Terobosan bidang kesehatan terus dilakukan, salah satunya dengan mengembangkan obat bioteknologi bagi pasien ginjal kronis. Obat ini diharapkan mampu bekerja lebih efektif dan aman dikonsumsi pasien.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Kalbe Farma Tbk tengah mengembangkan obat bioteknologi untuk terapi anemia pasien ginjal kronis. Dengan obat ini, pasien bisa melakukan cuci darah dengan jeda waktu yang lebih lama.
Obat bioteknologi paten Efepoetin Alfa (EPO-HyFc) ini dikembangkan PT Kalbe Farma Tbk melalui anak perusahaan Kalbe-Genexine Biologics. Saat ini, pengembangan obat Efepoetin Alfa sudah memasuki uji klinik fase III. Dalam fase ini, obat akan dipastikan memiliki efektivitas dan aman untuk dikonsumsi.
Kepala Badan POM Penny K Lukito mengapresiasi langkah Kalbe Group yang mau terus berinovasi dan produktif melakukan riset, termasuk mengembangkan obat menggunakan teknologi tinggi, seperti produk bioteknologi ini. Hal ini akan terus didorong oleh Badan POM pada industri farmasi. ”Obat bioteknologi ini menjadi inovasi pertama di Indonesia. Sebuah langkah maju bagi kita,” katanya, di Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Presiden Komisaris PT Kalbe Farma Tbk Irawati Setiady mengungkapkan, Efepoetin Alfa merupakan hasil kerja sama dengan Genexine Inc asal Korea Selatan sejak 2016. Badan POM sendiri selama ini turut mendampingi secara intensif, setidaknya dalam setahun terakhir.
”Kami berharap penelitian ini dapat menginisiasi lebih banyak lagi penelitian untuk obat baru yang memberikan kontribusi bagi peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia,” katanya.
Menurut Ira, Efepoetin Alfa ini sebenarnya dipergunakan untuk pasien-pasien anemia yang melakukan cuci darah. Dengan produk ini, diharapkan pasien yang melakukan cuci darah berkali-kali dalam sebulan bisa diperpanjang jedanya menjadi satu kali dalam sebulan.
Uji klinik fase III secara global dengan produk yang diproduksi di Indonesia melalui PT Kalbio Global Medika (KGM) akan melibatkan 386 subyek dari 50 institusi. Institusi tersebut terdapat di enam negara, yakni Indonesia, Australia, Taiwan, Filipina, Thailand, dan Malaysia. ”Ini pertama kami melakukan uji klinik fase ketiga sekaligus mengoordinasi enam negara. Sebelumnya kami hanya menjadi partisipan. Dalam uji klinis ini kami juga akan melibatkan pasien Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Efepoetin alfa telah melewati uji preklinis, uji klinis fase I, dan fase II dengan hasil yang telah diakui secara internasional. Sebagai gambaran, fase preklinis adalah uji klinik yang harus dilalui dalam proses pengembangan obat paten.
Adapun untuk uji klinik fase I dilakukan pada manusia sehat. Hal ini bertujuan untuk menentukan rentang dosis yang aman. Uji klinik fase II dilakukan pada penderita dengan jumlah terbatas untuk melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk pengobatan.
Uji klinik fase III dilakukan pada penderita untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar-benar memiliki efektivitas dan aman untuk digunakan. Uji klinik selanjutnya adalah uji klinik fase IV, yaitu pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.
Menurut Ira, nantinya Efepoetin Alfa akan dipasarkan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga negara lain. Khususnya kepada keenam negara partisipan. ”Jadi, kita tidak hanya menggunakan produk impor. Kita juga bisa lakukan ekspor produk farmasi,” katanya.