Kurang Gerak Meningkatkan Risiko Depresi pada Remaja
Perilaku sedentari atau kurang gerak akan meningkatkan risiko depresi pada remaja. Aktivitas meski ringan, seperti berjalan dan melakukan pekerjaan rumah, akan mengurangi risiko depresi pada remaja.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Ada banyak faktor penyebab depresi pada remaja mulai dari konflik baik dengan teman maupun orangtua atau keluarga hingga beban pelajaran di sekolah. Studi terbaru menunjukkan, kurang gerak pada remaja akan meningkatkan risiko depresi saat mereka berumur 18 tahun.
Penelitian yang dilakukan tim Universitas College London (UCL) ini menunjukkan, terlalu banyak duduk (perilaku sedentari) terkait dengan peningkatan depresi berkisar 8-11 persen pada saat remaja (usia 18 tahun). Perilaku sedentari adalah perilaku yang menunjukkan kurang aktivitas fisik atau perilaku yang tidak banyak gerakan.
”Temuan kami menunjukkan bahwa anak-anak muda yang tidak aktif untuk sebagian besar masa remaja mereka menghadapi risiko depresi yang lebih besar pada usia 18 tahun,” kata Aaton Kandola, mahasiswa doktoral dari UCL Psikiatri yang juga penulis studi ini seperti dikutip Science Daily pada 11 Februari 2020. Hasil penelitian ini diterbitkan di jurnal Lancet Psychiatry pada 11 Februari 2020.
Tim peneliti menggunakan data 4.257 remaja di Inggris yang telah berpartisipasi dalam penelitian longitudinal sejak lahir, bagian dari studi kohort yang dilakukan Universitas Bristol, Inggris. Pada anak-anak itu dipasang accelerometer untuk melacak (mengukur) gerakan mereka selama setidaknya 10 jam selama paling tidak tiga hari, pada usia 12, 14, dan 16 tahun.
Anak-anak muda yang tidak aktif untuk sebagian besar masa remaja mereka menghadapi risiko depresi yang lebih besar pada usia 18 tahun.
Tim peneliti menemukan, setiap tambahan 60 menit perilaku sedentari per hari pada anak-anak usia 12, 14, dan 16 tahun berkorelasi positif dengan peningkatan skor depresi, masing-masing 11,1 persen, 8 persen, dan 10,5 persen, saat mereka berusia 18 tahun.
Demikian pula setiap tambahan 60 menit aktivitas ringan (seperti berjalan dan melakukan pekerjaan rumah) per hari pada anak-anak usia 12, 14, dan 16 tahun dalam studi ini berkorelasi positif dengan skor depresi yang rendah pada saat mereka berusia 18 tahun, masing-masing lebih rendah 9,6 persen, 7,8 persen, dan 11,1 persen.
Meskipun demikian, hasil penelitian ini tidak dapat mengonfirmasi bahwa tingkat aktivitas fisik akan menyebabkan perubahan pada gejala depresi. Hal ini karena depresi terkait dengan banyak faktor, antara lain juga terkait dengan status sosial ekonomi keluarga, riwayat kesehatan mental orangtua, dan lamanya waktu memakai accelerometer.
Meski begitu, penelitian ini telah menunjukkan bahwa aktivitas ringan terkait dengan gejala depresi pada remaja saat berusia 18 tahun. ”Banyak inisiatif untuk mempromosikan olahraga pada kaum muda, tetapi penelitian kami menunjukkan aktivitas ringan juga harus mendapat perhatian lebih,” kata Joseph Hayes dari Departemen Psikiatri UCL yang juga penulis senior studi ini.
Apalagi, banyak penelitian menunjukkan, remaja semakin kurang gerak (berperilaku sendentari). Secara umum, aktivitas fisik anak-anak usia 12-16 tahun menurun, terutama disebabkan oleh penurunan aktivitas ringan (dari rata-rata 5 jam 26 menit menjadi 4 jam 5 menit) dan peningkatan perilaku sedentari (dari rata-rata 7 jam 10 menit menjadi 8 jam 43 menit). Dan, penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan, prevalensi depresi pada remaja meningkat dari sekitar 8,7 persen pada 2005 menjadi 11,3 persen pada 2014.
Gejala
Depresi antara lain dapat ditandai dengan sedih, hilang minat, apatis, tidak bersemangat, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, konsentrasi menurun, rasa bersalah, hingga keinginan bunuh diri. Apabila tak tertangani, depresi akan meningkatkan risiko bunuh diri.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, seperti dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, mengatakan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir perilaku bunuh diri karena depresi telah mencapai angka yang kritis.
Secara global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahun karena bunuh diri atau setiap 40 detik ada satu orang yang bunuh diri.
Di Indonesia belum ada angka prevalensi nasional. Laporan WHO pada 2010, angka bunuh diri di Indonesia sekitar 1,6 persen hingga 1,8 persen per 100.000 jiwa. Survei Kementerian Kesehatan 2015 terhadap siswa SMP-SMA menunjukkan, 5,14 persen siswa berpikir ingin bunuh diri, 5,54 persen siswa berencana bunuh diri, dan 2,39 persen siswa pernah melakukan percobaan bunuh diri (Kompas, 10/10/2019).
Hasil studi tim peneliti UCL ini dapat menjadi acuan bagi guru untuk mengintegrasikan aktivitas ringan dalam mata pelajaran. Caranya meliputi antara lain meminta siswa sesekali berdiri atau bergerak ringan di sela-sela pelajaran atau memberikan metode pemelajaran yang menuntut siswa beraktivitas fisik.
”Perubahan kecil di lingkungan kita bisa membuat perilaku sedentari menjadi berkurang,” kata Hayes.