Swadaya Masyarakat Tingkatkan Kesadaran Atasi Tengkes
Target penurunan tengkes tidak akan tercapai jika konsep intervensi penanggulangan masalah itu tidak diterapkan dengan baik hingga ke masyarakat. Hal itu membutuhkan peran serta lembaga swadaya masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanggulangan tengkes atau stunting membutuhkan peran bersama dari semua sektor. Saat ini, peta jalan dan konsep intervensi telah disusun dengan matang. Namun, target penurunan tengkes tak akan tercapai jika konsep itu tidak diterapkan dengan baik hingga ke masyarakat.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan, semua pihak harus bekerja sama agar penanggulangan tengkes bisa dilakukan secara masif. Lembaga swadaya masyarakat paling berperan karena langsung menyasar dan berinteraksi dengan masyarakat.
”Ada empat komponen penting dalam penanggulangan stunting, yakni pola asuh, pola makan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, serta layanan kesehatan. Ini butuh kesadaran penuh masyarakat. Untuk itu, lembaga swadaya masyarakat dibutuhkan dalam upaya edukasi dan pendekatan ke masyarakat,” kata Kirana, saat dihubungi Rabu (26/2/2020), di Jakarta.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 dan Riset Kesehatan Dasar 2018, tren status gizi anak balita mengalami perbaikan. Tren prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita turun dari sebelumnya 19,6 persen menjadi 17,7 persen. Selain itu, prevalensi anak balita pendek dan amat pendek turun dari 37,2 persen menjadi 30,8 persen. Sementara prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus turun dari 12,1 persen menjadi 10,2 persen.
Ada empat komponen penting dalam penanggulangan stunting, yakni pola asuh, pola makan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, serta layanan kesehatan. Ini butuh kesadaran penuh masyarakat.
Meski demikian, pencapaian itu masih jauh dari batas kriteria dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Status gizi kurang dan buruk harus diturunkan menjadi kurang dari 10 persen. Sementara status tengkes atau pendek dan sangat pendek harus diturunkan menjadi di bawah 20 persen serta untuk anak balita kurus dan sangat kurus seharusnya mencapai kurang dari 5 persen.
”Pemerintah menetapkan 260 kabupaten/kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia yang jadi lokus stunting pada 2020. Harapannya, semua pemangku kepentingan, terutama lembaga swadaya masyarakat, bisa bekerja bersama secara terfokus untuk membina upaya penanggulangan stunting di lokasi tersebut,” kata Kirana.
Masih sporadis
Ketua Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat Aisyiyah, Chairunnisa, menambahkan, selama ini lembaga swadaya masyarakat masih bekerja secara sporadis. Padahal, jika koordinasi dan integrasi bisa dijalankan dengan lebih baik antarpemangku kepentingan, penanggulangan tengkes bisa lebih optimal.
Pemerintah telah menyiapkan strategi menurunkan dan mencegah tengkes. Salah satu strategi itu melalui kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku agar warga lebih sadar untuk mencegah tengkes melalui perubahan perilaku.
”Sayang, kampanye dan sosialisasi itu tak merata diterima masyarakat. Karena itu, lembaga swadaya masyarakat punya peran strategis. Kami pun akan mendorong program pemerintah untuk menguatkan kesehatan anak agar siap menghadapi bonus demografi 2045,” kata Chairunnisa.
Menurut anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Intan Fauzi, masalah tengkes bisa mengancam pembangunan nasional di masa depan. Tahun 2020 diprediksi generasi muda saat ini mencapai lebih dari 90 juta jiwa. Sementara tahun 2032 jumlah penduduk produktif diperkirakan sebanyak 64 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.
”Usia produktif di tahun 2030 saat ini berusia 10 tahun ke atas. Artinya harus dibekali sejak dini agar bisa menjadi generasi yang berkualitas dan berdaya saing,” ucapnya.