JAKARTA, KOMPAS—Pelayanan tuberkulosis di sejumlah rumah sakit terganggu karena lonjakan jumlah pasien Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru. Hal itu bisa memicu peningkatan jumlah pasien tuberkulosis putus berobat dan resisten terhadap obat. Kondisi tersebut akan menambah beban sosial ekonomi akibat penyakit tersebut.
TB Program Management Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan, pelayanan terhadap pasien tuberkulosis (TBC) di sejumlah rumah sakit rujukan Covid-19 terganggu. Sebab, jumlah pasien Covid-19 meningkat beberapa pekan terakhir. Untuk mengatasinya, pasien TBC dialihkan ke rumah sakit nonrujukan Covid-19.
“Beberapa daerah sudah melaporkan pelayanannya terganggu, misalnya di Sumatra Barat. Rumah Sakit (RS) Umum Pusat Persahabatan Jakarta juga sudah tidak menerima pasien TB RO (resisten obat) rawat inap. Mereka mengalihkan pasien ke RS Islam Jakarta, Cempaka Putih,” kata Imran saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/3/2020).
Terkait hal itu, kemarin, Kemenkes mulai memberlakukan protokol pelayanan TB saat pandemi, setelah membahas dengan sejumlah ahli, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dinas Kesehatan, dan komunitas TB, hingga kondisi kembali kondusif. Protokol itu meliputi pengalihan pasien TB ke RS lain harus berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
Selain itu, interval pemeriksaan pasien di RS dan puskesmas diperpanjang dari dua minggu sekali menjadi dua bulan sekali. “Pasien TB RO (resisten obat) mulanya harus ke rumah sakit setiap hari untuk minum obat. Protokol ini memungkinkan mereka ke rumah sakit seminggu sekali. Mereka akan dibekali obat seminggu untuk dibawa pulang,” kata Imran.
Dokter spesialis paru dan Ketua Programmatic Management Drug Resistance of Tuberculosis RS Dr Moewardi Surakarta, Harsini, mengatakan, tiap hari 30-40 pasien TB RO datang untuk minum obat di RS itu. Karena menjadi RS rujukan Covid-19, layanan bagi pasien TB RO dialihkan untuk meminimalkan risiko terpapar Covid-19.
Koordinator Pejuang Tangguh TB RO, Yulinda Santosa menyatakan, kini RS yang melayani pasien TB RO juga harus menerima pasien Covid-19. Dari 132 RS rujukan perawatan Covid-19, sebanyak 100 RS di antaranya juga merupakan RS rujukan TB RO. Sebagian ruang inap pasien TB RO menjadi ruang isolasi pasien Covid-19.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, Heny Akhmad berharap, kegiatan pencegahan, deteksi, serta pengobatan TB di Indonesia tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah perlu memberi arahan jelas kepada semua pemangku kepentingan untuk menyiapkan langkah strategis penanggulangan dua penyakit tersebut.
Baca juga: Indonesia Hadapi Epidemi Ganda
Beban ekonomi dan sosial
Data Litbang Kompas yang diolah dari hasil riset Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM Universitas Indonesia menyebut, TB menimbulkan kerugian ekonomi berupa antara lain terhambatnya interaksi sosial beban biaya terapi, dan hilangnya waktu produktif. Meski biaya pengobatan ditanggung pemerintah, penderita TB harus menanggung biaya transportasi selama masa pengobatannya padahal pasien TB RO harus datang ke RS atau klinik secara periodik.
Beban keuangan tinggi ini bisa menyebabkan pasien tidak mendapat diagnosis, tidak memulai pengobatan, hingga dapat berhenti pengobatan. Kemenkes memperkirakan kerugian ekonomi akibat TB Rp 130,5 miliar per tahun dan akibat TB RO Rp 6,2 miliar per tahun. Penderita TB juga diperkirakan kehilangan pendapatan dan pekerjaan 38 persen dan 53 persen. Sementara itu, penderita TB RO akan kehilangan pendapatan dan pekerjaan 70 persen dan 26 persen.
Karena itu, pasien TB membutuhkan dukungan dari keluarganya untuk memantau kepatuhan meminum obat. Meski angka kematiannya tinggi, TB bisa disembuhkan dan dicegah lebih dini. Hal ini harus dimulai dari kesadaran warga memeriksakan diri jika mengalami tanda-tanda TB. Minimnya pengetahuan warga terkait TB menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita sehingga enggan berobat.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas mencatat pengetahuan dasar tentang TB belum banyak diketahui warga. Sebagian besar responden (73 persen) menyatakan penyebab TB berasal dari gaya hidup, udara kotor, virus, makanan atau minuman yang dikonsumsi, stres, bahkan menganggap sebagai penyakit keturunan. Ada 40,9 persen responden tidak bersedia beraktivitas dalam lingkungan sama dengan pasien TB.
Baca juga: Kolaborasi untuk Mencapai Indonesia Bebas TBC pada 2030