin yang entah ada di mana dan tak mau mengurus Etin yang sakit. Sang ibu dan adik Etin-lah yang akhirnya harus mengurus Etin. Belum lagi, mereka harus mengurus juga kakek Etin yang sudah tua dan sakit.
Tanggung jawab
Petugas Puskesmas Naringgul, Anggi Permana, berharap, setelah kepulangan Etin, keluarga lebih memperhatikannya, mulai dari memastikan obatnya diminum, diajak berbicara, dan tidak dibiarkan sendiri untuk waktu lama. Membaiknya kondisi kejiwaan Etin perlu diimbangi dengan latihan fisik hingga Etin yang sebelumnya terbiasa dalam ”kurungan” bisa aktif kembali.
Penyerahan Etin oleh tim Istana KSJ membuat perawatan Etin menjadi tanggung jawab sepenuhnya keluarga. Hal ini adalah persoalan besar, mengingat perawatan penderita skizofrenia butuh kesabaran dan konsistensi, khususnya memastikan mereka tidak terlambat minum obat.
Semua itu menuntut tekad kuat keluarga penderita skizofrenia karena tantangan yang mereka hadapi besar. Selain penerimaan lingkungan, mengakses obat antipsikotik di puskesmas juga butuh upaya ekstra. Selain jarak menuju puskesmas dari rumah penderita skizofrenia yang umumnya jauh akibat medan yang sulit, berkisar 1-1,5 jam, obat juga sering kali tak tersedia.
”Sudah empat bulan terakhir, obat-obatan antipsikotik di puskesmas kosong,” kata perawat Puskesmas Kadupandak, Ariswandi Sugianto. Padahal, di wilayah Kadupandak ada 46 penderita skizofrenia.
Situasi itu membuat perawatan penderita skizofrenia tidak bisa diserahkan hanya kepada keluarga atau masyarakat sekitar. Tanggung jawab pemerintah pun dituntut. Hanya dengan kepedulian dan kesadaran bersama, penderita skizofrenia bisa tetap sehat, produktif, serta bermanfaat bagi diri dan sekitarnya.