Saatnya Tegas Cegah Penularan Covid-19
Sudah saatnya pemerintah tegas mencegah penularan Covid-19 sebelum wabah ini menjadi tak terkendali karena daya dukung rumah sakit dan sistem kesehatan di Indonesia tidak mampu menangani lonjakan jumlah pasien positif.
JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih menjaga warga yang sehat dari penularan Covid-19, penanganan pemerintah masih fokus pada penyembuhan warga yang tertular. Saatnya pemerintah tegas mencegah penularan Covid-19 sebelum wabah ini menjadi tak terkendali karena daya dukung rumah sakit dan sistem kesehatan di Indonesia tidak mampu menangani lonjakan jumlah pasien positif.
Dokter spesialis penyakit dalam dan vaksinolog dr Dirga Sakti Rambe mengungkap, masih banyak rantai penularan yang hilang (missing-link) dari pelacakan riwayat kontak pasien Covid-19 oleh pemerintah. Padahal, publik butuh info riwayat perjalanan atau kontak pasien positif Covid-19 untuk menjauhkan diri dari potensi penularan.
Menurut Dirga, pandemik suatu penyakit yang tidak diintervensi sama sekali dalam pencegahan penularannya dapat menyebabkan pasien yang tertular bertambah drastis. ”Ini yang terjadi di Italia dan Iran. Rumah sakit overload (pasien yang dirawat melampaui kapasitas) dan korban banyak meninggal karena tidak tertangani dengan baik,” kata Dirga di Jakarta, Kamis (26/3/2020).
Sebaliknya, kata Dirga, negara yang agresif menangani pandemi Covid-19 dapat menekan jumlah warganya yang tertular, seperti Singapura dan Hong Kong. Bahkan, Korea Selatan aktif memeriksa warganya hingga mencegat mereka bepergian.
Baca juga: Melacak Riwayat Kontak Pasien Covid-19
Di sisi lain, imbauan pemerintah agar masyarakat melakukan pembatasan fisik belum sepenuhnya ditaati. Keramaian di tempat publik, seperti pasar tradisional, masih terjadi. Warga yang mematuhi imbauan pun prihatin karena masih ada saja warga lain yang berkeliaran di luar rumah. ”Kita sudah usaha (bekerja dari rumah), tetapi orang lain tidak peduli. Ini membuat saya miris,” ujar Retno yang bersama suami menutup kiosnya di Blok M dan kini menjajakan dagangannya secara daring.
Hingga Kamis (26/3/2020), jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 893 orang dengan jumlah meninggal 78 orang dan pasien yang dinyatakan sembuh 35 orang.
Upaya pemerintah daerah memutus rantai penularan pun kadang menemui kendala karena ketidaktegasan instruksi soal pencegahan penularan. Tak jarang warga yang seharusnya menjalani pemeriksaan sempat menolak seperti yang terjadi pada Jumat (13/3/2020). MR, perempuan asal Jakarta Selatan, harus dikawal dinas kesehatan setempat untuk diperiksa di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur. Selama dalam perjalanan menuju RSUP Persahabatan, mereka dikawal ambulans Puskesmas Pasar Minggu bersama aparat Babinsa.
Perempuan warga Jakarta Selatan, berusia sekitar 25 tahun, diketahui berprofesi sebagai sopir ojek. Dia datang dengan dibonceng sepeda motor oleh kawannya.
Petugas puskesmas yang mendampinginya menyampaikan, MR menolak menumpangi ambulans untuk menjalani pemeriksaan swab, pengujian sampel lendir di tenggorokan bagian dalam untuk mengetahui ada atau tidaknya virus korona, di RSUP Persahabatan. Untuk memastikan agar MR tak melarikan diri, pihak Puskesmas Pasar Minggu bersama Pemerintah Kota Jaksel pun berinisiatif mengawalnya.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Isnawa Aji mengakui, MR merupakan salah satu warga yang diduga tertular Covid-19. Saat diminta menjalani pemeriksaan ke RSUP Persahabatan, ia sempat menolak. ”Kami pun akhirnya mengambil keputusan tetap mengawal MR karena dia diduga tertular sehingga kami harus menjaga dia agar tak kontak dengan warga yang lain,” kata Isnawa.
Kami pun akhirnya mengambil keputusan tetap mengawal MR karena dia diduga tertular sehingga kami harus menjaga dia agar tak kontak dengan warga yang lain.
Kepala Suku Dinas Kesehatan Jaksel Muhammad Helmi mengatakan, pemeriksaan swab pada MR di RSUP Persahabatan itu sudah melalui pemeriksaan awal dan wawancara oleh petugas Sudin Kesehatan Jaksel. Namun, Helmi enggan merinci dugaan sumber penularan Covid 19 pada MR. Menurut dia, petugas kesehatan di lapangan yang tahu persis dan dari laporan itu ditindaklanjuti.
”Seperti MR, kami mengawalnya supaya dia tidak kontak dengan orang lain dan bisa langsung dibawa ke RSUP Persahabatan. Misalnya dia dibawa ke puskesmas malah berbahaya karena dia bisa menulari warga lainnya yang sedang berobat di puskesmas,” katanya.
Sementara itu, aktivitas bisnis di sejumlah perkantoran di Jakarta masih terus berjalan dan angkutan umum juga masih dipenuhi penumpang. Pembatasan angkutan umum yang tujuannya untuk mengurangi mobilitas warga sebagai langkah mengendalikan penularan Covid-19 malah menyebabkan penumpang bersesakan di dalam kereta rel listrik dan bus Transjakarta.
Maya (41), karyawati yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, contohnya, baru diperbolehkan oleh pihak perusahaan untuk bekerja dari rumah pada Selasa, 24 Maret 2020. ”Sebelumnya kami sudah berkali-kali ngomong ke manajemen supaya kami ini bisa bekerja dari rumah. Memang ada beberapa pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan di kantor karena sistemnya ada di kantor. Namun sekarang manajemen mulai melunak,” jelasnya.
Di Jawa Barat, beberapa kepala daerah juga mulai tertular Covid-19. Seperti diumumkan Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil lewat akun media sosialnya bahwa Bupati Karawang Cellica Nurrachdiana dan Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana positif tertular Covid-19. Diduga keduanya tertular saat menghadiri Musda Hipmi Jawa Barat di Karawang pada 9 Maret lalu. Di acara itu ada 4 peserta yang positif Covid-19.
Ridwan pun mengimbau agar setiap orang yang berinteraksi dengan Cellica dan Yana agar segera melapor kepada dinas kesehatan setempat untuk melakukan tes Covid-19. Orang-orang ini, menurut Ridwan, sudah masuk ODP dan kategori A yang wajib ikut tes Covid-19.
Dengan terus bertambahnya kasus, pemerintah telah berupaya menambah berbagai fasilitas pengobatan, Salah satunya menggunakan Wisma Atlet sebagai rumah sakit khusus penanganan Covid-19. Sementara 132 rumah sakit rujukan pun dioptimalkan.
Untuk mempercepat penanganan, selama Maret ini Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 pada 13 Maret. Disusul dengan penerbitan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan jasa, dalam rangka percepatan penanganan Covid-19, yang diterbitkan pada 20 Maret.
Setelah terbitnya inpres itu, pada 23 Maret rumah sakit khusus penanganan pasien Covid-19 yang menempati Wisma Atlet, Kemayoran, pun dioperasikan. Pemerintah juga membangun rumah sakit khusus penanganan Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau. Langkah pemerintah juga diikuti lagi dengan impor obat bagi pasien Covid-19, yakni avigan dan chloroquine.
Di masyarakat, ada sebagian kelompok masyarakat yang cukup terbebani untuk melakukan pembatasan interaksi sosial, seperti kalangan pedagang. Selain pendapatan menurun drastis karena sepi pembeli akibat sebagian besar masyarakat yang bekerja di sektor formal mulai bekerja dari rumah, pedagang juga menghadapi beban utang usaha yang harus dibayar setiap bulan.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyampaikan, pemerintah sudah mengimbau agar masyarakat melakukan social distancing atau membatasi interaksi sosial sebagai upaya mengendalikan penularan Covid-19. ”Social distancing adalah kegiatan masyarakat untuk mengurangi penularan,” ujarnya.
Agar pengurangan interaksi di masyarakat dapat berjalan, belakangan ini Presiden Joko Widodo juga telah menjanjikan kelonggaran untuk sopir Gojek, taksi, dan nelayan, dalam pembayaran cicilan kredit kendaraan yang digunakannya. Kelonggaran itu berupa keringanan pembayaran bunga atau angsuran selama satu tahun.
Bagi kalangan usaha sektor kecil dan menengah, Presiden juga menjanjikan penundaan cicilan selama satu tahun dan penurunan bunga untuk kredit dengan nilai di bawah Rp 10 miliar.
Daya dukung terbatas
Namun, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Budi Haryanto, mengingatkan, daya dukung rumah sakit Indonesia terbatas untuk menghadapi pandemi Covid-19. Menurut Budi, strategi pengendalian wabah perlu memperhatikan pengendalian penularannya.
”Sebaliknya, pemerintah masih fokus pada penanganan kuratif untuk menyembuhkan warganya yang tertular dibandingkan melindungi warganya yang masih sehat dari penularan Covid 19. Mencegah supaya yang sehat tidak sakit ini masih belum tampak,” kata Budi.
Baca juga: Tersesat di Lautan Informasi soal Pandemi
Budi mengungkapkan, sejak terjadi wabah flu burung pada 2006, daya dukung rumah sakit selalu terbatas, hanya 44 rumah sakit. Demikian pula saat ini jumlah rumah sakit rujukan yang disiapkan pemerintah terbatas 132 rumah sakit.
Padahal, logistik yang harus disiapkan juga tak sedikit. Setiap pemeriksaan akan membutuhkan perangkat pemeriksaan dan pengujian yang lengkap dan akurat, ditambah lagi dengan alat pelindung diri bagi tenaga medisnya.
Diakui Budi, Presiden sudah memberikan berbagai imbauan agar warga tetap berada di rumah selama wabah Covid-19 masih terjadi. Namun, imbauan itu juga perlu diikuti dengan mendorong adanya keterlibatan aktif masyarakat untuk melindungi dirinya dan menjaga orang lain agar tidak tertular Covid-19.
Sebagai contoh MRT, menurut Budi, tak ada yang bisa menjamin dinding dan pintunya bersih dari percikan ludah atau dahak orang lain. ”Sementara virus korona hidup di lendir yang dilontarkan dari bersin dan batuk dan virus itu tahan beberapa jam di ruangan berpendingin. Hal ini perlu dipahami masyarakat,” jelasnya.
Sosiolog Imam B Prasodjo mengatakan, pemerintah tak cukup hanya mengimbau warga agar melakukan pembatasan fisik. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang memaksa warga melakukan pembatasan fisik. ”Imbauan itu kan kata-kata. Tetapi jika regulasi itu adalah hal-hal yang sifatnya memaksa,” jelasnya.
Sembari menunggu itu kalau ada rencana penutupan, pemerintah siapkan langkah teknis, larangan apa yang boleh dan tidak boleh. Sekarang mal dan kantor masih buka, padahal sudah ada imbauan bekerja dari rumah.
Bagi orang yang dapat bekerja dari rumah tetapi malah keluar rumah, maka harus diberi sanksi. ”Misal ada guru, dosen, pelajar, dan mahasiswa yang seharusnya bekerja dan belajar di rumah tetapi malah berlibur, maka mereka harus diberikan sanksi. Bahkan bisa dikenai sanksi yang keras,” kata Imam. Sanksi juga diterapkan kepada perusahaan yang tak mengizinkan karyawannya bekerja di rumah.
Namun, sanksi itu tak dapat diterapkan terhadap pekerja yang perusahaannya tidak mengizinkan mereka bekerja di rumah. Sanksi itu juga tak dapat diterapkan kepada pekerja informal, seperti pedagang kecil, sopir ojek, ataupun taksi.
Imam mengatakan, Presiden telah mengeluarkan kebijakan penundaan cicilan dan penurunan bunga kredit untuk usaha mikro hingga sopir ojek daring. Meskipun sudah ada kebijakan itu, katanya, mereka tetap perlu menjalankan usahanya di luar rumah agar memperoleh pendapatan untuk menafkahi keluarganya.
”Bagi kelompok yang tidak punya pilihan harus bisa diberikan pilihan agar mereka bisa bekerja di rumah. Saat ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah menghitung berapa jumlah orang yang tidak bisa bekerja di rumah. Mereka diberikan bantuan berupa bahan pokok sehingga mereka tak perlu belanja keluar rumah lagi,” jelasnya.
Sementara, menurut Dirga, jika pemerintah tak menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah, pemerintah bisa mengeluarkan aturan teknis pembatasan fisik. Misalnya, warga tidak boleh keluar rumah, kecuali tenaga kesehatan.
”Sembari menunggu itu kalau ada rencana penutupan, pemerintah siapkan langkah teknis, larangan apa yang boleh dan tidak boleh. Sekarang mal dan kantor masih buka, padahal sudah ada imbauan bekerja dari rumah,” katanya.