Dengan pengobatan ARV yang konsisten, keberadaan HIV dalam tubuh penderita pun tersupresi dan masuk dalam kategori ”undetected” atau sangatlah rendah hingga tak terdeteksi. Transmisi kepada anak pun tidak akan terjadi.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
Wajah aktris Atiqah Hasiholan sama sekali tidak menunjukkan rasa khawatir ataupun tegang saat ia harus merelakan ujung jari tengah tangan kirinya ditusuk kecil di depan puluhan orang yang hadir pada Jumat (6/3/2020) siang.
Kurang dari semenit, luka kecil itu sudah terbungkus plester transparan. Atiqah pun langsung menunjukkan telapak tangannya tersebut kepada para wartawan yang berada di sekelilingnya. Untuk pertama kali publik menyaksikan seorang public figure mengikuti sebuah tes HIV di depan umum.
Cukup istimewa, Miss Universe 2015 berkebangsaan Filipina, Pia Wurtzbach, juga menjadi saksi peristiwa unik itu.
”Ternyata simpel dan cepet banget,” ujarnya seraya kembali ke atas panggung auditorium Stella Maris Rumah Sakit St Carolus, Jakarta. Dalam 20 menit, status positif ataupun negatif HIV akan dapat langsung diketahui, tambahnya.
Kehadiran Atiqah dan Pia adalah untuk memperingati Hari Anti Diskriminasi atau Zero Discrimination Day sebagai duta besar UNAIDS (Program Penanggulangan HIV/AIDS Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Turut hadir dalam acara tersebut adalah Kepala Program Penanggulangan HIV-AIDS St Carolus Jakarta Emon Winardi; Kepala Seksi Penyakit Menular, Tular Vektor, dan Zoonotik Dinas Kesehatan DKI Jakarta Murni Luciana Naibaho; serta pasangan suami-istri positif HIV Antonio dan Chani.
Pada 2020, tema yang diangkat dalam Hari Anti Diskriminasi adalah penghapusan stigma yang melekat pada tes HIV. Stigmatisasi yang melekat pada virus dan penyakit ini membuat persoalan sesederhana tes pun menjadi hal yang memunculkan keengganan dari masyarakat.
Padahal, tidak bisa disangkal, tes adalah langkah awal yang penting dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Emon mengungkapkan, segala upaya penanggulangan HIV dan AIDS tidak akan dapat efektif apabila sumbernya tidak dikenali dan kemudian ditangani dengan baik.
Untuk itu, setiap lembaga pelayanan kesehatan harus memastikan bahwa tes yang dilakukan dengan prosedur yang standar dan terjaga kerahasiaannya.
Faktor kerahasiaan menjadi penting karena diskriminasi dan stigmatisasi yang masih melekat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) membuat masyarakat merasa enggan untuk memeriksakan diri masing-masing.
”Kalau hasil tesnya tersebar, ini dapat menyebabkan ada kekhawatiran terhakimi dan dapat terpinggirkan dari lingkungan sekitarnya,” kata Emon.
Untuk itu, pesan-pesan bahwa tes HIV sebagai hal yang biasa, menjadi perlu untuk terus dipromosikan kepada masyarakat. Pia menegaskan, HIV/AIDS tidak membeda-bedakan mangsanya dan siapa pun memiliki risiko tertular.
Saat ini, berdasarkan data UNAIDS, diperkirakan terdapat 640,000 orang yang hidup dengan HIV (ODHA) di Indonesia. Meskipun demikian, dari jumlah tersebut, hanya 55 persen yang mengetahui status HIV mereka, dan hanya 19 persen yang ada mengikuti pengobatan ARV. Dari estimasi 640,000 orang tersebut, sebanyak 36 persen adalah perempuan.
Ada tiga hal kunci, kata Pia, yang perlu dipahami masyarakat mengenai tes HIV, yakni painless (tanpa rasa sakit), free (gratis), dan confidential (rahasia). Dengan mengetahui karakteristik ini, diharapkan masyarakat mau dengan aktif memeriksakan dirinya. ”Jadikan salah satu agenda dalam medical check-up tahunan,” kata Pia.
Pia mengatakan, semakin cepat diketahui bahwa seseorang mengidap HIV, menjadi semakin baik. Ia akan dapat segera meminum obat antiretroviral atau ARV. Melalui pengobatan ARV yang konsisten, perempuan yang hidup dengan HIV dapat hidup sehat, menikah, merencanakan kehamilan, serta mencegah penularan HIV kepada anak.
”Jadi, HIV bukan lagi sebuah death sentence,” kata Pia.
Hal ini bukanlah teori semata, pasangan suami-istri asal Jakarta, Antonio dan Chani, kini sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka. Pasangan ini menikah pada 2017; lima tahun setelah dinyatakan positif mengidap HIV.
Dengan pengobatan ARV yang konsisten, keberadaan HIV dalam tubuh mereka pun tersupresi dan masuk dalam kategori undetected atau sangatlah rendah hingga tidak terdeteksi. Transmisi kepada anak pun tidak akan terjadi.
”Kami bisa lepas kondom dan kemudian memulai program untuk punya anak,” kata Antonio.
Sementara itu, Murni mengatakan, di Jakarta, ada 182 rumah sakit, puskesmas, dan klinik yang mampu melakukan pelayanan tes HIV. Sebanyak 122 di antaranya dapat memberikan perawatan dan pengobatan untuk pasien ODHA.
Berdasarkan kalkukasi pihaknya, diperkirakan ada sekitar 109.000 ODHA di Jakarta, tetapi baru sekitar 64.000 atau 58 persen yang telah dites. Setelah mengikuti pengobatan dengan konsisten, ada 12.222 orang yang HIV-nya telah tersupresi.
”Target kami adalah 90 persen ODHA telah mengetahui status HIV-nya, 90 persennya sudah mendapatkan pengobatan, dan 90 persennya lagi telah mengalami supresi,” kata Murni.
Ancaman kelangkaan ARV
Di sesi tanya-jawab, perwakilan 70 lembaga swadaya masyarakat di bidang HIV/AIDS mengambil kesempatan untuk menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap kelangkaan obat ARV. Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Aditia Taslim, mengatakan bahwa terjadi kelangkaan sejumlah obat ARV di sejumlah daerah di Indonesia.
”Di beberapa kota, pemberian ARV yang biasanya untuk konsumsi satu bulan, kini hanya dijatah untuk tujuh hari,” kata Aditia.
Menanggapi hal ini, Country Director UNAIDS Indonesia Stuart Watson mengatakan, UNAIDS menyerukan kepada pemerintah untuk mengamankan stok obat-obatan ARV untuk ODHA di Indonesia.
”Ketika obat di mana kehidupan Anda bergantung itu memiliki peluang untuk stock out, ini memberikan tekanan hidup yang sangat tinggi dan ini tidak baik untuk kesehatan,” kata Wilson.