Sulit Praktikkan Pembatasan Fisik di Pondok Pesantren
Kehidupan di pondok pesantren yang komunal menjadi tantangan tersendiri untuk menerapkan pembatasan fisik dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Meskipun demikian, upaya maksimal tetap dilakukan .
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI dan RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik pembatasan fisik atau physical distancing selama masa kedaruratan khusus Covid-19 di pondok pesantren yang dikelola Muhammadiyah mengalami sejumlah kendala. Budaya komunal di pondok pesantren membuat jaga jarak minimal 1,5 meter sulit dilakukan.
Hal itu diakui oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Selasa (24/3/2020). Menurut Mu’ti, pembatasan fisik di pondok pesantren memang mengalami tantangan tersendiri. Sebab, kehidupan di ponpes memang komunal. Satu kamar misalnya bisa dihuni 10-20 santri. Mereka tidur, belajar, dan beraktivitas di ruangan tersebut. Selain berbagi kamar, para santri juga biasanya berbagi ranjang dengan model tingkat. Beberapa peralatan seperti lemari, meja belajar juga digunakan bersama-sama dengan santri lain.
”Memang agak susah diterapkan jaga jarak 1,5 meter di pondok pesantren. Tetapi, kami dari PP Muhammadiyah sudah memberikan arahan tentang protokol korona. Terkait pelaksanaannya diserahkan kepada direktur masing-masing ponpes,” kata Mu’ti, saat dihubungi, Selasa.
Pembatasan fisik di pondok pesantren memang mengalami tantangan tersendiri. Sebab, kehidupan di ponpes memang komunal.
Menurut Mu’ti, Muhammadiyah memiliki 300 lebih ponpes di seluruh Indonesia. Jumlah siswanya beragam sesuai dengan jenjang pendidikan di ponpes tersebut. Namun, rata-rata santri di satu ponpes jumlahnya mencapai ribuan.
Sejak pekan lalu, para siswa sudah diliburkan. Hanya tersisa sebagian siswa yang sedang menunggu pelaksanaan ujian sekolah dan ujian nasional (UN). Mereka yang masih tinggal di ponpes ini dalam posisi karantina ketat. Tidak boleh ada yang meninggalkan ponpes tanpa alasan yang penting dan jelas. Pihak luar seperti keluarga juga tidak boleh menjenguk santri di ponpes.
”Sejak pekan kemarin, sebagian besar santri sudah diliburkan. Masih ada yang menunggu ujian sekolah dan ujian nasional,” kata Mu’ti.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Selasa, juga mengumumkan ujian nasional 2020 resmi dibatalkan karena alasan keamanan dan kesehatan. Mendikbud mengumumkan keputusan pembatalan UN 2020 itu dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan. Selain itu, Nadiem juga melarang pelaksanaan ujian sekolah dalam bentuk tatap muka dan mengumpulkan siswa di ruangan sekolah. Ada berbagai opsi yang bisa dilakukan, di antaranya melalui ujian daring dan angka nilai lima semester akhir. Ujian sekolah juga tidak menjadi ukuran ketuntasan seluruh capaian kurikulum, bahkan semester akhir.
Terkait dengan keputusan ini, Mu’ti mengatakan, pihak ponpes masih menunggu surat resmi dari Mendikbud. Demikian juga dengan pelaksanaan teknis di lapangan perihal ujian sekolah. Di 2.000 sekolah Muhammadiyah di seluruh Indonesia, ujian sekolah memang sudah diselenggarakan secara daring. Ini belum mencakup semua sekolah karena total sekolah di Muhammadiyah mencapai lebih dari 5.000 sekolah. Khusus di ponpes, belum ada keputusan mengenai hal tersebut. Saat ini, seluruh ponpes sedang berkoordinasi untuk membahas keputusan Mendikbud.
”Belum ada keputusan soal itu. Kami masih menunggu rapat koordinasi yang dilakukan oleh pondok pesantren,” kata Mu’ti.
Meskipun kehidupan komunal di ponpes terus berjalan dengan protokol korona, Muti juga memastikan hingga saat ini belum ada laporan orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pemantauan (PDP) di lingkup ponpes Muhammadiyah. Ponpes terus diimbau untuk melakukan protokol korona. Adapun pemeriksaan santri, pengajar, atau staf yang sakit, ponpes sepenuhnya didukung oleh Muhammadiyah Covid Center (MCC).
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terus menyosialisasikan pembatasan fisik atau sosial yang diinstruksikan oleh pemerintah dalam menangani pandemi korona. Namun, saat ini yang menjadi tantangan ialah membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya hal itu dilakukan oleh semua masyarakat, termasuk warga NU.
Ketua Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas mengatakan, sosialisasi tidak pernah berhenti diserukan oleh pimpinan PBNU dari tingkat pusat hingga pengurus wilayah di tingkat provins ataupun cabang-cabang NU di tingkat kabupaten/kota. Selain sosialisasi langsung, instruksi menjaga jarak dan menaati protokol korona juga disampaikan melalui media sosial dan grup-grup percakapan di antara pengurus dari tingkat pusat maupun daerah.
”Kalau sosialisasi, saya rasa sudah cukup. Tetapi, yang menjadi tugas bersama saat ini ialah bagaimana kita membangun kesadaran kolektif tentang bahaya virus korona. Setelah masyarakat menyadari bahaya penyakit Covid-19, barulah muncul kesadaran dari diri mereka untuk mematuhi instruksi pemerintah dan lembaga-lembaga, termasuk organisasi kemasyarakatan,” ujarnya, Selasa.
Sementara untuk penjagaan jarak di lingkungan pesantren, misalnya, ada dua pola yang diberlakukan oleh NU. Pertama, pesantren boleh meliburkan santrinya atau memulangkan mereka untuk belajar di rumah. Tujuannya mencegah penularan atau penyebaran virus korona terjadi di lingkungan pesantren.
”Pola ini diberlakukan bagi pesantren di wilayah yang belum terpapar Covid-19. Mereka bisa meliburkan santrinya,” kata Robikin.
Pesantren boleh meliburkan santrinya atau memulangkan mereka untuk belajar di rumah. Tujuannya mencegah penularan atau penyebaran virus korona terjadi di lingkungan pesantren.
Namun, boleh juga pesantren itu menjaga jarak santri dengan yang lain. Misalnya ketika dalam kegiatan belajar-mengajar di pesantren, yakni agar tidak duduk berdekatan atau menjaga jarak secara fisik untuk meminimalkan kemungkinan interaksi fisik yang berpotensi memperbesar risiko penularan.
Kedua, untuk pesantren yang ada di wilayah yang terpapar korona, atau pesantren itu sendiri terpapar korona, maka yang harus dilakukan ialah isolasi mandiri. Dengan demikian, virus itu tidak menyebar ke mana-mana.
”Semua protokol yang dibuat oleh pemerintah maupun NU harus ditaati, mulai dari menjaga jarak hingga isolasi mandiri, tergantung kondisi masing-masing pesantren,” ujar Robikin.