Ikhlas Penjaga Napas Penyintas
Penyintas tuberkulosis tidak hanya melawan penyakit yang menggerogotinya, tetapi juga dijauhi lingkungan dan bahkan keluarganya. Mantan pasien tuberkulosis pun tak tinggal diam dan berupaya menjaga napas para penyintas.
Saliman (35) berjalan pelan saat keluar dari Poli MDR (ruang pelayanan untuk pasien yang kebal terhadap obat) Rumah Sakit Daerah Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (18/3/2020). Kakinya bergetar. Kepalanya pusing. Ia merasakan mual setelah mengonsumsi obat tuberkulosis.
Ia baru memeriksakan perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab tuberkulosis, di tubuhnya. Pemeriksaan darah dan dahak rutin dilakukan sebulan sekali.
Dalam kondisi tak karuan, Saliman mengendarai sepeda motor menuju rumahnya di Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, 30 kilometer dari RSD Gunung Jati. Tak ada yang mengantarnya. ”Saya kasihan kalau ada yang mengantar. Nanti, dia tertular,” ucapnya.
Jangankan orang lain, istrinya pun pergi meninggalkannya saat tahu ia terkena tuberkulosis (TBC). Anaknya yang berumur tujuh tahun diasuh saudara. Sekitar enam bulan terakhir, Saliman berjuang sendiri dengan meminum obat hingga 22 butir tiap hari. Ia disuntik hampir setiap hari selama empat bulan.
Tuberkulosis merenggut tenaganya sehingga tak mampu bertani. Sawah orangtuanya seluas 1.400 meter persegi terbengkalai. Tabungannya habis demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pria bertubuh kurus ini sempat ingin berhenti berobat, tetapi ia teringat masa depan anaknya jika dirinya tiada. ”Pak Tatang dan Mas Wildan terus mengingatkan saya minum obat dan menyemangati untuk sembuh,” ungkapnya.
Membantu penyintas
Tatang Suparta (50) dan Wildan (27) merupakan mantan pasien dengan kuman TBC kebal atau resisten terhadap beberapa jenis obat antituberkulosis (TB RO). Keduanya kini menjadi pendamping pasien TBC dari Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), organisasi yang fokus pada kasus tuberkulosis.
Kedua sosok tersebut bak oase di tengah gurun pasir. Siang itu, Wildan menemani Saliman di Poli MDR. ”Kalau nanti pusing di jalan, berhenti saja, Pak,” pesan Wildan kepada Saliman. Tatang yang berasal dari Kecamatan Sukahaji, Majalengka, itu kerap membagikan pengalamannya. Ia mengidap TBC pada 2018 setelah batuknya tak sembuh lebih dari sebulan. Bobot tubuhnya anjlok dari 65 kilogram jadi 42 kilogram.
Ia minum obat hingga 16 butir tiap hari selama 18 bulan lebih dua minggu. Ia juga menerima suntikan tiap Senin sampai Jumat selama 7 bulan 2 minggu. Efek samping, seperti mata berkunang-kunang, badan nyeri, dan muntah, kerap ia rasakan.
Pekerjaan membuat cobek yang ia geluti selama setahun terpaksa ditinggalkan. Tidak ada lagi upah Rp 120.000 hingga Rp 200.000 per hari. Ia hidup dari kemurahan warga setempat. Dalam kondisi sulit itu, istrinya pergi meninggalkannya bersama dua anak. ”Mental saya drop. Rasanya tidak berharga lagi. Kok, takdir saya begini,” ujarnya mengenang.
Meski demikian, ia bersemangat untuk sembuh saat melihat mantan pasien TBC pulih. Tatang tak pernah melewatkan jadwal minum obat hingga pada 16 Januari lalu ia dinyatakan sembuh. ”Sebelum itu, saya bergabung jadi pasien suporter (PS). Saya ingin menyemangati pasien lain,” katanya.
Sempat ditolak
Tatang termasuk dalam sembilan PS dari LKNU Cirebon untuk pasien TB RO di Poli MDR RSD Gunung Jati. Selain itu, ada kader khusus TB, yakni mantan pasien, keluarga pasien, dan orang yang berkomitmen mendampingi pasien TBC.
Menurut Manajer Kasus TB LKNU Cirebon Ahmad Wildan, jumlah kader pendamping pasien TBC di Kabupaten Cirebon 35 orang, Kota Cirebon 9 orang, Indramayu 11 orang, dan Kuningan 15 orang. Mereka bertugas mulai dari mengingatkan pasien untuk minum obat, wadah konsultasi, hingga mencari solusi atas masalah pasien.
”Awalnya, ada pasien menolak didampingi. Setelah kami dan perawat menjelaskan maksud pendampingan, mereka menyambut baik,” ujar Wildan.
Kepada pasien, ia acap kali menyampaikan pentingnya memakai masker di rumah untuk mencegah penularan. Pengecekan dahak keluarga juga perlu dilakukan. ”Gara-gara saya, empat anggota keluarga kena tuberkulosis. Pengalaman ini harus dibagikan,” ujarnya.
Beruntung, LKNU menyediakan honor bagi pendamping pasien. Namun, pendamping berisiko kembali tertular TBC. Karena itu, tidak semua mantan pasien mau jadi pendamping. ”Kalau bukan kami, siapa lagi? Penularan bisa dicegah dengan cuci tangan, pakai masker, dan lainnya,” ungkapnya.
Pasien tuberkulosis membutuhkan dukungan dari orang sekitar, termasuk pendamping. Apalagi, tidak jarang pasien dijauhi warga dan keluarga karena stigma sebagai pembawa penyakit menular. Pendamping tak bisa dibiarkan sendiri menjaga napas pasien.
Proses terapi TBC berat dan lama sehingga sebagian penderita ingin menyerah. Para penyintas pun turun tangan merangkul pasien untuk sembuh. Ully Ulwiyah (33) juga pernah merasakan beratnya pengobatan. Ia dinyatakan positif TB RO pada November 2011 dan harus berobat 23 bulan. Selama itu pula ia lemas, mual, sulit tidur, dan depresi.
Setelah minum obat di rumah sakit tiap hari, ia pergi bersama teman-teman sesama pasien TB RO untuk menenangkan diri dari efek obat. Mereka saling menguatkan saat tubuh bereaksi terhadap obat.
Hal itu mendorong Ully dan sejumlah penyintas TB RO membentuk komunitas bagi penyintas dan pasien TB RO, yakni Pejuang Tangguh (Peta), pada 2012. Komunitas itu mendampingi dan mendeteksi pasien TBC ke permukiman warga di DKI Jakarta. ”Saya menderita TB reguler sejak usia 10 tahun. Ada kekuatan yang saya rasakan saat mendengar masalah pasien,” kata Ully.
Hal serupa dilakukan Dewi Wulan (37). Seusai sembuh dari TB RO, ia membentuk Yayasan Terus Berjuang (Terjang) pada 2013 yang berkiprah di Jawa Barat. ”Pasien kerap menjadikan saya tempat bertanya. Saya mendengarkan dan menjawab sesuai pengalaman yang saya rasakan dulu,” katanya.
Ada pula Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB yang membawahkan 16 organisasi TB di Indonesia. ”Minum obat saja tak cukup. Pasien TBC butuh pendampingan,” kata Ketua POP TB Budi Hermawan yang juga penyintas TB RO. Pengalaman sebagai penyintas TBC membuat mereka tergerak berbagi kekuatan kepada pasien. Gerakan akar rumput ini menjadi garda terdepan pemerintah untuk memberantas TBC pada 2030.