Antara ”Lockdown” dan ”Social Distancing”
Untuk mencegah Covid-19 akibat virus korona baru, pemerintah berkeras melakukan ”social distancing”. Namun, pembatasan dinilai kurang memadai jika melihat perkembangan kasus yang terus naik. Perlukah karantina wilayah?
Sejak laju pasien positif Covid-19 meningkat, keputusan pemerintah yang hanya menerapkan pembatasan sosial dinilai kurang tepat. Karantina wilayah pun didesakkan. Dilema inilah yang kini dihadapi pemerintah.
Untuk mencegah penyebaran penyakit Covid-19 akibat virus korona baru, pemerintah berkeras melakukan pembatasan sosial atau social distancing. Namun, pembatasan itu dinilai kurang memadai jika melihat perkembangan kasus Covid-19 yang terus bertambah setiap hari. Perlukah lockdown atau karantina wilayah untuk mencegah penyebarannya?
Istilah lockdown punya banyak makna. Italia menjadi negara pertama yang menerapkan karantina nasional sejak Perang Dunia II. Hanya dalam beberapa hari, hingga 18 Maret 2020, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 31.000 orang terinfeksi dan lebih dari 2.500 orang meninggal akibat Covid-19. Tingkat paparan di Italia jadi yang terbesar setelah China.
WHO juga mencatat penyebaran virus di 166 negara. Jumlah orang yang positif terpapar virus ini sebanyak 207.860 orang dan 8.657 orang di antaranya meninggal. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pun memberi pesan untuk melakukan tes sebanyak mungkin.
Baca juga : Cegah Penyebaran Covid-19, Polri Kawal Penerapan Pembatasan Sosial
Indonesia tak terkecuali. Sejak pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga positif Covid-19 pada 2 Maret 2020, hanya dalam waktu 16 hari, jumlah kasus positif Covid-19 naik menjadi 227 kasus. Dari jumlah itu, 19 orang meninggal dan 8 orang sembuh. Data sementara, probabilitas kematian di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan negara-negara lain, yakni 8,37 persen dari kasus positif. Di China 81.053 kasus, dengan fatalitas 4 persen, sebanyak 69.688 orang sembuh dan 3.241 orang meninggal.
Status darurat tertentu adalah respons terhadap perkembangan korona. Dari waktu ke waktu, pemerintah memonitor perkembangan penyebarannya, antara lain dengan mengukur efektivitas pembatasan sosial dengan pengurangan laju penularan.
Saat bincang-bincang Satu Meja: The Forum dengan tema ”Dilema Lockdown karena Corona” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (18/3/2020), sejumlah pembicara membahas soal perpanjangan status darurat pemerintah dan kemungkinan karantina di wilayah.
Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu menghadirkan sosiolog Imam Prasodjo, ekonom Faisal Basri, tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Dany Amrul Ichdan, dan pakar kebencanaan Puji Pujiono. Selain itu, tiga gubernur dihubungi lewat telepon, yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Kali ini, acara tak dihadiri penonton karena mematuhi protokol pencegahan seperti diimbau pemerintah, yakni hindari kerumunan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo sebelumnya mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13A/2020 tentang Penanggulangan Bencana Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit akibat Virus Corona di Indonesia. Dengan SK itu, BNPB memperpanjang status darurat dari 29 Februari hingga 29 Mei 2020. Namun, ”status keadaan darurat tertentu” jadi pertanyaan karena belum tegas menerangkan kondisi darurat.
Dany mengatakan, status darurat tertentu adalah respons terhadap perkembangan korona. Dari waktu ke waktu, pemerintah memonitor perkembangan penyebarannya, antara lain dengan mengukur efektivitas pembatasan sosial dengan pengurangan laju penularan. ”Kini, perkembangannya meningkat cukup signifikan. Angka yang meninggal 19 orang, ini harus diinventarisasi, termasuk treatment dari sisi kesehatannya. Kami yakin Rumah Sakit Persahabatan dan RS Penyakit Infeksi Sulianti Suroso memberikan pelayanan prosedur dan clinical pathways (prosedur klinis) sesuai penanganan pandemi. Meski demikian, kematian ini mesti dipelajari,” tuturnya.
Menjawab mengapa tak memberlakukan lockdown, Dany mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus korona, yakni apakah pembatasan itu signifikan mengurangi penyebaran virus atau tidak. Menurut dia, pembatasan berhasil jika setiap pihak sadar dan disiplin menjalankannya. Apa ukuran keberhasilan? ”Dilihat dari penularannya, kelihatan masih belum berjalan. Kita perlu evaluasi mendalam. Ada peningkatan jumlah kasus sehingga bisa ditentukan perlakuan atasi penyebaran,” ujar Dany.
Pemerintah melihat opsi lain, yakni menerapkan deteksi cepat (rapid detection) seperti di Korsel. Anak perusahaan BUMN, yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia, mengupayakan impor alat pengetesan itu. Namun, realisasinya menunggu Kementerian Kesehatan. Pasalnya, Kemenkes harus melihat kelayakan serta prosedur lain. Alat-alat itu menurut rencana dioperasikan dengan metode drive-thru sehingga bisa dipakai massal. ”Kami tengah mengevaluasi apakah ini bisa dijalankan atau tidak,” katanya.
Puji mengatakan, dirinya tak paham makna perpanjangan kondisi darurat tertentu oleh BNPB. Namun, sebagai salah satu orang yang mengikuti pembahasan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, istilah itu tak ada di UU. ”Istilah itu tak ada di ranah penanggulangan bencana, kecuali untuk situasi yang tak bisa didefinisikan,” kata Puji.
Pengaturan penanggulangan bencana dalam UU, lanjutnya, memang masih menitikberatkan pemahaman bencana alam. Namun, UU itu sebenarnya lebih progresif karena melihat bencana tidak sebagai kejadian, tetapi konsekuensi kejadian yang memungkinkan pemerintah mengambil kebijakan.
Implementasi kedaruratan
Definisi darurat tertentu disinyalir Imam terkait penggunaan anggaran. Jika hanya dikaitkan soal itu, patut disayangkan karena kondisi darurat itu seharusnya dijabarkan lebih luas dengan kewenangan yang bisa diambil BNPB selaku koordinator saat situasi darurat, termasuk optimalisasi sumber daya yang bisa dipakai mengatasi darurat.
”Saya membayangkan Pak Doni punya kewenangan memanfaatkan semua potensi. Kalau ada ambulans di mana pun, dalam kondisi darurat, bisa dimobilisasi. Dokter-dokter yang diketahui orangnya seharusnya juga bisa digerakkan. Ini masa darurat tertentu yang diterjemahkan dalam tindakan,” katanya.
Perusahaan swasta ataupun negeri dan pihak-pihak lain pun, menurut Imam, dengan potensi yang ada seharusnya diberi jalan membantu penanggulangan kondisi darurat. ”Misalnya, yang punya helikopter perusahaan swasta, lalu ada pasien harus diselamatkan, heli bisa diambil. Saya tak tahu apakah ini ada aturannya atau tidak dan apakah dijabarkan,” kata Imam.
Bukan larangan total
Faisal mengatakan, lockdown diperlukan untuk meminimalkan penyebaran virus. Apakah ekonomi Indonesia siap hadapi karantina terbatas? ”Indonesia sangat siap untuk karantina terbatas. Ini, kan, bukan larangan total. Kalau mau melintas dari Depok ke Jakarta bisa diperiksa suhunya. Kalau mau melintasi wilayah, ada keperluan apa harus dijelaskan, tak berarti larangan total,” katanya.
Indonesia sangat siap untuk karantina terbatas. Ini, kan, bukan larangan total. Kalau mau melintas dari Depok ke Jakarta bisa diperiksa suhunya. Kalau mau melintasi wilayah, ada keperluan apa harus dijelaskan, tak berarti larangan total.
Bantuan tunai bagi pekerja informal dalam kondisi karantina wilayah terbatas, lanjut Faisal, bisa diberikan sebagai kompensasi. Pemberian dana itu bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Baca juga : Kehidupan Semakin Virtual Saat Menjalani Pembatasan Sosial
Namun, tiga gubernur punya pandangan beda. Ganjar, Nurdin, dan Khofifah mengatakan, mereka tak punya rencana dalam waktu dekat menutup wilayahnya. Hal itu karena mereka fokus pada sosialisasi pembatasan sosial dengan kearifan lokal daerah serta aktif melacak warga terduga ataupun penambahan fasilitas kesehatan, seperti tempat tidur dan ruang isolasi RS.
Dany mengatakan, keputusan strategis berupa karantina dalam wilayah terbatas memang kewenangan pusat dan opsi itu terbuka. Namun, putusan itu diambil dengan melihat dinamika yang berkembang dan hanya terbatas pada wilayah yang jadi episentrum virus meskipun dinilai lebih berat dan besar risikonya ketimbang pembatasan sosial. Pilihan mana yang terbaik, penutupan atau pembatasan sosial, tentunya keputusan terbaik yang akan diambil dengan menimbang banyak hal, di antaranya keselamatan warga.