WHO Menamakan Penyakit Akibat Virus Korona Baru sebagai COVID-19
WHO menamakan virus korona baru sebagai COVID-19, yang artinya penyakit akibat virus korona yang terjadi tahun 2019. Wabah akibat virus itu sebenarnya telah diprediksi dan diingatkan ilmuwan dari Wuhan sejak awal 2019.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·3 menit baca
GENEVA, KOMPAS — Melalui konsultasi dan kolaborasi dengan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) serta Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), akhirnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi nama penyakit akibat virus korona baru sebagai COVID- 19, kependekan dari coronavirus disease 2019 (penyakit akibat virus korona tahun 2019). Hal itu dikatakan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan, Selasa (11/2/2020), di Geneva, Swiss.
Dalam laporan situasi ke-22 yang dikeluarkan WHO dinyatakan, saat ini semakin banyak bukti kaitan antara virus korona baru dan virus korona (CoV) yang beredar pada kelelawar, terutama kelelawar subspesies Rhinolophus. Hewan itu banyak terdapat di China selatan, Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Penelitian terbaru menunjukkan, lebih dari 500 CoV diidentifikasi pada kelelawar di China.
Penelitian serologi yang dilakukan pada warga pedesaan yang tinggal dekat goa yang menjadi habitat alami kelelawar mengungkapkan, ada 2,9 persen seroprevalensi CoV pada populasi itu. Seroprevalensi adalah tingkat seropositif atau keberadaan antibodi terhadap virus tersebut dalam darah. Hal itu menunjukkan bahwa warga tersebut telah terpapar virus korona dari kelelawar.
Meski demikian, jalur awal transmisi dari kelelawar ke manusia masih belum jelas. Kelelawar jarang terdapat di pasar di China, tetapi diburu dan dijual langsung ke rumah makan.
Jauh sebelum itu, dalam jurnal Viruses, Maret 2019, sejumlah peneliti dari Institut Virologi Wuhan, China, yakni Yi Fan, Kai Zhao, Zheng Li Shi, dan Peng Zhou, menulis kajian tentang virus korona. Kajian itu merangkum pengetahuan terkini tentang keanekaragaman virus, inang reservoir, dan distribusi geografis dari virus korona dari kelelawar di China. Mereka juga memprediksi wilayah ”titik panas” virus tersebut di sejumlah wilayah di China serta potensi penularan lintas spesiesnya.
Menurut para ilmuwan itu, terjadi dua epidemi skala besar akibat virus korona yang bersumber dari kelelawar di China dalam 14 tahun terakhir. Dua epidemi itu adalah sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) tahun 2003 dan sindrom diare akut pada babi (swine acute diarrhea syndrome/SADS) pada 2017. Kedua virus penyebab wabah memiliki karakteristik sama, yakni sangat patogen pada manusia dan ternak, bersumber dari kelelawar, serta berasal dari China.
Karena itu, diprediksi akan terjadi kembali wabah virus korona di China. Para ilmuwan itu mengingatkan pentingnya dilakukan penyelidikan virus korona dari kelelawar untuk mendeteksi tanda-tanda peringatan dini. Dengan demikian, dampak wabah bisa diminimalkan.
Saat ini kelompok ilmuwan China dan eksternal bekerja keras untuk mengidentifikasi hewan penular virus korona baru kepada manusia. Hal tersebut penting untuk mencegah wabah penyakit akibat virus korona pada masa depan serta membantu memahami penyebaran pertama penyakit ini di wilayah Wuhan. Selain itu, meningkatkan pemahaman terhadap virus dan bagaimana virus tersebut menular dari hewan ke manusia.
Untuk menjaga masyarakat dari penyakit zoonotik (ditularkan oleh hewan), meningkatkan pengawasan pangan dan kebersihan pasar menjadi penting.