Terapkan Teknologi Kesehatan Lingkungan untuk Mengatasi DBD
Setiap musim hujan, kasus sakit dan kematian akibat demam berdarah dengue atau DBD masih terus bermunculan di Indonesia. Dalam dua bulan terakhir, penyakit ini telah merenggut nyawa 82 orang. Bagaimana mengatasinya?
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demam berdarah dengue kembali merebak di sejumlah daerah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, dari 1 Januari sampai 4 Maret 2020, tercatat 14.716 kasus dan 82 di antaranya berakhir dengan kematian. Berulangnya kasus membuat penanganan demam berdarah dengue perlu upaya maju.
Sejauh ini berbagai upaya digiatkan untuk menanggulangi wabah demam berdarah dengue (DBD). Namun, setiap musim hujan, kasus sakit dan kematian akibat penyakit ini masih terus bermunculan. Di beberapa daerah, kasusnya tergolong kejadian luar biasa (KLB). Saat ini, KLB DBD tercatat di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dan Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.
Bagaimana mengatasi masalah yang terus berulang itu?
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan di Jakarta, Jumat (6/3/2020), mengatakan, teknologi kesehatan lingkungan untuk meminimalkan tempat nyamuk Aedes aegypti bertelur dan berkembang perlu diperkenalkan. Teknologi itu perlu diterapkan sesuai kebutuhan daerah.
”Seiring dikenalkannya teknologi kesehatan lingkungan, gerakan pemberantasan sarang nyamuk perlu terus digencarkan,” katanya.
Salah satu sumber penyebaran nyamuk A aegypti yang memicu merebaknya demam berdarah dengue di Sikka, Nusa Tenggara Timur, adalah banyaknya bak-bak penampung air hujan di permukiman warga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Bak-bak itu umumnya tidak dikontrol rutin.
Karena itu, Ede menyarankan dikenalkannya teknologi sederhana untuk penyaringan air dalam bak yang bisa dilakukan masyarakat secara teratur. Teknologi tepat guna itu juga harus mempertimbangkan jika warga hanya memiliki satu bak penampungan.
Sementara itu, sejak demam berdarah dengue dikenal di Indonesia tahun 1960-an, penyakit ini umumnya merebak di perkotaan. Seiring terus bermunculannya kota-kota baru, demam berdarah dengue pun makin menyebar luas.
”Seharusnya, dengan mulai menurunnya frekuensi hujan, masyarakat dan aparat mulai waspada. Terlebih, mereka tinggal di daerah beriklim tropis,” katanya. Lingkungan tropis yang hangat sangat cocok bagi berkembangnya jenis nyamuk apa pun, termasuk A aegypti.
Salah satu teknologi yang perlu diaplikasikan untuk pencegahan nyamuk adalah pemandulan nyamuk A aegypti. Teknik ini juga diterapkan di negara lain, seperti Singapura. Saat nyamuk jantan yang mandul itu mengawini nyamuk betina, maka telur yang dihasilkan tak akan menetas hingga bisa menekan populasi nyamuk penular dengue.
Di Indonesia pun, riset tentang pemandulan nyamuk pemicu demam berdarah itu juga sudah dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Nyamuk A aegypti jantan mandul itu dihasilkan melalui teknik pemandulan serangga dengan diradiasi. Meski sudah diuji di sejumlah daerah, teknik ini belum diaplikasikan secara luas.
Teknologi lain yang bisa mencegah penularan virus dengue adalah dengan memasukkan bakteri Wolbachia ke tubuh nyamuk A aegypti. Wolbachia akan menghambat pertumbuhan virus dengue dalam tubuh nyamuk sehingga nyamuk tidak bisa menularkan virus dengue. Riset yang dilakukan Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini juga belum diaplikasikan secara luas walau sudah diujicobakan di sejumlah daerah.
Selain menerapkan teknologi kesehatan lingkungan, lanjut Ede, penanganan demam berdarah dengue juga harus dilakukan dengan terus membangun kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, termasuk menjaga lingkungannya agar terbebas dari nyamuk A aegypti, baik perumahan, sekolah, pasar, maupun tempat umum lainnya. Agar efektif, upaya itu harus dilakukan menyeluruh hingga menuntut gotong royong seluruh warga.
Di sisi lain, pemerintah daerah perlu proaktif mengantisipasi merebaknya demam berdarah dengue karena peristiwa ini rutin terjadi tiap tahun. Namun, pemerintah daerah selalu mengeluhkan terbatasnya dana promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. ”Promosi kesehatan harus dilakukan kekinian, seperti melalui media sosial yang bisa disebarkan secara gratis,” katanya.