Efek RUU Ketahanan Keluarga, Dokter Tak Lagi Beri ”Jalan” untuk Surogasi
Dokter di Indonesia tidak lagi bisa memberikan informasi kepada pasien yang ingin melakukan surogasi atau sewa rahim di luar negeri apabila RUU Ketahanan Keluarga disahkan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jika draf Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga nantinya disahkan, dokter tidak lagi bisa memberikan informasi kepada pasien yang ingin melakukan surogasi atau sewa rahim di luar negeri. Padahal, masih ada pasien yang memiliki masalah pada rahim tetapi tetap mendambakan buah hati.
Dokter subspesialis reproduksi endokrinologi dan infertilitas dari Klinik Yasmin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM), Andon Hestiantoro, mengatakan, Indonesia telah melarang pendonoran sperma dan ovum serta surogasi untuk keperluan praktik bayi tabung. Bayi tabung harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah.
”Ada persyaratan medis dan nonmedis yang wajib dipenuhi. Syarat nonmedis adalah dilarang menerima donor sperma/ovum dan surogasi,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa proses kehamilan non-alami harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah. Selain itu, hasil pembuahan sperma dan ovum dari pasangan tersebut harus ditanamkan pada rahim istri. Meski begitu, aturan tentang surogasi di tingkat dunia hingga kini masih menjadi perdebatan. Negara-negara seperti Mesir, Turki, India, bahkan Malaysia masih melakukan praktik tersebut meski dengan aturan yang ketat. Hal ini lantas memicu ketertarikan pasien yang mengalami masalah rahim di Indonesia.
”Malaysia menerapkan, tetapi tidak untuk warga negara Malaysia dan tidak bagi Muslim,” kata Andon.
Andon mengungkapkan, setidaknya ada 1-3 persen pasien yang datang ke Klinik Yasmin karena mengalami kelainan pada rahim. Sekitar 1 persen di antaranya meminta bantuan untuk diarahkan ke pusat layanan kesehatan luar negeri yang bisa melakukan surogasi.
”Pasangan yang meminta rekomendasi surogasi ke luar negeri cukup banyak. Kalau untuk donor sperma/ovum, hampir tidak ada,” katanya.
Sementara itu, Pasal 31 dan 32 Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga juga melarang jual-beli sperma/ovum dan surogasi. Bagi yang melanggar akan diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 500 juta.
Bukan hanya itu, pasal-pasal tersebut juga melarang pihak mana pun untuk membujuk dan memfasilitasi upaya jual-beli sperma/ovum dan surogasi. Pelanggar dapat dikenai pidana penjara maksimal 7 tahun dan pidana denda maksimal Rp 500 juta jika melanggar.
Menurut Andon, jika RUU Ketahanan Keluarga nantinya disahkan, dokter tidak bisa lagi memberikan informasi atau surat pengantar kesehatan bagi pasangan yang ingin melakukan surogasi ke luar negeri. ”Selama ini, kan, kami berikan pengantar dan hasil pemeriksaan. Ke depan, (apabila RUU disahkan) itu tidak diperbolehkan,” katanya.
”Kembali lagi ke orangnya masing-masing. Bagaimana kalau anaknya tahu bahwa ia dikandung oleh orang lain? Kalau saya mendukung (RUU) ini, sih,” katanya.
Tetap dilarang
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, meski donor sperma/ovum dan surogasi dilakukan di luar negeri, hal tersebut tetap dilarang. Sebab, makna dari pelarangan itu pada dasarnya adalah karena tidak adanya ikatan suami istri yang sah dengan pihak ketiga.
Hasto juga menegaskan, tidak ada dokter di Indonesia yang melakukan praktik bayi tabung dengan menggunakan donor sperma/ovum. ”Saya kira di Indonesia sudah banyak yang paham donor sperma/ovum dilarang. Makanya jarang yang minta (donor),” katanya.
Menurut Hasto, sebuah kasus unik pernah terjadi dan menimpa seorang suami yang memiliki dua istri di Indonesia. Kebetulan, salah satu istrinya sudah berusia lanjut, tetapi ingin memiliki keturunan. Si suami lalu meminta diambilkan telur dari istri kedua. Namun, hal tersebut tetap tidak dapat dilakukan. ”Saya pernah menerima pasien yang berkonsultasi seperti itu, tetapi tetap saya tolak,” katanya.
Saat ini, Hasto mengaku belum banyak mempelajari RUU Ketahanan Keluarga. Namun, secara umum ia menilai RUU ini akan semakin memperkuat aturan-aturan yang selama ini sudah ada, termasuk donor sperma/ovum dan surogasi.
Hasto menyadari, banyak orang yang menganggap keluarga adalah unit terkecil dari negara yang tidak boleh diintervensi. Menurut dia, keluarga dapat diberikan intervensi tertentu yang berdampak pada perbaikan sosial dan ekonomi keluarga itu sendiri.
”Bukan intervensi yang bersifat privat. Namun, intervensi untuk menanggulangi kemiskinan, mencegah tengkes, atau meningkatkan kualitas hidup,” katanya.
Hasto meyakini pendekatan kepada keluarga akan lebih efektif ketimbang pendekatan dari orang ke orang. Menurut dia, banyak permasalahan sosial di kalangan masyarakat yang muncul dari keluarga. Misalnya kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang sebagian dilakukan oleh mereka yang berasal dari keluarga broken home.