Perjuangan Melawan Tuberkulosis yang Tak Kunjung Usai
Di tengah mewabahnya Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru, penanggulangan tuberkulosis perlu mendapat perhatian. Apalagi, kian banyak kasus kuman penyakit itu yang kebal terhadap obat anti-TBC.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·5 menit baca
Belum selesai tuberkulosis ditangani di Indonesia, penyakit yang disebabkan virus korona baru atau Covid-19 sudah mewabah. Perhatian publik dan pemerintah tersita pada kasus ini. Di sisi lain, mereka yang berjibaku dengan TBC selama bertahun-tahun berharap, andai TBC mendapat perhatian serupa.
Rachmat (35), pegiat TBC, mempunyai angan seperti itu. Harapan itu masuk akal mengingat penularan TBC dan Covid-19 serupa, yakni melalui rintik (droplet) dari hidung dan mulut. Keduanya sama-sama menular dan berbahaya jika tidak segera ditangani.
Wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19) melumpuhkan kegiatan Rachmat yang tergabung dalam komunitas Pejuang Tangguh (Peta). Kunjungan ke rumah pasien TBC dihentikan sementara. Rachmat dan rekan-rekannya terpaksa mendampingi pasien TBC secara virtual. Mereka harus memastikan pasien meminum obat setiap hari.
Sebagai penyintas tuberkulosis resisten obat (TB RO), Rachmat tahu benar pentingnya pengobatan. Pasien TBC reguler harus minum obat tiap hari selama enam bulan. Jika terputus, pasien harus mengulang pengobatan dari awal dengan jangka waktu lebih lama. Pengobatan yang tidak tuntas membuat bakteri penyebab TBCmenjadi lebih kuat dan kebal obat atau disebut TB RO.
Rachmat dinyatakan menderita TB RO pada 2012. Kendati telah dinyatakan sembuh sejak 2014, hingga kini ia tidak tahu bagaimana bisa tertular. Kondisi rumahnya di masa lalu cukup lembab dan gelap. Namun, semua anggota keluarganya sehat. Di sisi lain, ia pun gemar berolahraga.
”Entah tertular dari mana. Yang jelas, saya langsung tertular TB RO, bukan lagi TB reguler. Berat badan saya turun dari 60 kilogram menjadi 38 kilogram. Batuk juga tidak sembuh-sembuh. Akhirnya, saya periksa ke dokter,” kata Rachmat di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Beratnya pengobatan
Pengobatan selama 20 bulan sempat membuat Rachmat ragu. Selain lama, ia tahu, pengobatan ini tidak akan mudah. Ada belasan butir obat yang harus ditelan setiap hari. Efek samping obat pun berat, seperti mual, pusing, telinga berdengung, insomnia, hingga halusinasi. Bahkan, orang yang ”tidak kuat” berobat berisiko tinggi bunuh diri.
Saya langsung tertular TB RO, bukan lagi TBC reguler. Berat badan saya turun dari 60 kilogram menjadi 38 kilogram. Batuk juga tidak sembuh-sembuh.
Konsekuensi lain pengobatan adalah kehilangan pekerjaan. Demi fokus untuk sembuh, Rachmat harus melepas pekerjaannya. Padahal, kariernya sedang menanjak. ”Saya stres bukan main sebulan pertama pengobatan,” ucapnya.
Krisis kepercayaan diri juga dialami sehingga ia mengurung diri di rumah selama sakit. Beruntung, keluarga dan sejumlah tetangganya suportif. Teman-temannya pun berkunjung ke rumah Rachmat saban hari. Hal ini pula yang mengalihkan perhatian Rachmat dari efek samping pengobatan.
Selain minum obat setiap hari, ia berjemur sinar matahari pagi dan makan makanan bergizi. Ia rutin minum susu dan enam butir telur setiap hari. Gizi yang baik membuat fisik dan mentalnya kuat melawan TB RO.
”Keluarga selalu menyiapkan segalanya, baik makanan bergizi maupun tempat beristirahat setelah pulang dari puskesmas. Teman-teman juga mendukung kesembuhan saya. Saya sangat beruntung,” kata Rachmat.
Tidak semua penderita TBC didukung orang sekitar. Stigma dan diskriminasi masih melekat pada diri mereka. Ada yang disisihkan keluarga sendiri, diberhentikan dari pekerjaannya, hingga ditelantarkan. Diskriminasi juga dapat terjadi di lingkungan fasilitas kesehatan.
”Pasien TB RO mendapat stigma yang berbeda dari TBC reguler. TB RO dianggap penyakit yang berat sekali dan menular. Orang lain memandang TB RO dengan putus asa. Padahal, mereka bisa sembuh,” kata Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB Budi Hermawan.
Pasien yang mau berobat perlu dukungan besar, terlebih pasien TB RO. Ini untuk mencegah pasien putus berobat. Pasien TBC yang tidak tuntas berobat bisa menjadi ancaman bagi kesehatan orang di sekitarnya. Setiap tahun, satu pasien TBC dapat menularkan penyakit ke 10-15 orang di sekelilingnya.
Tidak mudah
Budi mengatakan, mendampingi pasien TBC tidak mudah. Tidak semua pasien mau didekati dan didampingi karena perkara stigma. Mencari kader pegiat TBC pun sama sulitnya. Sejumlah penyintas TBC enggan bergabung ke komunitas karena risiko terpapar penyakit berbanding terbalik dengan keuntungan yang didapat. Perasaan trauma selepas berobat juga membuat mereka enggan bergabung.
Kendati tidak mudah, Budi dan pegiat TBC lainnya tetap bekerja. Pasien perlu dimotivasi agar pengobatannya tuntas. Selain itu, para pegiat juga turun ke lapangan untuk mendeteksi warga yang menderita TBC.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TBC menyebabkan 1,3 juta kematian pada 2017. Ada 10 juta kasus TBC baru secara global atau setara 13 kasus per 100.000 penduduk.
Kasus TBC di Indonesia diperkirakan ada 842.000 kasus dan ternotifikasi 569.899 penderita. Artinya, sekitar 32 persen kasus belum ternotifikasi, belum terdeteksi, dan tidak terlaporkan. WHO memperkirakan ada 23.000 kasus TB RO di Indonesia.
Menurut Authorized Signatory Principal Recipient TB Aisyiyah, Rohimi Zamzam, TBC bisa menyerang siapa saja, sama seperti Covid-19. Tuberkulosis sering ditemukan di masyarakat menengah ke bawah. Namun, bukan berarti masyarakat menengah ke atas bebas dari TBC.
Menurut data Kementerian Kesehatan 2018, ada 13 orang meninggal karena TBC per jam. Angka ini sama dengan 300 orang per hari. ”Ibaratnya, ada satu pesawat berisi 300 penumpang yang jatuh setiap hari,” kata Rohimi.
Ia dan sejumlah komunitas bahu-membahu mengedukasi masyarakat, mendampingi pasien, hingga menyediakan rumah singgah bagi pasien dari luar daerah. Ia juga sedang mendorong penerbitan peraturan daerah tentang TBC di 130 kabupaten/kota yang ditangani Aisyiyah. Payung hukum dapat mendukung keberlanjutan upaya pengentasan tuberkulosis.
Jalan Indonesia untuk bebas dari TBC pada 2030 masih panjang. Titik terang perjuangannya pun belum tampak. Semoga dunia cepat sembuh agar perjuangan mengentaskan penderita TBC bisa berlanjut.