Penuaan, Bisa Ditunda atau Dibalik?
Penuaan adalah proses alami yang tak bisa dihindari. Namun, penelitian telah menunjukkan cara-cara untuk menunda penuaan, bahkan membalik proses yang terkait dengan penyakit degeneratif. Apa sajakah itu?
Penuaan merupakan proses alami yang terjadi pada kehidupan setiap makhluk. Dengan berjalannya waktu, terjadi penuaan di tingkat sel, organ, serta seluruh tubuh.
Peningkatan jumlah orang lanjut usia (lansia) dan kemajuan ilmu kedokteran menumbuhkan cabang ilmu baru, yakni gerontologi. Cabang ilmu ini meneliti tentang efek penuaan dan penyakit yang terkait dengan penuaan pada manusia.
Sebuah artikel di laman Britannica.com menyatakan, harapan hidup bagi penduduk di negara industri meningkat secara signifikan. Kalau pada awal abad ke-20, harapan hidup mereka 30-45 tahun. Pada akhir abad ke-20, usia harapan hidup rata-rata 67 tahun, sebagian besar berkat perbaikan dalam perawatan kesehatan, asupan gizi, dan peningkatan standar hidup. Pada abad ke-21, proyeksi demografis menunjukkan harapan hidup laki-laki dan perempuan yang mempertahankan gaya hidup sehat akan terus meningkat.
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dalam waktu hampir lima dekade (1971-2019), persentase orang lanjut usia (lansia) meningkat sekitar dua kali lipat menjadi 9,6 persen (sekitar 25 juta). Lansia perempuan sekitar 1 persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (10,10 persen dibanding 9,10 persen). Hal ini tentu memerlukan perhatian terkait dukungan ekonomi dan sosial, termasuk aspek kesehatannya. Rata-rata usia harapan hidup penduduk Indonesia pada 2015-2025, menurut proyeksi PBB, adalah 71,7-72,7 tahun.
Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut diiringi harapan, mereka bisa tetap aktif dan mandiri. Untuk itu, ada banyak penelitian untuk memahami dan mengendalikan faktor-faktor yang berkontribusi pada keterbatasan kehidupan. Penting dibedakan antara proses penuaan secara fisikokimia dan proses penyakit serta cedera yang menyebabkan kematian.
Ada sejumlah teori penuaan. Salah satunya, teori genetik yang mengasumsikan bahwa masa hidup suatu sel atau organisme ditentukan secara genetis, yakni memiliki ”program” yang menentukan rentang hidupnya. Bukti dari teori ini antara lain, orang yang memiliki orangtua yang berumur panjang cenderung hidup lebih lama.
Dasar teori ini adalah keberadaan telomer, yakni segmen berulang dari asam deoksiribonukleat di ujung kromosom. Jumlah pengulangan dalam telomer menentukan rentang hidup maksimum sel. Setiap kali sel membelah, sejumlah pengulangan hilang. Setelah telomer berkurang hingga ukuran tertentu, sel tak mampu membelah lagi. Akibatnya, sel mati.
Penelitian menunjukkan, telomer dipengaruhi faktor genetik yang mengubah tingkat penuaan suatu organisme. Orang yang memiliki gen komponen telomerase asam ribonukleat (TERC) memiliki telomer lebih pendek dan mengalami peningkatan laju penuaan biologis sehingga beberapa tahun lebih tua secara biologis dibanding mereka yang tak memiliki gen TERC pada usia kronologis yang sama. Percepatan penuaan biologis juga dipengaruhi faktor lain, seperti polusi, merokok, dan obesitas yang meningkatkan kerentanan terhadap timbulnya penyakit degeneratif lebih awal.
Faktor penuaan
Penuaan terkait dengan perubahan komposisi tubuh, metabolisme, dan aktivitas. Massa tubuh tanpa lemak, yakni otot dan jaringan seluler lain, menurun setelah kematangan fisik. Namun, berat badan umumnya meningkat seiring pertambahan usia karena lemak dan air tubuh meningkat melebihi hilangnya massa tubuh tanpa lemak. Hilangnya massa otot bergantung pada aktivitas fisik. Penelitian menunjukkan, hilangnya sebagian besar massa otot dengan bertambahnya usia adalah akibat tidak digunakan sehingga menyusut dibanding akibat hilangnya serat otot. Kehilangan massa otot membuat lansia sulit bergerak. Karena itu kita disarankan terus beraktivitas untuk mempertahankan massa otot.
Integritas struktural organisme vertebrata bergantung pada dua jenis molekul protein, kolagen, dan elastin. Kolagen yang berjumlah sepertiga dari protein tubuh ditemukan di kulit, tulang, dan tendon. Kolagen terbentuk dengan cepat pada usia muda kemudian menurun seiring bertambahnya usia. Pertambahan usia menyebabkan jumlah ikatan silang di dalam dan di antara molekul kolagen meningkat sehingga terjadi kekakuan. Akibatnya, kemampuan jaringan tubuh menyerap zat gizi, hormon, dan antibodi menurun.
Tingkat penuaan kolagen terkait aktivitas metabolisme. Tikus percobaan yang diberi diet rendah kalori memiliki kolagen lebih muda daripada tikus yang diberi makan penuh pada usia yang sama. Adapun, elastin adalah molekul yang bertanggung jawab untuk elastisitas dinding pembuluh darah. Elastisitas pembuluh darah berkurang secara progresif seiring bertambahnya usia. Selain pembuluh darah, organ dan saluran pernapasan juga menjadi lebih kaku.
Jaringan tubuh ada yang senantiasa diperbarui, ada yang tetap. Jaringan yang tidak diperbarui antara lain saraf dan otot lurik, sedangkan yang sering diperbarui, misalnya epitel usus dan darah. Adapun jaringan hati, kulit, dan kelenjar endokrin mengalami pembaruan mulai beberapa minggu hingga hitungan tahun.
Perangkat penting mekanisme pembaruan adalah sel punca. Sel-sel ini terus membelah pada tingkat yang rendah sepanjang hidup. Jaringan pembentuk darah memiliki jumlah sel punca yang siap mengatasi masalah pada usia muda, tetapi kapasitasnya berkurang seiring bertambahnya usia. Meningkatnya kasus anemia pada lansia dan berkurangnya kapasitas untuk merespons kehilangan darah dikaitkan dengan menipisnya sel punca pembentuk darah.
Para peneliti mengidentifikasi, makanan tertentu memengaruhi proses seluler dan metabolisme yang mendasari penyakit terkait usia. Orang yang mengonsumsi lebih banyak makanan nabati cenderung hidup lebih lama daripada orang yang mengonsumsi daging merah dan produk hewani lainnya.
Baca juga: Lansia Diarahkan Melakukan Usaha Produktif
Membalik proses
Ilmuwan di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, mengidentifikasi ”saklar” molekuler yang mengendalikan mesin kekebalan yang bertanggung jawab atas peradangan kronis dalam tubuh. Hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Cell Metabolism, 6 Februari 2020, memberi harapan adanya cara-cara baru untuk menghentikan, bahkan membalikkan kondisi yang berkaitan dengan usia.
Peradangan kronis yang terjadi ketika usia tua, stres, atau adanya racun di lingkungan membuat sistem kekebalan tubuh bekerja keras. Hal ini bisa menyebabkan berbagai penyakit, mulai dari Alzheimer, Parkinson, hingga diabetes dan kanker.
”Di masa lalu, kami mendapati sel-sel batang tua dapat diremajakan. Untuk menjawab sejauh mana penuaan dapat dibalik, kami melihat kondisi fisiologis, seperti peradangan dan resistensi insulin, dikaitkan dengan degenerasi dan penyakit terkait penuaan,” kata Danica Chen, Guru Besar Biologi Metabolisme, Ilmu Gizi, dan Toksikologi pada Universitas California, Berkeley, seperti dikutip Science Daily, pada hari yang sama.
Chen dan tim mendapati kumpulan besar protein kekebalan yang disebut NLRP3 inflammasome, yang bertanggung jawab mengatasi potensi ancaman terhadap tubuh dan mengeluarkan respons peradangan, dapat dinonaktifkan dengan membuang sedikit materi molekul dalam proses deasetilasi.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dibuat obat-obatan dengan target deasetilasi, atau mematikan NLRP3 inflammasome, mengingat aktivasi berlebih dari protein kekebalan itu terkait dengan berbagai kondisi kronis, termasuk multiple sclerosis, kanker, diabetes, dan demensia.
Namun, sebelum obat itu ditemukan, kita sebenarnya bisa menunda penuaan, antara lain dengan mengurangi jumlah asupan kalori atau makan lebih sedikit dari yang diperlukan, lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani. Selain itu, banyak bergerak dan istirahat cukup untuk memberikan kesempatan kepada tubuh memulihkan jaringan tubuh, mengelola stres, serta tidak menjadi perokok, aktif ataupun pasif.
Baca juga: Lansia Diarahkan Melakukan Usaha Produktif