JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kini dihadapkan dengan epidemi ganda. Di tengah meluasnya penyebaran penyakit Covid-19 yang disebabkan virus korona baru, beban tuberkulosis belum juga teratasi. Bahkan, kasus tuberkulosis yang kebal dengan obat terus bertambah. Komitmen dan kedisiplinan warga menjadi kunci untuk mengatasi penyakit ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 mencatat 10 juta kasus tuberkulosis (TBC) baru dalam setahun. Indonesia di posisi kedua dengan kasus terbanyak di dunia setelah India. Kementerian Kesehatan mencatat, kasus meningkat empat tahun terakhir. Dari 2015 sampai 2018, jumlah kasus TBC yang ditemukan adalah 330.729 kasus, 360.565 kasus, 446.732 kasus, dan 570.289 kasus.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu, Minggu (22/3/2020), di Jakarta, dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia yang diperingati setiap 24 Maret, angka kasus TBC terus meningkat seiring semakin aktif dan intensifnya upaya penemuan. Upaya penemuan itu penting agar pasien bisa segera diobati untuk mencegah penularan dan mencapai target eliminasi TBC.
Menurut Wiendra, diperkirakan ada 842.000 pasien TBC di Indonesia. Artinya, ada sekitar 39 persen kasus yang belum terdeteksi dan belum mendapat pengobatan. ”Secara nasional, capaian temuan kasus baru pada 2019 sekitar 65 persen. Targetnya 70 persen. Mayoritas kasus berisiko tinggi belum mencapai target,” katanya.
Penemuan kasus TBC penting dilakukan agar pasien bisa segera diobati. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularannya melalui udara atau percikan dahak saat pasien batuk atau bersin. Satu penderita TBC bisa menginfeksi 10-15 orang setahun.
Faktor risiko
Dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, Erlina Burhan, menyampaikan, tingginya jumlah penderita TBC di Indonesia, antara lain, dipicu oleh gaya hidup tidak sehat, seperti etika batuk tidak baik, kebiasaan merokok, dan tidak menjaga kebersihan diri.
Lingkungan yang padat penduduk juga meningkatkan risiko penularan seperti yang terjadi di Kampung Paso, Kota Manado, Sulawesi Utara. Di perkampungan padat itu, TBC menjangkiti banyak warga. Hui Suawa (47), salah satu warga yang terkena TB, menuturkan, kakak iparnya yang tinggal dalam satu rumah terkena TBC lebih dari satu kali.
Kasus warga yang terjangkit TBC lebih dari satu kali juga terjadi di tempat lain, seperti Papua. Arlince Daber (32), warga Kampung Nendali, Kabupaten Jayapura, Papua, misalnya, berobat ke puskesmas setempat selama dua bulan terakhir. ”Saya pernah menderita TBC 10 tahun lalu dan sembuh setahun kemudian. Saya kembali tertular setelah merawat adik pada 2019,” ujar ibu dua anak ini.
Ancaman penyakit itu juga membayangi lembaga pemasyarakatan (LP) yang dihuni banyak tahanan, seperti di LP Narkotika Kelas IIA Cirebon, Jawa Barat. ”Khawatir juga saya dengan penyakit TBC. Teman di samping saya sering batuk,” kata Amos (52), penghuni LP yang satu sel bersama 15 warga binaan lain.
Perbaikan pola perilaku juga menjadi cara efektif mencegah penularan penyakit lain, termasuk Covid-19. Penguatan daya tahan tubuh turut mencegah penularan penyakit ini. ”TBC sulit menjangkit orang dengan daya tahan baik,” kata Erlina. Pasien bisa sembuh jika mendapat pengobatan teratur selama enam bulan. Obat itu bisa didapat di puskesmas secara gratis.
Apabila pasien tidak mengonsumsi obat secara teratur dan tidak tuntas, kuman TBC bisa kebal terhadap obat sehingga terapi semakin lama dan sulit. ”Seseorang bisa menularkan kuman TBC resistan ini kepada orang lain,” katanya. Rendahnya kepatuhan minum obat juga menyebabkan tingginya kasus TBC di Indonesia.
Stigma dari masyarakat kepada pasien TBC membuat orang tersebut enggan mengonsumsi obat. Pada 2019, WHO melaporkan, Indonesia adalah negara ketujuh dari 30 negara dengan beban TBC resistan obat (TBC RO) tertinggi di dunia. (TAN/OKA/FLO/IKI)