Di Tengah Wabah Covid-19, Jangan Lupakan Layanan untuk Pasien Tuberkulosis
WHO memperkirakan, pasien tuberkulosis resistan obat di Indonesia mencapai 24.000 orang setiap tahun. Namun, kini layanan kesehatan bagi mereka agak terhambat karena banyak rumah sakit rujukan sibuk tangani Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Meski pemerintah saat ini sedang fokus menangani pandemi Covid-19, pelayanan terhadap pasien tuberkulosis, terutama tuberkulosis yang resistan obat, harus tetap berjalan. Hal ini penting mengingat jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia cukup tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pasien tuberkulosis resistan obat (TB RO) di Indonesia mencapai 24.000 orang setiap tahun. Namun, pada 2018, pasien TB RO yang terdiagnosis baru sekitar 9.000 pasien.
Koordinator Pejuang Tangguh TB RO, Yulinda Santosa saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/3/2020), menuturkan, pelayanan bagi pasien TB RO harus dipastikan tetap berjalan. Para pasien pun diharapkan tetap disiplin menjalani perawatan dan mengonsumsi obat di rumah sakit.
Menurut dia, sebagian pasien TB RO kini merasa khawatir karena rumah sakit yang melayani pasien TB RO kini juga harus menerima pasien Covid-19. Dari 132 rumah sakit rujukan yang ditunjuk pemerintah untuk melayani pasien Covid-19, sebanyak 100 rumah sakit di antaranya juga merupakan rumah sakit rujukan TB RO. Sebagian ruang inap untuk pasien TB RO pun kini telah difungsikan sebagai ruang isolasi pasien Covid-19.
“Sebagian pasien TB RO awalnya takut untuk ke rumah sakit karena khawatir bisa tertular Covid-19. Padahal, pasien ini harus rutin minum obat di rumah sakit setiap hari. Untuk itu, butuh sosialisasi yang baik bahwa mereka tetap aman ketika datang ke rumah sakit,” ucap Yulinda.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, Heny Akhmad berharap, kegiatan pencegahan, deteksi, serta pengobatan TB di Indonesia harus tetap berjalan di tengah epidemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Pemerintah perlu memberikan arahan yang jelas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk menyiapkan langkah strategis dalam penanggulangan kedua penyakit tersebut.
“Situasi ini juga mengingatkan kita bahkan setiap fasilitas kesehatan, baik fasilitas kesehatan milik pemerintah ataupun swasta yang melayani pasien TB RO harus memiliki standar yang jelas. Pelayanan harus diberikan sesuai standar tersebut meski kini sedang berjuang melawan Covid-19,” katanya.
Dalam siaran pers, anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Putih Sari mengatakan, target capaian eliminasi TB pada 2030 memang tidak mudah. Apalagi ketika masyarakat dihadapkan dengan munculnya penyakit menular yang baru, seperti Covid-19. Namun, jika upaya promotif dan preventif bisa dilakukan secara sinergis, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan optimal.
“Butuh kolaborasi multi sektor untuk mengatasi Covid-19 dan TB di Indonesia. Upaya ini jelas bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan, melainkan juga menjadi tanggung jawab masyarakat sipil. Kerja bersama dari pemerintah pun diperlukan, baik yang fokus pada sektor keuangan, perumahan, tenaga kerja, pemberdayaan desa, transportasi, serta hukum dan hak asasi manusia,” tutur dia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyampaikan, prinsip "temukan, obati sampai sembuh" atau yang dikenal dengan istilah TOSS tetap dijalankan sebagai upaya mengeliminasi TB di Indonesia. Prinsip ini harus dijalankan secara komprehensif oleh semua sektor, baik dari institusi kesehatan, pengambil kebijakan, komunitas, serta lembaga terkait lainnya.
“Pelaksanaan ini benar-benar harus dijalankan berbasis komunitas. Jadi peran masyarakat sendiri sangat diperlukan. Jika memang muncul tanda dan gejala harus segera ke fasilitas kesehatan terdekat agar bisa diobati. TB ini bisa disembuhkan dengan konsumsi obat yang teratur serta disiplin,” ujarnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu mengatakan, pasien yang menderita TB resisten obat butuh waktu pengobatan yang cukup lama. Untuk pengobatan jangka pendek sendiri butuh waktu sekitar sembilan sampai sebelas bulan dengan mengonsumsi obat setiap hari. Sementara pada pengobatan jangka panjang harus mengonsumi obat setiap hari selama 22 bulan sampai 24 bulan.
“Kendalanya saat ini hanya 48 persen kasus TB RO yang memulai pengobatan. Selain itu adanya efek samping obat yang tinggi membuat pasien enggan mengonsumsi obat setiap hari. Stigma masyarakat pun masih ada pada pasien TB ketika berobat di fasyankes (fasilitas layanan kesehatan),” katanya.
Dalam upaya meningkatkan pemantauan dan identifikasi pasien TB RO, Wiendra mengatakan, pemerintah kini telah menambah sarana dan prasarana kesehatan. Setidaknya sebanyak 900 alat diagnostis canggih berupa tes cepat molekular sudah disiapkan di 10.000 puskesmas dan 360 rumah sakit yang bisa melayani TB RO.