KPK Ungkap Dugaan Inefisiensi Dana Jaminan Sosial Rp 12,2 Triliun
KPK menemukan dugaan adanya kecurangan serta inefisiensi dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, diperkirakan senilai Rp 12,2 triliun. Perlu efisiensi dan disiplin dalam pelaksanaan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan sejumlah rekomendasi terkait dengan pengelolaan dana jaminan sosial dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Melalui rekomendasi tersebut, diharapkan masalah kecurangan atau fraud serta inefisiensi biaya bisa diatasi.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan di Jakarta, Jumat (13/3/2020), mengatakan, jumlah kecurangan serta inefisiensi pembiayaan dari pengelolaan dana jaminan sosial diproyeksi mencapai Rp 12,2 triliun. Biaya ini dinilai menjadi salah satu penyebab besarnya defisit yang dialami oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
”Selama ini defisit BPJS Kesehatan terus meningkat. Melalui rekomendasi dari KPK, diharapkan masih ada opsi lain yang diambil secara struktural untuk menghilangkan defisit selain dengan menaikkan iuran,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan Kompas, Rabu (11/10/2019), tanpa adanya bauran kebijakan, defisit pada pembiayaan BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 39,5 triliun pada 2020. Jumlah itu bisa meningkat menjadi Rp 50,1 triliun (tahun 2021) hingga Rp 77 triliun (tahun 2024).
Pahala menuturkan, ada enam rekomendasi yang diberikan oleh KPK dalam upaya pembenahan pengelolaan dana jaminan sosial. Pertama, percepat penyusunan pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK). Pedoman ini diperlukan untuk mengatur batasan layanan manfaat yang bisa ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Ada enam rekomendasi yang diberikan oleh KPK dalam upaya pembenahan pengelolaan dana jaminan sosial.
”Dari 80 pedoman yang harus disusun dari tahun 2015 hingga Juli 2019, baru 32 pedoman yang selesai. Ini harus dipercepat. Karena efiseinsi yang bisa diperoleh dari aturan ini mencapai 10 persen dari yang saat ini dikeluarkan. Misalnya, pada pelayanan katarak yang kini mencapai Rp 2 triliun, seharusnya bisa dikurangi Rp 200 miliar,” katanya.
Selain itu, rekomendasi kedua adalah adanya pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik, seperti jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Pembatasan ini terutama pada peserta dengan risiko tinggi seperti merokok dan banyak mengonsumsi gula. Dengan begitu, upaya preventif atau pencegahan penyakit bisa lebih optimal.
”Ketiga adalah perlunya coordination of benefit. Jadi, pemerintah harus berinisifatif untuk berkoordinasi dengan asuransi swasta dalam pembagian pelayanan dalam perawatan. Praktik di Korea Selatan, pembagian dengan asuransi swasta mencapai 20 sampai 30 persen. Jika bisa dimanfaatkan, maka bisa mengurangi klaim BPJS hingga Rp 600 miliar sampai Rp 900 miliar,” tutur Pahala.
Rekomendasi keempat, penerapan urun biaya dengan peserta. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih bayar dalam program JKN disebutkan peserta bisa dikenakan urun biaya sebesar 10 persen dari biaya pelayanan rawat inap. Dari hitungan ini diperkirakan pada 2018 ada efisiensi biaya mencapai Rp 2,2 triliun.
Adapun rekomendasi kelima adalah memastikan kelas rumah sakit sesuai dengan pelayanan dan fasilitas yang diberikan. Menurut Pahala, rekomendasi ini sudah dijalankan, yakni dengan menemukan adanya sekitar 800 rumah sakit yang tidak sesuai kelas. Namun, setelah penemuan tersebut tidak ada tindak lanjut yang jelas dari Kementerian Kesehatan. Dari masalah kelas rumah sakit yang tidak sesuai ini, efisiensi pembiayaan yang bisa didapatkan sebanyak Rp 6,6 triliun.
”Keenam dengan memperbaiki sistem verifikasi di lapangan dari petugas BPJS Kesehatan. Harus ada aturan yang tegas jika ditemukan data yang fiktif. Jika memang ditemukan ada yang fiktif, harus ada pengembalian uang sampai hukuman pidana,” kata Pahala.
Selain enam rekomendasi tersebut, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, inefiseinsi pembiayaan dalam dana jaminan sosial adalah adanya tunggakan pada segmen peserta mandiri. Jika tunggakan tersebut bisa dikumpulkan, jumlah yang didapatkan bisa mencapai Rp 5 triliun.
”Defisit pada BPJS Kesehatan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, kalau Rp 12,2 triliun ini (dana fraud dan inefisiensi) tidak ter-cover, mintanya akan ke APBN. Jaminan kesehatan masyarakat bisa terganggu karena adanya inefisiensi pembiayaan,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf menuturkan, BPJS Kesehatan akan mengikuti aturan yang berlaku. Terkait dengan penarikan tunggakan dari peserta yang belum dibayarkan, ia mengatakan, berbagai upaya sudah dijalankan. Upaya itu antara lain dengan memperbanyak saluran pembayaran, menerapkan autodebit, kerja sama dengan teknologi finansial, serta pemberdayaan kader JKN.
”BPJS Kesehatan tidak bisa memaksa peserta yang menunggak untuk membayar. Kami sudah berupaya hanya terkendala karena tidak ada regulasi yang tegas untuk BPJS Kesehatan bisa menarik tunggakkan ini,” ujarnya.