Penyelidikan Pneumonia di Kabupaten Kapuas Belum Tuntas
Meninggalnya seorang anak berusia tiga tahun akibat pneumonia di Kabupaten Kapuas belum diselidiki tuntas. Pihak rumah sakit dan dinas kesehatan di daerah itu belum bisa memastikan apakah ada virus lain yang mendera.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Meninggalnya seorang anak berusia tiga tahun akibat pneumonia di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, belum diselidiki sampai tuntas. Pihak rumah sakit dan dinas kesehatan di daerah itu belum bisa memastikan apakah ada virus lain yang menjadi penyebab pneumonia tersebut.
Anak berinisial A itu meninggal pada Desember tahun lalu. Dari diagnosis terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah dr H Soemarno Sosroatmodjo, anak tersebut meninggal karena syok sepsis (peradangan seluruh tubuh) pneumonia.
Kondisinya diperparah karena terpapar Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus atau MRSA. MRSA merupakan bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Hal itu menyebabkan empat perawat dan tiga dokter di rumah sakit itu terpapar MRSA. Namun, karena cepat ditangani, saat ini ketujuh orang tersebut sudah steril dari MRSA.
Untuk memastikan itu, kami tidak bisa sendiri. Kami harus ke desa dan melakukan pemeriksaan, menggali informasi mulai dari keluarga hingga ke desa-desa. Itu, kan, butuh biaya besar.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Tri Setia Utami menjelaskan, pasien anak yang meninggal karena pneumonia masih diselidiki hingga kini. Pihaknya belum memastikan apakah kematian anak tersebut karena pneumonia tunggal atau karena ada virus lain.
”Informasi yang kami dapat, anak ini tinggal dengan kakek dan neneknya karena orangtuanya bekerja. Anak ini dititip. Namun, kami sedang menggali informasi lain,” kata Tri saat dihubungi dari Palangkaraya, Rabu (5/2/2020).
Tri menambahkan, pihaknya berkonsultasi ke Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kementerian Kesehatan untuk melakukan tindak lanjut. Dengan alasan tidak ada sumber daya manusia yang mumpuni dan anggaran kurang, penyelidikan hingga kini belum selesai.
”Untuk memastikan itu, kami tidak bisa sendiri. Kami harus ke desa dan melakukan pemeriksaan, menggali informasi, mulai dari keluarga hingga ke desa-desa. Itu, kan, butuh biaya besar,” ujar Tri.
Menyelidiki lebih jauh
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Suyuti Syamsul mengatakan, pihaknya akan segera memfasilitasi pemerintah kabupaten untuk menyelidiki lebih jauh terkait pasien yang meninggal. Meskipun demikian, ia yakin tak ada virus lain dalam tubuh anak tersebut.
”Kalau hasil lab sudah menunjukkan bahwa itu MRSA, sudah di situ saja, jangan dikembangkan. Kami akan tetap memantau perkembangannya,” kata Suyuti.
Suyuti menjelaskan, pihaknya yakin tidak ada virus lain yang berkembang dalam kasus tersebut. Saat ini pihaknya hanya gencar melakukan sosialisasi terkait bakteri MRSA.
Bakteri Staphylococcus, menurut Suyuti, merupakan bakteri normal yang ada dalam tubuh manusia dan tidak berbahaya. Bahkan, ketika bakteri resisten terhadap antibiotik pun hanya dibutuhkan antibiotik jenis lain yang bisa membunuh bakteri itu.
”Sosialisasinya hanya pola hidup sehat, jadi tidak perlu terlalu khawatir. Selain itu, yang paling penting adalah penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab,” kata Suyuti.
Suyuti menjelaskan, penggunaan antibiotik yang berlebihan bisa menyebabkan bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik. Biasanya, penggunaan antibiotik hanya dianjurkan melalui resep dokter dengan dosis tertentu.
”Misalnya dianjurkan minum obat sampai lima hari, tetapi karena merasa tidak sakit lagi, diminum hanya tiga hari atau malah melebihi anjuran,” kata Suyuti.