Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi. Ini bukan hanya krisis kesehatan masyarakat. Semua sektor terdampak. Kerugian di tingkat negara bisa mencapai miliaran dollar AS.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·3 menit baca
Pada Rabu (11/3/2020), Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO akhirnya mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi. Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, hal itu didorong keprihatinan mendalam atas ”tingkat kelambanan yang mengkhawatirkan” dalam penanganan virus.
Per hari Rabu, pukul 16.53 WIB, tercatat ada 125.964 kasus di 115 negara dengan 4.634 kematian. Lebih dari 90 persen kasus berada di empat negara, yaitu China, Korea Selatan, Italia, dan Iran. Baru dua negara, China dan Korsel, yang menunjukkan penurunan kasus.
Pandemi diumumkan jika ada penyakit atau virus baru—di mana masyarakat belum memiliki kekebalan—telah menyebar ke seluruh dunia secara tak terduga.
Pandemi terakhir terjadi pada 2009, yakni flu babi (H1N1), yang tercatat membunuh 12.469 orang. Namun, pandemi hebat yang masih dikenang adalah maut hitam (black death) pada abad ke-14 yang menewaskan lebih dari 75 juta orang. Tahun 1918, terjadi pandemi flu spanyol.
Adapun istilah epidemi, menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, digunakan jika ada peningkatan jumlah kasus secara mendadak di luar normal. Misalnya, meluasnya wabah penyakit di suatu kawasan, tetapi bukan di seluruh dunia.
Kajian dari European Parliamentary Research Service (EPRS), berbagai penelitian menunjukkan bahwa epidemi penyakit berdampak pada ekonomi suatu negara melalui berbagai hal, termasuk sektor kesehatan, transportasi, pertanian, dan pariwisata. Perdagangan antarnegara juga terkena dampak. Selain itu, akibat keterkaitan ekonomi modern, epidemi dapat berimplikasi pada rantai pasokan internasional.
Pandemi influenza parah berpotensi menyebabkan kerugian 2,2-4,8 persen PDB global atau setara dengan 3 triliun dollar AS. PDB Asia Tenggara bisa merosot 2 persen dan Afrika sub-sahara turun 1,7 persen.
Laporan bersama WHO dengan Bank Dunia menaksir, pandemi influenza parah berpotensi menyebabkan kerugian 2,2-4,8 persen produk domestik bruto (PDB) global atau setara dengan 3 triliun dollar AS. PDB Asia Tenggara bisa merosot 2 persen dan Afrika sub-sahara turun 1,7 persen. Kerugian itu antara lain akibat penurunan produktivitas dan jumlah tenaga kerja, upaya pencegahan penularan yang mengganggu perekonomian, misalnya penutupan sementara sekolah, tempat kerja, transportasi umum, dan sebagainya.
Di tataran negara, saat epidemi SARS 2003, belanja konsumen merosot di Hong Kong dan Singapura sehingga rantai perdagangan lokal dan internasional lumpuh. Pada pandemi flu babi tahun 2013, Meksiko kehilangan 2,8 miliar dollar AS dari pariwisata. Ketika MERS mewabah pada 2015, Korsel kehilangan 2,6 miliar dollar AS dari pariwisata.
Saat ini, surutnya wisatawan dan turunnya konsumsi akibat Covid-19 membuat toko, hotel, dan industri hiburan di hampir seluruh dunia mengalami dampak yang bisa jadi jauh lebih berat dibandingkan saat epidemi SARS. Sebagai gambaran, rantai pasokan perusahaan teknologi dunia untuk komputer dan telepon genggam yang pabriknya berada di China tentu terhambat. Merosotnya industri di China mengurangi drastis kebutuhan minyak dunia sehingga harga minyak turun. Kasus di Italia menyebabkan rantai pasokan manufaktur mobil terganggu.
Lembaga pemeringkat S&P memperkirakan, wabah Covid-19 dapat mengurangi laju pertumbuhan PDB tahun 2020 untuk dunia 0,3 persen, China 0,7 persen, Asia-Pasifik 0,5 persen, AS dan Eropa 0,1- 0,2 persen.
Oleh karena itu, penting disadari, seperti dikatakan Dirjen WHO, pandemi bukan hanya krisis kesehatan masyarakat, melainkan krisis yang menyentuh semua sektor. Karena itu, semua pihak perlu bekerja sama untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi dari pandemi ini.
”Negara-negara perlu melakukan pendekatan untuk menyatukan seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat. Membuat strategi komprehensif untuk mencegah infeksi, menyelamatkan nyawa, dan meminimalkan dampak,” katanya.
Jika negara serius melakukan deteksi, uji spesimen, merawat yang terjangkit, mengisolasi, melacak kasus, dan memobilisasi orang-orang dalam melakukan respons, negara yang memiliki sedikit kasus dapat mencegah terjadinya kasus kelompok. Sementara yang memiliki kasus kelompok tidak berlanjut menjadi transmisi masyarakat.